Ular-Ular Kobra yang Pulang ke Kampung Mereka

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Ular-Ular Kobra yang Pulang ke Kampung Mereka

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 24 Des 2019 16:43 WIB
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Saya punya satu grup kumpul-kumpul yang berisi para pemangsa kambing. Anggotanya beraneka jenis manusia. Ada yang kiai merangkap juragan penerbitan, ada pelukis cum aktivis pengajian, ada dokter anestesi yang sepertinya juga pakar gendam, dan lain-lain. Kegiatan rutin kami tentu saja memangsa aneka masakan daging kambing.

Sepanjang perjalanan spiritual kami memangsa kambing, sering saya lihat kawan-kawan dengan santai tidak menghabiskan makanan yang telah mereka pesan. Maka, saya yang lembut hati ini pun protes keras. Kok pada tega membuang-buang makanan?

Namun, Pak Dokter Bius memberikan jawaban yang tidak saya sangka-sangka. "Aku tuh nggak membuang makanan. Jadi, sate ini memang tidak aku habiskan, tapi nantinya akan ditaruh bersama sampah. Dan itu artinya sate ini kusedekahkan kepada bakteri-bakteri."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya tercenung mendengarnya. Begitu sufistik. Begitu penuh kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain di alam semesta. Apalagi ketika kemudian Mas Kiai menambahkan cerita bahwa dia pernah membuang nangka di pinggir jalan, dengan niat bersedekah bagi semut-semut.

Tiba-tiba saya merasa berbincang dengan para sufi Abad Pertengahan, dan kaos cap Hurley yang dipakai Pak Dokter berubah di mata saya jadi pakaian kasar dari kulit domba. Sampai kemudian kami berjalan pulang, dan pertanyaan-pertanyaan yang jauh lebih sufistik lagi menyergap dan menjerat pikiran saya.

Begini. Ketika Mas Dokter mengatakan bersedekah kepada bakteri-bakteri, dia sedang masuk ke ranah yang hakiki. Hakikat dari makanan yang terbuang dan membusuk itu bukanlah kesia-siaan, melainkan perubahan status: dari makanan manusia menjadi makanan untuk makhluk-makhluk lain. Oke deh.

Tapi mari kita teruskan ke dimensi yang lebih hakiki lagi. Dengan mengucapkan "kusedekahkan kepada bakteri", bukankah Pak Dokter mengasumsikan bahwa sate itu miliknya, dan artinya kambing itu juga miliknya? Benar bahwa dia telah membayarnya, atau minimal dibayari sama Mas Pelukis. Tapi kalau kita bertanya baik-baik kepada kambing itu sendiri, apakah sebenarnya dia rela dimiliki kemudian disedekahkan bagi bakteri-bakteri?

Di sinilah keraguan di hati saya mulai menyiksa. Keraguan yang jadi lebih sempurna lagi ketika yang saya pikirkan adalah buah nangka yang dibuang, eh, disedekahkan oleh Mas Kiai.

Milik siapa buah nangka itu sebenarnya? Apakah milik manusia? Bukankah buah itu dilahirkan oleh pohon nangka, dan sesungguhnya pohon itu sangat berkepentingan dengan buah matang yang jatuh ke tanah, wadah nutrisi yang akan menentukan nasib pertumbuhan biji-biji keturunannya? Dengan kata lain, ketika manusia memetik nangka untuk ia makan, bukankah hak pohon nangka telah dirampas?

Saya lekas-lekas menghentikan segenap kegalauan dan pertanyaan mendalam itu. Bukan karena malas merenung, tapi lebih karena saya pikir-pikir saya belum siap melepaskan diri dari nikmatnya menyantap potongan-potongan daging kambing yang empuk dan legit.

Satu lagi, saya juga membayangkan betapa segarnya bila di hari yang panas dalam kemarau panjang ini kerongkongan saya disiram es teler, dengan potongan-potongan buah nangka yang manis dan harum.

***

Dua hari yang lalu, tetangga sebelah membakar papringan alias rumpun bambu di depan rumahnya. "Ada ular kobra masuk ke sini! Bisa-bisa jadi markas kobra kalau nggak dihabisi!" katanya.

Sebelumnya, ular itu tiba-tiba tampak melingkar santai di kamar mandinya. Tetangga saya ingin menggebuknya, persis sebagaimana Mas Jokowi ingin menggebuk siapa pun yang menghambat investasi. Tapi beruntunglah si ular dari jenis kobra, dan tetangga saya takut jadinya. Ular itu pun cuma diusir pakai tongkat panjang, sampai akhirnya ia melarikan diri dan menyusup masuk ke rerumpun bambu.

"Ini kenapa ya kok musim serbuan ular kobra? Yang di tivi kemarin juga gitu to, Mas?" Mas Puryatno, tetangga saya yang lain, menyampaikan itu keesokan harinya. Saya ikut bertanya-tanya campur was-was. Lingkungan kami memang dekat dengan kebun dan sawah, habitat yang dekat dengan para ular.

Maka, saya meng-gugling untuk mencari tahu ada misteri apa di balik ini semua. Apakah benar ini pengulangan dari kutukan ular-ular para tukang sihir Firaun, sebagaimana disebarkan dengan penuh keyakinan oleh beberapa kawan Facebook saya? Jika memang begitu, lantas siapa yang sekarang menggenggam tongkat Musa?

Saya kecewa, sebab jawaban ilmiahnya langsung ketemu. Pada tahun-tahun kemarin, hujan sudah turun di bulan September. Akibatnya, banyak telur ular yang terendam air dan membusuk. Tapi sekarang kemarau panjang menahan hujan cukup lama, menyebabkan telur-telur ular menetas sempurna. Itulah kenapa populasi ular, khususnya kobra, meningkat pesat.

Saya pun membatalkan rencana mencari tongkat Musa, meski kemudian saya terperanjat gara-gara menemukan keajaiban lainnya.

Keajaiban lain itu adalah judul-judul berita. Teror Kawanan Ular Kobra di Perumahan Warga; Puluhan Ular Kobra Serbu Rumah Malam Hari di Jember; Teror Ular Resahkan Warga Klaten, 13 Anakan Kobra Berkeliaran; Rumah Warga di Bogor Diserang Belasan Ular Kobra, Balas Dendam?; Fenomena Anak Ular Kobra Serbu Permukiman Warga, Ini Penjelasannya; dan sebagainya.

Ada kata kunci yang senada di berita-berita itu: teror, serangan, serbuan. Jadi, para ular itu diposisikan sebagai pihak "luar" yang datang menyerang, menyerbu, atau meneror. Pertanyaan mendasarnya, benarkah mereka datang menyerang dan menyerbu?

Sayang, sepertinya jawabannya adalah tidak. Ular-ular itu bukan datang menyerang. Lha wong mereka dulunya memang tinggal di semak-semak, rerumpun bambu, lubang-lubang di tanah, dan sebagainya. Tapi kemudian manusia datang, menancapkan pasak-pasak penanda wilayah, bahkan kemudian melengkapinya dengan selembar sertifikat tanah, sembari berteriak keras-keras: "Ini tanah milikku!"

Hei, tunggu, Bung. Itu tanah milikmu? Lalu ular-ular itu punya apa? Nggak punya apa-apa? Mereka tinggal di tanah-tanah itu ribuan tahun lebih dulu daripada kamu, dan tiba-tiba kamu mengatakan bahwa itu tanahmu? Ular-ular itu tersingkir ketakutan dengan segala aktivitasmu, dan ketika mereka datang lagi kau sebut mereka mengganggu? Apa-apaan ini?

Tiba-tiba, terngiang di telinga saya sebutan "pemberontak" kepada para pejuang republik yang melawan kolonial Belanda waktu itu. Rasanya kok agak mirip ya.

***

Akarnya adalah perasaan dan keyakinan sebagai pusat semesta, sebagai makhluk terpenting di alam raya. Inilah perasaan ge-er bangsa manusia di mana saja.

Mungkin rasa itu berangkat dari kisah kemenangan selama ratusan ribu tahun dalam pertarungan perebutan sumber daya di mana-mana, sebagaimana paleoantropologi membuktikan bahwa kehadiran manusia ke satu tempat selalu berdampak pada punahnya spesies-spesies dominan lainnya. Mungkin pula karena doktrin agama yang ditafsirkan sebagai hak bangsa manusia untuk mengambil apa saja di muka bumi, semata-mata demi kemanfaatan diri mereka.

Namun, agaknya bukan cuma itu. Semuanya bisa meluas lagi. Sebab perjalanan ilmu pengetahuan pun pernah melegitimasi kepercayaan demikian, semisal Alfred Russel Wallace yang disebut-sebut meyakini bahwa alam semesta diciptakan khusus sebagai papan keberlangsungan evolusi manusia.

Dan, sadarkah Anda, bahkan konstitusi kita pun tak jauh-jauh dari situ? Coba bacalah keras-keras: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Rakyat? Siapakah rakyat? Apakah ular, badak, harimau, rusa, gajah, bagian dari rakyat? Tidak, bukan? Bahwa banteng kerap disebut identik dengan rakyat, saya memang sering mendengarnya, tapi toh kita tahu itu cuma urusan gambar saja. Selebihnya, siapakah rakyat? Manusia saja, kan? Ah.

Maka, sejak bergesernya pola hidup dari berburu dan meramu menuju pertanian menetap, hingga terbentuknya masyarakat yang berbasis pada kepemilikan tanah, manusia semakin memutus komunikasinya dengan alam, dengan hewan-hewan, dengan tetumbuhan. Apalagi ketika kemudian ekspansi-ekspansi penguasaan lahan menerobos masuk hingga ke area rimba raya. Pohon-pohon ditumbangkan, pabrik-pabrik dioperasikan, kebun-kebun industri diluaskan.

Lalu, ke mana hewan-hewan? Ke mana ular-ular, ke mana monyet-monyet, ke mana juga orang utan?

Kita sudah tahu jawabnya. Mereka lari dari tempat hidup yang telah dirampas manusia, sang pusat semesta. Dan, ketika di lain hari mereka kembali gara-gara di tempat pelarian tidak menemukan sumber makanan, makhluk-makhluk nelangsa itu pun mendapat julukan baru: hama.

***

Keterputusan komunikasi dengan alam membawa kepada "iman" antroposentrisme, ketika manusia merasa diri sebagai makhluk terpenting di semesta raya. Sebagai anak emas Tuhan yang bebas melakukan apa saja, tak usah heran jika manusia menjalankan proses peradaban (yang seringkali sangat tidak beradab itu) sampai-sampai makhluk apa pun di luar manusia dihabisi semau-maunya.

Tapi, hari ini ular-ular kobra telah kembali. Mereka bukan menyerang. Mereka pulang. Mereka melakukan reclaim atas wilayah mereka, yang telah begitu lama direbut manusia tanpa melalui mekanisme rembukan apa-apa.

Entah ular-ular itu diperintah oleh Musa atau Medusa atau Nyi Blorong atau siapa, inilah bahasa semesta. Tentu agar manusia segera melucuti kesombongan antroposentrisnya, untuk kemudian kembali menata percakapan yang baik dan dialogis dengan semesta raya; sebelum semuanya hancur sia-sia.

Akhir kata, selamat Natal bagi manusia, hewan, tumbuhan, juga segala jenis makhluk yang merayakan. Mari sebisa-bisanya menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads