Kemudian, bagi para bakal pasangan calon perseorangan yang akan mendaftarkan diri sebagai kepala daerah, akan menyerahkan syarat dukungan pada 11 Desember 2019 sampai dengan Maret 2020.
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bagi bakal pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur yang menggunakan jalur perseorangan harus mengumpulkan dukungan minimal 10 persen jika DPT mencapai 2 juta jiwa; 8,5 persen untuk DPT antara 2-6 juta jiwa; 7,5 persen untuk DPT mencapai 6 juta-12 juta jiwa; 6,5 persen untuk DPT di atas 12 juta jiwa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para bakal pasangan calon perseorangan secara administratif diharuskan mengisi formulir B1-KWK (dengan dilampiri fotokopi KTP El/Surat Keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kelurahan/Desa).
Pada umumnya, para bakal pasangan calon perseorangan akan menyerahkan dukungannya melebihi ketentuan. Hal tersebut dilakukan agar tim verifikator KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama antara pengawas pemilu dengan tim verifikator.
Namun, ada juga bakal calon yang menyerahkan jumlah dukungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan, karena masih ada masa perbaikan syarat dukungan yakni 24-26 April 2020.
Dugaan Pelanggaran
Ada beberapa dugaan pelanggaran dalam proses pencalonan kepala daerah jalur perseorangan. Pertama, pada saat penyerahan dukungan, bakal pasangan calon perseorangan melewati waktu yang sudah ditentukan dalam Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yakni pukul 16.00 waktu setempat.
Kedua, tim verifikator dengan "baik hati" menghitung KTP El ganda dan meloloskan tanda tangan yang 80 persen mirip antara KTP El dengan formulir B1-KWK yang disediakan KPU. Ketiga, tim verifikator tidak teliti dalam melakukan proses verifikasi administrasi (vermin).
Dalam proses vermin tersebut, pengawas pemilu harus berani mencatat dan memproses jika ada dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh tim verifikator baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Mengapa harus berani? Karena pengawas pemilu biasanya hanya menegur langsung di tempat tanpa ada proses lebih lanjut.
Setelah proses vermin, KPU melalui Panitia Pemungutan Suara (PPS) akan melakukan verifikasi faktual (verfak) KTP El yang telah diserahkan. Verfak tersebut menggunakan metode sensus (mendatangi dari rumah ke rumah).
Dikarenakan jumlah dukungan para bakal pasangan calon perseorangan mencapai ratusan ribu atau jutaan, maka sebelum dilakukan sensus, KPU terlebih dahulu meminta Liaison Officer (LO) untuk mengambil secara acak amplop yang berisi nomor (genap/ganjil). Jika sudah diambil maka KPU akan melakukan verfak (setiap kabupaten/kota atau kecamatan 10 sampel) berdasarkan nomor tersebut tanpa sepengetahuan LO dan pengawas pemilu. KPU baru melibatkan pengawas saat PPS melakukan verfak.
Dalam proses tersebut seharusnya KPU memberitahu pengawas pemilu, siapa saja yang akan didatangi, karena potensi KPU "main mata" dengan LO sangatlah besar, mengingat sulitnya melewati proses verfak.
Validitas Dukungan
Mayoritas dari 10 sampel yang di sensus hanya 1 atau 2 saja yang benar-benar mendukung. Selebihnya tidak valid. Hal tersebut karena, pertama PPS dan Panwascam tidak menemukan alamat yang tertera di KTP El. Kedua, orang tersebut sudah meninggal dunia sejak setahun atau dua tahun lalu. Ketiga, menemukan alamat dan orangnya, tapi orang tersebut tidak merasa memberikan KTP El untuk mendukung si A sebagai Kepala Daerah.
Terlihat aneh memang, fotokopi KTP El yang sejatinya adalah bentuk dukungan seseorang kepada bakal pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan menjadi tidak jelas saat dilakukan fervak.
Oleh karena itu, kinerja pengawas pemilu dalam memastikan validitas syarat dukungan calon perseorangan pada proses vermin dan verfak sangatlah penting. Pasalnya, publik tidak dapat secara langsung mengawasi. Hanya pengawas pemilu yang diberikan amanat oleh undang-undang untuk mengawasi prosesi tersebut secara melekat.
Terakhir, sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik, seharusnya pengawas pemilu mempublikasikan bagaimana mereka melakukan pengawasan proses vermin dan verfak. Kemudian, alat kerja apa yang digunakan. Hal tersebut perlu diketahui agar publik dapat mengukur seberapa berhasilnya pengawas pemilu melakukan pengawasan.
Ahmad Halim pegiat pemilu, kader PMII DKI Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini