Revisi Undang-Undang KPK untuk Siapa?

ADVERTISEMENT

Kolom

Revisi Undang-Undang KPK untuk Siapa?

Windu Wijaya - detikNews
Senin, 09 Sep 2019 13:24 WIB
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta -
Di ujung masa jabatan, DPR mengesahkan usulan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Seluruh fraksi telah menyetujui revisi UU KPK menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPR. Selanjutnya, revisi UU KPK akan dibahas bersama pemerintah.

Lantas apa tanggapan KPK sebagai Pengguna UU KPK menyikapi Revisi UU KPK? KPK di ujung tanduk, tutur Ketua KPK Agus Rahardjo. Hasilnya, revisi UU KPK kembali menimbulkan polemik. Diusulkan legislator, namun dikhawatirkan KPK. Begitulah realitanya kini.

Revisi Undang-Undang

Tak dapat dipungkiri, Undang-Undang adalah kebutuhan dalam kehidupan bernegara. Tetapi tidaklah mungkin suatu Undang-Undang akan mengatur secara lengkap dan tuntas. Ada kalanya di dalam UU akan dijumpai kekurangan ataupun kekeliruan. Undang-Undang merupakan teks normatif yang tidak pernah sempurna. Akan selalu ada problem yuridis, problem sosiologis bahkan problem filosofis yang akan muncul dalam setiap penerapan suatu Undang-Undang sehingga revisi terhadap Undang-Undang dapatlah dimaknai sebagai bentuk koreksi terhadap ketidaksempurnaan tersebut guna menjawab persoalan-persoalan hukum.

Revisi terhadap Undang-Undang bukanlah sesuatu yang terlarang. Sebaliknya perubahan terhadap norma yuridis dalam Undang-Undang merupakan solusi. Sebab revisi terhadap Undang-Undang bukan saja bertujuan hanya untuk mengisi norma hukum baru dalam Undang-Undang ataupun memperbaharui aturan yang usang, tetapi juga ikhtiar hukum untuk mengharmoniskan norma hukum dengan prinsip keadilan sebagai hakikat hukum.

Namun bagaimana bila revisi Undang-Undang tidak sesuai dengan kehendak publik? Bagaimana pula bila revisi Undang-Undang justru menikam keadilan? Persoalan-persoalan seperti ini acap kali terjadi dalam setiap agenda pembahasan perubahan suatu Undang-Undang, tak terkecuali revisi UU KPK.

Posisi Kita

Ada tiga kelompok terhadap Revisi UU KPK ini. Pertama, mereka yang setuju UU KPK direvisi. Pendapatnya, UU KPK perlu diubah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kelompok kedua, mereka yang menolak revisi UU KPK. Argumennya, Revisi UU KPK merupakan upaya melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi. Sedangkan kelompok ketiga adalah mereka yang tidak setuju ataupun menolak. Penyebabnya beraneka ragam. Bisa karena tidak peduli, bisa juga karena intelektualitas yang terbatas. Lantas di mana posisi kita?

Dalam melakukan Revisi UU KPK, tentu DPR sebagai pembentuk Undang-Undang tidak lepas dari kepentingan. Sebab itu usulan DPR untuk melakukan revisi UU KPK patutlah dipersoalkan. Alasannya, dalam draf revisi UU KPK kali ini diatur tentang penyadapan hingga penggeledahan harus seizin dewan pengawas yang dipilih DPR. Kemudian juga diatur tentang penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Tak hanya itu, dalam hal bidang pencegahan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pun dipangkas.Mencermati materi teks yuridis yang diatur dalam revisi UU KPK memanglah mencemaskan. Tak heran bila ketua KPK berpendapat bahwa KPK di ujung tanduk. Pernyataan komisioner KPK ini menggambarkan sebuah kondisi yang sangat genting dan membahayakan bagi KPK apabila revisi UU KPK terwujud.

Motif apa sesungguhnya di balik revisi UU KPK ini? Pertanyaan ini harus diajukan untuk mengungkap alasan apa sesungguhnya dari aksi legislator mengesahkan revisi UU KPK. Apakah karena alasan sosiologis guna memenuhi kebutuhan hukum masyarakat? Undang-undang secara sosiologis dapat dipandang sebagai karya manusia, sehingga pembicaraannya harus dimulai dari masyarakat itu sendiri. Seperti diketahui, tidak ada kebutuhan riil masyarakat ataupun aspirasi rakyat terhadap revisi UU KPK. Tetapi tanpa mengajak publik berbicara, legislator mengambil keputusan mengesahkan revisi UU KPK.

Lalu, apakah karena alasan filosofis guna menghasilkan Undang-Undang yang bermanfaat atau bernilai? Cara berpikir secara filosofis tentu akan mempertanyakan makna dibentuknya KPK dalam lensa historis. Lahirnya KPK karena lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan dinilai tidak berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi sehingga keberadaan KPK memiliki makna sebagai "sapu pembersih" yang ditugaskan untuk membersihkan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk itulah KPK bersifat independen agar secara leluasa menjalankan "proyek bersih-bersih" terhadap delik korupsi tampa ada campur tangan kekuasaan.

Tetapi mengapa dalam revisi UU KPK mengatur norma hukum tentang Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung? Bahkan revisi UU KPK mengatur pula tentang penyadapan hingga penggeledahan harus seizin dewan pengawas yang dipilih DPR. Tentu, hal ini akan menghilangkan makna lembaga antirasuah sebagai lembaga yang bersifat independen.

Dari penjabaran tersebut dapatlah disimpulkan bahwasanya di balik Revisi UU KPK ini patut diduga adanya iktikad buruk yang begitu rapi direncanakan, diorganisasi, dan dikontrol untuk melumpuhkan komisi antirasuah ini. Jika Revisi UU KPK terjadi, KPK akan lumpuh. Lembaga KPK hanyalah akan menjadi "lembaga boneka". Lantaran itu, menolak revisi UU KPK adalah posisi seharusnya kita berpijak. Sebab revisi UU KPK mengandung cacat sosiologis bahkan cacat filosofis.

Kalau begitu untuk siapakah dilakukan revisi UU KPK? Untuk memperkuat KPK? Jelas tidak, sebab melumpuhkan kekuatan KPK. Untuk masyarakat? Juga tidak, sebab publik menghendaki KPK diperkuat bukan diperlemah. Lalu untuk siapa revisi UU KPK ini dilakukan? Apakah untuk kelompok yang ingin mematikan KPK secara perlahan? Pertanyaan terakhir itu biarlah kita serahkan ke Presiden Jokowi untuk menjawab.

Windu Wijaya, SH, MH advokat, peneliti hukum pada Pusat Studi Filsafat Hukum

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT