NU dan Soal (Kecil) Kekuasaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

NU dan Soal (Kecil) Kekuasaan

Jumat, 25 Okt 2019 15:07 WIB
Iding Rosyidin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menteri Agama Fachrul Razi (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta - Kabinet Jilid 2 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden KH Maruf Amin telah dilantik. Namun agaknya masih meninggalkan residu kekecewaan, terutama terkait dengan jabatan menteri yang menurut sebagian kelompok dianggap tidak tepat. Atau mungkin dipandang tidak representatif.

Sebut saja contohnya penunjukan Menteri Agama. Jokowi ternyata lebih memilih jenderal (purnawirawan) TNI Fachrul Razi ketimbang tokoh dari kalangan ulama atau kiai. Lebih khusus lagi yang berasal dari ormas Islam terbesar di negeri ini, yaitu NU. Dan, sejak Era Reformasi, baru kali inilah jabatan menteri agama dipegang oleh militer.

Langkah Jokowi pun kemudian mendapatkan reaksi yang cukup keras. Misalnya dari salah seorang Ketua PBNU yang menyebutkan bahwa banyak kiai yang protes dan mengungkapkan kekecewaannya karena Jokowi memilih Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Pertanyaannya, perlukah NU protes dan kecewa atas langkah Jokowi tersebut?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak Perlu Diperebutkan

Sebenarnya, wajar saja jika kalangan NU merasa kecewa atas keputusan Jokowi. Hal ini terutama jika dilihat dari sudut pandang bahwa NU selama ini mendukung sepenuhnya semua program pemerintah dalam pemberantasan radikalisme dan terorisme. Bahkan kerapkali mereka yang pasang badan dalam sejumlah kasus. Tidak ada yang bisa membantah hal ini, karena ada cukup banyak fakta yang mendukungnya.

Namun, jika dilihatnya dari sisi lain, sebut saja dari sisi perjuangan, maka tidak dipilihnya menteri agama dari NU bukanlah sesuatu yang mengecewakan. Perjuangan untuk menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, toleran, dan damai dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, tanpa harus berada dalam kekuasaan formal seperti jabatan di kementerian.

Justru saya melihat ada hikmahnya jabatan menteri agama tersebut diberikan kepada tokoh non-NU dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, jika nanti benar-benar bahwa salah satu program utama Kementerian Agama adalah memberantas radikalisme, sangat mungkin Menag potensial berbenturan dengan kelompok Islam tertentu.

Katakanlah ketika pemerintah menilai salah satu ormas Islam sebagai radikal dan hendak membubarkannya, tentulah Kementerian Agama terlibat. Misalnya, Menag memberikan rekomendasi kepada Mendagri agar ormas tersebut dibubarkan. Kalau Menag dari NU, bukan tidak mungkin akan ada gesekan antara NU dengan ormas itu.

Para anggota atau simpatisan kelompok itu akan serta memandang NU dengan kekecewaan atau bahkan kebencian. Tidak bisa disalahkan jika ini yang terjadi, karena menterinya berasal dari tokoh NU. Pastilah para tokoh NU, dan kita semua sebagai umat tidak ingin hal tersebut terjadi dalam kenyataan.

Kedua, penunjukan Menteri Agama bukan dari NU justru membuat ormas Islam itu tetap berada dalam khitahnya, berjuang di sayap kultural. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tokoh NU yang paling menonjol dan getol dalam membawa NU untuk terus berada di wilayah kultural. Wilayah ini sesungguhnya jauh lebih luas dari pada wilayah politik.

Kontribusi NU terhadap bangsa di wilayah kultural ini sangatlah besar dan sulit diabaikan siapa pun. Dengan jumlah massanya yang sangat besar, NU dapat terus berkiprah di tengah-tengah masyarakat tanpa ada sekat-sekat yang membatasinya.

Ketiga, soal kekuasaan (jabatan menteri) sesungguhnya di kalangan NU merupakan hal yang kecil yang tidak perlu diperebutkan. Lebih-lebih kalau kita bicara di kalangan para kiai atau ulama yang umumnya memandang kekuasaan itu bukan hal utama dalam hidup. Maka, kalau ada ungkapan kekecewaan, biasanya hanya sementara atau seketika saja.

Dengan kata lain, bagi NU kekuasaan bukanlah segalanya. Justru NU akan lebih leluasa bergerak, termasuk dalam menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin jika tidak berhubungan dengan kekuasaan. Melalui pengajian, tahlilan, dan acara-acara serupa mereka bisa melakukan hal tersebut. Dan itu telah teruji sejak zaman dahulu sampai sekarang.

Memberi Kesempatan

Oleh karena itu, hal bijak yang mesti dilakukan NU sekarang adalah memberikan kesempatan kepada Menag baru untuk merealisasikan program kerja, sekaligus membuktikan apakah pilihan Jokowi tersebut berada di jalur yang tepat atau tidak.

Bagaimana pun mesti dipahami bahwa sesuai konstitusi, pengangkatan menteri adalah hak prerogatif presiden. Maka, ketika Jokowi sebagai presiden mengangkat seseorang menjadi menteri yang notabene adalah pembantunya, siapa pun harus menerima. Tinggal kemudian melihat bagaimana orang tersebut bekerja.

Dalam hal ini, boleh jadi Jokowi memiliki pertimbangan, bukan hanya mengurusi persoalan memberantas radikalisme, melainkan juga masalah cara bekerja. Posisi menteri, dalam pandangan Jokowi, agaknya tidak melulu berhubungan dengan aspek filosofis, misalnya terkait kebijakan, tetapi juga persoalan manajerial.

Maka, seorang menteri dituntut juga seorang manajer: memiliki ketegasan, kedisiplinan, dan semacamnya. Tampaknya, Fachrul Rozi yang memiliki latar belakang militer dianggap memiliki karakteristik tersebut. Dan sosok yang tegas ini sangat penting untuk pembenahan internal Kementerian Agama.

Apalagi di pengujung periode kepemimpinan Jokowi yang pertama, Kementerian Agama dilanda kasus yang sangat menghebohkan, yakni jual-beli jabatan. Seperti diketahui, salah seorang ketua umum partai politik terlibat dalam kasus tersebut. Jelas hal seperti ini mencoreng citra kementerian dan tentu saja partai terkait.

Dalam perspektif yang demikian, tidak mengherankan kalau kemudian Jokowi menunjuk seorang berlatar belakang militer untuk menjadi pembantunya dalam mengurusi Kementerian Agama. Berhasil atau tidaknya, waktu yang akan menjawab.

Iding Rosyidin Sekretaris Jenderal Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (Apsipol) dan Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads