Presiden Joko Widodo memproklamasikan 2020 hingga 2024 program pembangunan fokus pada membangun SDM Unggul Indonesia Maju. Semakin disadari, persoalan pembangunan tak hanya melulu persoalan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM semakin urgen. Walau, pembangunan infrastruktur pun tak bisa ditinggal.
Sedemikian rendahkah kualitas SDM kita? Masih hangat terdengar, bahkan sempat menjadi polemik tentang upaya menggaet WNA sebagai rektor perguruan tinggi. Disinyalir, daya saing bangsa kita masih lemah. Bank Dunia dalam pertemuan di Bali tahun lalu merilis Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada pada peringkat 87 dari 157 negara. Jauh dari peringkat negara-negara tetangga.
Demikian pula hasil laporan World Economic Forum (WEF) 2018 menunjukkan Indonesia berada pada posisi 45 dari 140 negara. Hanya naik dua peringkat dari tahun sebelumnya (2017 peringkat 47).
Laporan dari WEF dengan judul Global Competitiveness Report 4.0 menunjukkan ada 98 indikator yang diasumsikan menjadi faktor penggerak dan faktor efisiensi iklim usaha ekonomi suatu negara. Sebanyak 98 indikator itu dirangkum dalam 12 pilar: institusi, infrastruktur, adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), stabilitas makroekonomi, kesehatan, kemampuan, pasar produk, pasar tenaga kerja, sistem finansial, ukuran pasar, dinamisme bisnis, dan kapabilitas inovasi.
Indonesia memiliki keunggulan dalam stabilitas makroekonomi, ukuran pasar, dan kesehatan. Namun masih banyak indikator lain yang perlu dibenahi.
Masalah Daya Saing
Berbicara daya saing, banyak aspek yang seyogianya menjadi perhatian. Perlu penataan dalam peningkatan daya saing nasional, seperti produktivitas, nilai tambah, dan logistik. Terkait produktivitas, hal utama yang perlu ditata adalah kualitas sumber daya manusia. Nilai tambah industri pun masih rendah, demikian juga logistik dalam negeri yang harganya lebih mahal dibandingkan luar negeri.
Data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2019 menunjukkan penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang bekerja lebih dari separuhnya berpendidikan SMP ke bawah (58,27%). Sebagian besar mereka (42,74%) terserap pada lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Sebarannya hampir merata antara perkotaan dan perdesaan. Hal ini sejalan dengan rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia yang baru mencapai 8,17 tahun (setara kelas 8 SMP). Rendahnya tingkat pendidikan pekerja tentunya akan berimbas pada rendahnya produktivitas usaha dan tingkat upah yang diterima.
Persoalan produktivitas erat kaitannya juga dengan masalah rendahnya nilai tambah. Rantai produk atau jalur distribusi yang terlalu panjang dan pemanfaatan teknologi dan inovasi dalam proses bisnis usaha adalah diantara penyebabnya. Pada skala 0-10 Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi baru mencapai 4,99, dengan kategori sedang. Indeks ini sebagai ukuran standar tingkat pembangunan TIK di suatu wilayah yang dapat dibandingkan antarwaktu dan antarwilayah.
Statistik penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi BPS juga menunjukkan baru 69,53% perusahaan pada sektor bisnis yang menggunakan internet --24,49% di antaranya melakukan pembelian barang/jasa dan 28,78% di antaranya melakukan penjualan barang/jasa melalui internet.
Sisi TIK masih menjadi tantangan dalam mengakselerasi capaian nilai tambah nasional. Di sisi lain terlihat dari jenis dan ragam barang/jasa yang diekspor. Rendahnya nilai tambah ekspor di antaranya karena ragam barang yang dijual adalah co-manufacturing product. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam peningkatan daya saing industri nasional. Tantangan ini perlu dihadapi dengan terus mengupayakan perbaikan infrastruktur. Infrastruktur penting dalam hal peningkatan konektivitas antarwilayah dan antarbisnis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peningkatan kualitas SDM masih perlu terus diperjuangkan. Bagaimanapun, kualitas SDM menjadi pintu masuk utama dalam upaya peningkatan daya saing. Pada level terendah, kualitas SDM ini menjadi pintu keluar dari lingkaran kemiskinan. Bagaimana bisa berdaya saing, jika sebagian besar masyarakat kita masih dihantui kemiskinan?
Mulai dari Desa
Kenapa harus dimulai dari desa? Kita melihat bahwa mempercepat pembangunan di perkotaan ternyata banyak menyisakan persoalan. Di antaranya daya dukung lingkungan, kesemrawutan tata kota, polusi, kemacetan, dan ketimpangan.
Kesenjangan pendapatan masyarakat di perkotaan masih lebar (gini rasio perkotaan Maret 2019 sebesar 0,392). Jauh lebih tinggi dibandingkan ketimpangan di perdesaan yang mencapai 0,317. Walaupun bisa saja terjadi, jika terjadi pembangunan industri maupun bisnis baru di desa angka gini rasio di desa pun akan meningkat. Namun angka kemiskinan di perdesaan yang hampir dua kali kemiskinan di perkotaan, kiranya menjadi penyebab berbondong-bondongnya penduduk desa ke kota.
Program pemerataan pendidikan saat ini kiranya menjadi langkah awal yang baik. Sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan di seluruh wilayah. Tak hanya sekolah di kota saja yang berkualitas dengan murid terbaik, tapi di desa pun bisa. Namun zonasi sekolah yang saat ini dilakukan, kiranya perlu diimbangi dengan peningkatan dan pemerataan kualitas guru serta tenaga kependidikan.
Strategi pembangunan dari pinggiran yang digulirkan sejak 2015 lalu, menjadi awal berkembangnya aktivitas usaha di desa pada berbagai wilayah. Perlu kerja keras dalam perencanaan yang matang, pengawalan serta pendampingan. Jangan sampai hanya sekedar program dan prosesi ceremonial semata.
Setelah fokus pada pembiayaan infrastruktur, sudah saatnya dana desa yang selama ini digulirkan mulai beralih pada bagaimana membangun SDM dan ekonomi desa. Bisa dilakukan melalui berbagai hal, seperti pembangunan produk unggulan desa yang berdaya saing, serta pembangunan SDM di desa. Pembinaan dan pendampingan pada setiap tahapan proses bisnis perlu diperkuat. Disini, peran berbagai pihak sangat menentukan. Pendampingan memegang peranan penting, tidak sekedar ceremonial pada pengguliran setiap program.
Di sisi lain, penguatan basis data, kualitas pendamping, kualitas SDM masyarakat desa itu sendiri, kebijakan pemerintah, serta dukungan pelaku usaha pada rantai bisnis urgen pun dibutuhkan. Mustahil daya saing nasional bisa meningkat, jika hanya segelintir pihak yang bekerja. Dengan partisipasi semua pihak, akselerasi daya saing nasional melalui akselerasi kualitas SDM unggul adalah suatu keniscayaan.
Isti Larasati Widiastuty Statistisi Madya di Badan Pusat Statistik