Padahal, pada 1970 produksi lada Lampung mampu mencapai angka 50 ribu ton dengan tingkat produktivitas lahan sebesar 1,5-2 ton per hektar. Bahkan Lampung sempat mendominasi dan menjadi pemasok sebagian besar lada hitam dunia. Provinsi Lampung menempati urutan kedua sebagai penyumbang ekspor komoditas lada di Indonesia, setelah Bangka Belitung.
Pada era kejayaannya, komoditas ini berkontribusi signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian bumi ruwa jurai. Lampung memiliki luas tanaman lada sekitar 44.454 hektar; dari luasan tersebut jumlah produksi sebanyak 12.778 ton dengan produktivitas 427 kg per hektar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deregulasi Lahan
Merosotnya produksi lada terjadi karena beberapa faktor. Antara lain adalah deregulasi lahan perkebunan lada di Lampung yang terus terjadi. Kabupaten Lampung Utara yang merupakan salah satu daerah penghasil lada terbesar mengalami penyusutan lahan cukup signifikan dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Penyusutan 14.849 ha merupakan jumlah tak sedikit. Terlebih itu baru dari satu kabupaten penghasil. Data Dinas Perkebunan Provinsi Lampung menyebutkan produksi lada hitam Lampung dari 50 ribu ton pada era 1970-an menjadi sekitar 23.239 ribu ton saat ini.
Selain itu, faktor lain adalah tidak stabilnya harga jual lada. Dalam beberapa tahun terakhir, harga lada di Lampung juga fluktuatif, bahkan cenderung terus menurun. Saat ini harga hasil tanaman perkebunan itu berkisar Rp 25.000/kg. Dengan harga segitu membuat petani merugi dan pada akhirnya enggan untuk menanam lada. Ditambah lagi dengan maraknya hama dan minimnya bantuan pemerintah terhadap para petani.
Harus Dikembalikan
Kejayaan lada Lampung tentu harus segera dikembalikan. Hal ini agar kesejahteraan masyarakat Lampung makin meningkat. Sebab, saat ini Lampung masih jauh tertinggal dengan provinsi lainnya, termasuk di Sumatera. Padahal, Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat melimpah.
Mengembalikan kejayaan Lada Lampung bisa dilakukan dengan sejumlah langkah. Harus ada proses perbaikan baik di hulu hingga hilir. Yakni mulai dari on farm, proses hilirisasi, pemasaran produk, maupun kelembagaannya. Antara lain perlu dengan meningkatkan produksi melalui penerapan good agricultural practice (GAP) dalam proses budidaya, dan intensifikasi tanaman lada.
Pemerintah Provinsi Lampung juga perlu segera menyusun program kerja sesuai tugas masing-masing bidang agar dapat mengimplementasikan hal-hal terkait terbitnya Indikasi Geografis Lada Hitam Lampung (IG-LHL) serta melakukan konsolidasi kelembagaan dan teknis pelaksanaan antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Kabupaten penghasil lada terbanyak setidaknya ada di Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Timur dan Tanggamus.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Lampung perlu melakukan koordinasi dan konsultasi dengan pemerintah pusat untuk menyosialisasikan penerapan GAP, good handling practices (GHP) dan good manufacturing practice (GMP) kepada petani lada. Program intensifikasi seluas 3.000 hektar juga wajib disukseskan dengan cepat.
Upaya mengembalikan kejayaan lada Lampung juga harus direalisasikan sepenuh hati lewat pendekatan kultural dan teknologi budi daya mumpuni. Hama yang membuat frustrasi petani harusnya diatasi, juga soal kestabilan harga lada.
Pemerintah pusat dan provinsi harus mendukung teknologi pengolahan hasil sehingga petani lada tak lagi menjual komoditas mentah, tapi mampu mengolah komoditas yang memberikan nilai tambah. Jika langkah-langkah tersebut dilakukan, maka secara perlahan tapi pasti kejayaan lada nasional dan Provinsi Lampung bisa direbut kembali.
Fathul Muin kandidat doktor, dosen peneliti di UIN Raden Intan Lampung
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini