Upaya Menteri Agama Fachrul Razi memerangi radikalisme layak diapresiasi. Namun jika tak dibarengi dengan sikap bijak, ikhtiar memerangi radikalisme berpotensi menimbulkan kemarahan publik. Penolakan sejumlah pihak soal rencana penghapusan materi khilafah dan jihad dalam kurikulum pendidikan Islam menjadi bukti pemerintah salah langkah memerangi radikalisme. Alih-alih mendapat simpati, rencana kementerian agama justru mendapat banyak kecaman.
Bukan kali saja Menteri Agama banjir protes. Sebelumnya, sejumlah manuver serupa kerap kontroversial memantik kegaduhan. Satu situasi rumit untuk melakukan rujuk nasional secara total di level grass root. Mestinya Menteri Agama sensitif karena suasana batin bangsa belum seutuhnya rekonsiliatif. Bukan hanya efek pilpres yang membelah ekstrem, namun masih banyak yang shock karena simbol oposisi berkongsi dengan penguasa dalam satu kolam koalisi.
Dengan dalih perang melawan radikalisme, Islam terus "disudutkan". Seakan Islam menghambat kemajuan. Seakan Islam tak sesuai dengan budaya demokrasi. Padahal Islam lokomotif terdepan peradaban. Indikasinya sederhana. Pasca-Reformasi, pemilu berlangsung damai, jurdil, tanpa letupan berarti. Indonesia menjadi laboratorium politik menarik untuk dipelajari tentang harmonisasi Islam dan demokrasi. Fakta yang menjungkalkan klaim berbagai pihak yang menuding Islam anti-demokrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada tiga fenomena kehidupan beragama yang menonjol dewasa ini. Pertama, pihak yang mengklaim hanya agamanya saja paling benar dan menganggap agama lain salah. Namun kelompok ini tak pernah memusuhi pihak lain yang berbeda. Apalagi memeranginya.
Kedua, ada kelompok yang mengklaim hanya pihaknya paling benar dan menuding kelompok lain salah, layak dimusuhi dan dihalangi hak politiknya. Dalam level implementasi kecenderungan politiknya didasarkan pada kedekatan agama dalam memilih calon pemimpin. Ketiga, pihak yang istikamah mengkampanyekan khilafah sebagai ideologi alternatif selain Pancasila. Lalu, siapakah aktor dan ormas kunci yang mengkampanyekan khilafah setelah HTI dibubarkan paksa?
Di antara tiga narasi besar fenomema keberagamaan di atas, belum terlihat posisi tegas definisi radikalisme versi Kementerian Agama. Ketiganya cenderung eksklusif, tapi berbeda pada tataran implementasi. Ini penting dilakukan untuk mendiagnosis pemahaman radikalisme menurut pemerintah. Diagnosis makna radikalisme sebagai upaya mencari solusi tepat. Salah diagnosis pasti keliru obat. Efeknya, radikalisme direduksi sebatas tampilan atribut artifisial semacam cadar dan celana cingkrang.
Sejarah dan Budaya Politik
Bagi umat Islam, materi khilafah dan jihad menjadi perkara biasa. Garis korespondensi historisitasnya jelas. Masa kenabian Muhammad kerap dipenuhi dengan kisah jihad melawan kaum Quraisy. Sejarah semacam ini cukup melekat kuat sebagai bentuk heroisme memahami sisi lain ajaran Islam. Tiba-tiba materi 'Islamis' ini dinilai berbahaya karena ditengarai menyuburkan faham radikalisme. Kesimpulan simplistis dan menyederhanakan persoalan.
Dalam fikih politik (fiqh siyasi), materi khilafah Islamiah bagian dari tradisi khazanah pemikiran politik Islam. Sebab, dalam sejarahnya khilafah Islamiyah pernah dipraktikkan di masa kekayaan Islam. Di pesantren dan kampus Islam materi khilafah diperdebatkan secara akademis. Tanpa tendensi dan prasangka apapun. Bahkan pesantren dan kampus Islam menjadi lokomotif utama yang lantang berjihad melawan radikalisme.
Justru yang perlu diwaspadai adalah institusi pendidikan sekuler yang belajar Islam dari internet. Sementara cadar dan celana cingkrang bagian dari budaya politik yang didasarkan pada interpretasi atas fenomena sosial politik. Misalnya soal cingkrang dan cadar hanyalah konstruk terhadap fenomena sosial yang dinisbatkan atas tafsir agama, ekonomi, politik, dan lingkungan.
Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam The Civic Culture (1963) memaknai budaya politik sebagai hasil tafsir atas realitas politik yang diakumulasi menjadi nilai, keyakinan, dan sikap politik. Satu fenomena politik tafsirnya bisa beragam karena setiap orang otonom memaknainya. Tak bisa digeneralisasi apalagi tendensius. Cara seseorang berpakaian adalah rangkuman dari keyakinan yang didapat dari petualangan empiris sebagai tafsir atas fenomena politik. Ia tak lahir dari ruang hampa.
Pernyataan menteri agama tentang cadar dan celana cingkrang wujud nyata dari produk tafsir simplistis atas fenomena sosial politik keagamaan. Sebab, celana cingkrang dan cadar tak bisa direduksi menjadi indikasi radikalisme. Sejauh ini tak ada alat ukur akurat ilmiah yang menegaskan simbol atributif agama bertalian mesra dengan radikalisme. Interpretasinya parsial dan cenderung mendiskreditkan.
Mestinya menteri agama punya instrumen untuk mendefinisikan konsep operasional radikalisme. Serta mempublikasikan siapa tokoh dan ormas yang dianggap radikal. Sehingga ada keterlibatan publik melawan radikalisme. Data tokoh dan ormas radikal nihil. Tak ada yang tahu. Seakan menjadi konsumsi elite tertentu saja. Publik perlu ditunjukkan siapa yang radikal.
Temuan survei Parameter Politik Indonesia yang dilakukan pada 5 hingga 12 Oktober lalu menunjukkan masalah utama yang dihadapi bangsa ialah pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, prospek suram pemberantasan korupsi, serta penegakan hukum yang tak tebang pilih. Isu radikalisme nyaris tak pernah muncul dalam benak publik.
Dilema Intervensi Negara
Kontroversi Menteri Agama menyeret pada perdebatan lama soal diskursus ruang privat dan publik serta historisitas Islam. Materi khilafah dan jihad sesuatu yang inline dengan sejarah Islam. Sukar diputus terlanjur mendarah daging. Ia lengket bagian dari keimanan seseorang. Sementara cara berpakaian merupakan sesuatu yang personal yang tak bisa diintervensi negara. Sejak kapan negara mengurusi cara berpakaian rakyatnya?
Sekularisme Barat lahir sebagai perlawanan atas intervensi negara dalam beragama. Semangatnya satu. Negara tak berhak turut campur soal pilihan agama, cara berpakaian, dan mempraktikkan keyakinan. Semakin dalam negara merecoki urusan privat, maka terbuka lebar pemaksaan dalam beragama. Dari sinilah kemudian gejala otoritarianisme politik pemerintah akan terlihat.
Oleh karena itu, kegaduhan terkait radikalisme harus diakhiri. Tak ada gunanya. Betul bahwa radikalisme menguat, namun cara memeranginya harus komprehensif. Jangan sampai solusi yang ditawarkan bertolak belakang dengan semangat beragama yang justru memancing amarah Islam terhadap pemerintah. Ini bahaya bagi iklim demokrasi ke depan.
Negara bisa jauh mengintervensi jika ada rakyat melanggar hukum. Faktual merongrong Pancasila dengan ideologi alternatif. Atau sejenis tindakan inkonstitusional lain yang sengaja didisain menghancurkan Indonesia sebagai negara bangsa. Pada level ini negara harus hadir dan memaksa patuh rakyat. Menjelma dengan tangan besi tanpa ampun bagi siapapun yang mengacau fondasi negara.
Tak ada gunanya terus mencurigai radikalisme sebatas materi khilafah Islamiyah, jihad, cadar, dan celana cingkrang. Satu atributif historis keagamaan biasa yang dikonklusikan menyeramkan. Kondisi semacam ini akan terus memupuk rasa saling curiga antara pemeluk agama Islam dan negara. Lalu, sampai kapan ketegangan keduanya akan berakhir?
Pemerintah harus bisa mendiagnosis masalah inti radikalisme. Jika sumber radikalisme adalah agama, maka obatnya adalah sentuhan agama yang inklusif, dialogis, dan terbuka. Jika sumber radikalisme bertumpu pada kemiskinan, solusinya memperbaiki kualitas hidup rakyat dengan lapangan pekerjaan demi keadilan distributif. Dan seterusnya.
Di negara Pancasila, yang bukan negara agama bukan pula sekuler, memang dilematis membawa serta negara dalam urusan krusial. Terutama menyangkut keyakinan dan potret keberagamaan yang dinilai radikal. Satu sisi agama terkait ruang privat, namun sisi lainnya eksklusivitas beragama berpotensi menciptakan sikap politik yang intoleran. Di sinilah kemudian negara perlu bijak memposisikan diri.
Adi Prayitno Direktur Eksekutif Parameter Politik dan dosen Politik FISIP UIN Jakarta