Di unggahan-unggahan medsos, orang-orang gegap gempita dengan berbagai resolusi tahun baru mereka. Ada yang ingin meningkatkan penghasilan, ada yang ingin menambah jumlah tujuan jalan-jalan, ada yang ingin memperbanyak volume buku bacaan, ada pula yang berencana menurunkan sekian kilogram berat badan.
Namun, di balik segala resolusi itu, ada yang terasa janggal: ke mana laporan pertanggungjawaban atas resolusi-resolusi di tahun-tahun sebelumnya? Bukankah semestinya program baru dipancangkan setelah program lama dituntaskan?
Anehnya, saya memang tidak melihat laporan-laporan itu. Sampai-sampai muncul prasangka buruk dalam hati saya yang kotor dan julid ini, bahwa sesungguhnya orang-orang itu menampilkan resolusi tahun baru hanya demi menutupi kegagalan atas berjilid-jilid resolusi di tahun-tahun yang lama. Hahaha!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak orang sesungguhnya ingin berubah setiap saat. Setiap hari, atau minimal setiap pekan. Banyak di antara kita merencanakan program perubahan dalam skala waktu sesempit demikian. Namun, kebanyakan manusia gagal. Maka, diulurlah waktu sampai sebulan. Masih saja gagal. Diulurlah waktu sampai setahun. Masih juga gagal? Tenang, masih ada tahun depannya lagi. Di situlah kita bisa pura-pura bikin resolusi baru, sambil move on dari resolusi lama yang tak kunjung terlaksana.
Tentu saya tidak menafikan bahwa ada jutaan orang yang sukses dengan program-program tahunan atau bahkan bulanan mereka. Mereka bisa bekerja dengan cepat, dengan penuh semangat, dengan prestasi-prestasi konkret yang tak dapat disangkal. Tapi di belahan kehidupan yang lain, ada berapa miliar orang yang menjalani puluhan tahun hidup mereka dengan begitu-begitu saja, atau begini-begini saja, baik karena malas, karena merasa cukup, atau memang karena ketiadaan pilihan dalam hidup?
Saya yakin, kaum yang (tampak) stagnan itu jumlahnya berlipat-lipat melebihi mereka yang mampu menciptakan lompatan-lompatan. Bahkan agaknya mayoritas manusia memang seperti itu. Pertanyaannya, jika hanya orang-orang hebat dalam ukuran tertentu (seperti Anda, tentu saja) yang melulu dibicarakan di panggung sejarah, sisa populasi terbesar yang tidak hebat itu (saya di antaranya) mau dikemanakan?
Tahun hanyalah satu jenis rentang waktu, yang berisi 365 hari berturut-turut. Kita memilih program-program personal maupun kolektif dalam hitungan angka tahun semata-mata karena kebiasaan lingkungan. Itu bukan harga mati, beda sekali dengan sikap Anda kepada NKRI. Selebihnya, kita bisa sesuka-sukanya menghitung jangka waktu.
Jika Anda yang penuh obsesi akan prestasi bisa meraih target-target tahunan, jangan lupa bahwa orang-orang lain yang lebih bersemangat lagi bisa menetapkan tonggak-tonggak waktu secara bulanan. Sebaliknya, sebagian orang lainnya pun bisa tetap bergembira dengan gambaran progresivitas hidup dalam rentang waktu... 10 tahunan, atau bahkan 30 tahunan. Tak ada salahnya, bukan?
Gambaran kemajuan hidup dalam rentang puluhan tahun itu rata-rata baru disadari secara post factum, dalam konteks menyenangkan yang membuat banyak orang lebih gampang berbahagia dalam menjalani hidup mereka: bersyukur. Oh, ternyata aku sudah sejauh ini ya. Oh, tak terasa aku sudah di sini ya.
Kadang saya berbincang dengan beberapa orang tua di kampung atau di pinggir jalan. Tak saya sangka, banyak di antara mereka adalah manusia-manusia yang optimis. Ini serius.
Ada misalnya yang bercerita begini. "Dua puluh lima tahun silam, Mas, boro-boro makan ayam. Makan telur saja nggak bisa satu orang sebiji. Sebiji dicacah lima, biar jatahnya merata untuk semua anggota keluarga. Lah sekarang, makan ayam bukan lagi kemewahan. Setiap hari saya bisa makan ayam. Lha itu tinggal ambil, Mas." Sambil mengucapkan itu, jarinya menunjuk deretan sate usus dan sate brutu di meja warung angkringan.
Saya tertawa. Tapi saya sadar, apa yang dia ceritakan itu merupakan prestasi hidup konkret baginya.
Yang lain bercerita pula. "Dulu, Mas, jangankan punya motor. Beli sepeda saja mahalnya setengah mati. Tapi sekarang, cukup dengan uang lima ratus ribu, motor baru kinyis-kinyis sudah bisa saya bawa pulang."
Saya lirik sepeda motornya. Wah, pasti orang ini sudah merasakan kemajuan hidup yang sangat berarti. Ehem.
Cerita saya tentang orang-orang itu bukan sejenis sinisme, apalagi upaya untuk menjadikan rakyat miskin terus terlena di tengah hisapan orang-orang kaya --sebagaimana gambaran mengerikan para aktivis itu hahaha. Tidak, tidak, ini bukan pembacaan situasi makro ekonomi global dan nasional. Ini semata cara melihat manusia-manusia dan bagaimana mereka sendiri memandang hidup mereka.
Poinnya, lompatan hidup, baik lompatan pendek maupun panjang, bisa dirasakan tanpa harus terjebak pada ritual resolusi tahunan. Tahun hanyalah rentang waktu, dan rentang waktu bisa kita pilih sesuai yang kita mau.
Kecuali, ya, kecuali kita ingin mengukur kemajuan hidup selalu dalam kerangka pembandingan dengan apa pun yang diraih oleh orang lain. Dan kalau sudah begitu, mau sepanjang apa pun lompatan yang kita lakukan, kita akan sulit bahagia.
"Membandingkan sama orang lain gimana, Mas? Kondisi saya sekarang dan dua puluh tahun silam saja masih begini-begini. Sejak lulus kuliah sampai sekarang tetap belum bekerja, tetap sendiri saja, tetap minta duit orangtua, nggak punya karya dan prestasi apa-apa."
Oh, kalau begitu ekstrem kasusnya, tentu kita bisa ambil rentang waktu yang ekstrem pula. Bisa dalam rentang abad, atau bahkan milenium. Dan kalau rentang waktunya sepanjang itu, kita tak perlu lagi hadir sebagai personal, melainkan bagian dari komunal.
Misalnya, kita mungkin tidak punya peran nyata apa pun bagi Indonesia dan masyarakat sekitar di sepanjang hidup kita. Tapi dalam proses dan progres evolusi manusia, misalnya, kita tetap menjadi bagian tak terpisahkan darinya.
Dulu kala, dibutuhkan ribuan "orang" selama jutaan tahun untuk mengantarkan nenek moyang kita dari merangkak dengan empat kaki menuju berjalan tegak. Setiap pribadi pada zaman itu tidak menyadari kemajuan yang diraih masing-masing. Namun sesungguhnya mereka secara komunal terus bergerak maju, dan kemajuan itu baru disadari oleh cicit-cicit evolusi mereka.
Lho jangan tertawa. Lagi-lagi ini serius. Poinnya adalah bagaimana kita meletakkan diri kita dalam suatu rentang waktu, kan?
Jadi, buat Anda (saya juga) yang menjalani tahun-tahun tanpa prestasi, tak usah risau. Kita tetap akan selalu menjadi bagian dari kemajuan yang diraih oleh bangsa manusia. Kelak, ketika ada satu capaian hebat yang diraih oleh Homo sapiens, sesungguhnya kita menjadi bagian darinya. Dan hanya dengan menjalani hidup yang baik-baik saja, tanpa terpaku pada keharusan melompat di setiap momen pergantian tahun, kita tetap menjalankan peran sebagai sekrup kecil dalam orkestra agung alam semesta.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)