Habib Ali al-Jufri pernah menulis sebuah buku berjudul al-Insaniyyah qabl at-Tadayyun (kemanusiaan sebelum keberagamaan). Intinya berisi pemahaman bahwa agama dan kemanusiaan pasti sejalan, mengingat misi utama agama adalah kemanusiaan itu sendiri.
Menurut Ibn Asyur, agama-agama Tuhan diturunkan dengan misi yang sama, yaitu untuk menjaga dan mengelola alam semesta serta memperbaiki keadaan para penghuninya, terutama umat manusia. Sehingga sebuah agama dikatakan agama karena ia memuat seperangkat ajaran (keyakinan) dan perbuatan yang mengantarkan pemeluknya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam hadir, menurut Muḥammad az-Zuḥaili, untuk mewujudkan kebahagiaan bagi kehidupan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan keberagamaan, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal beragama. Dengan demikian, keberagamaan ini berkaitan erat dengan interpretasi atau pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci.
Sehingga tidak heran apabila ada sebagian keberagamaan yang menabrak dan bahkan menggilas habis kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam agama. Bahkan dalam praktiknya tidak jarang sebagian orang menggunakan jargon "atas nama agama" untuk membenarkan dan melegitimasi tindakan yang sejatinya bersumber dari keberagamaannya tersebut.
Benar kata KH Malik Madani, mantan Khatib Aam PBNU, ketika memberikan mata kuliah Tafsir Ahkam di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta beberapa tahun lalu. Kata-kata yang terekam indah dalam ingatan saya adalah: laisa al-'aib fi dînina wa lakinn al-'aib fi tadayyunina (tidak ada kecacatan dalam agama kami, tetapi kecacatan itu muncul dari keberagamaan kami).
Dengan kata lain, ketika ada seseorang melakukan perbuatan buruk atas nama agama, maka sejatinya ia bukan ajaran agama, tetapi hanyalah ekspresi keberagamaan. Dalam hal ini, yang cacat bukan agamanya, tetapi keberagamaannya. Cacatnya keberagamaan ini bisa saja disebabkan oleh kekurangan atau bahkan kesalahpahaman dalam memahami ajaran-ajaran agama. Sehingga agama yang sejatinya hadir untuk kemanusiaan berubah menjadi alat paling mengerikan dan mematikan dalam menghancurkan kehidupan manusia.
Pendek kata, agama (ad-din) dan pemikiran keagamaan (afkar ad-din) adalah dua hal yang berbeda. Jika kebenaran agama bersifat absolut dan universal, maka kebenaran pemikiran keagamaan bersifat nisbi dan temporal. Sebab, pemikiran keagamaan adalah hasil ijtihad seseorang yang serba terbatas dalam memahami agama yang memang berasal dari Tuhan. Sehingga hasil ijtihad tersebut bisa saja benar dan bisa saja salah.
Benar kata Imam asy-Syafi'i yang pernah disampaikan oleh KH Agus Maftuh Abegebriel ketika memberikan kuliah Hadis Ahkam di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ra'yuna ṣawabun yaḥtamilu al-khaṭa' wa ra'yu gairina khaṭa'un yaḥtamilu aṣ-ṣawab (pendapat kami benar, tetapi ada kemungkinan salah. Pendapat selain kami salah, tetapi ada kemungkinan benar).
Benar kata Imam asy-Syafi'i yang pernah disampaikan oleh KH Agus Maftuh Abegebriel ketika memberikan kuliah Hadis Ahkam di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ra'yuna ṣawabun yaḥtamilu al-khaṭa' wa ra'yu gairina khaṭa'un yaḥtamilu aṣ-ṣawab (pendapat kami benar, tetapi ada kemungkinan salah. Pendapat selain kami salah, tetapi ada kemungkinan benar).
Oleh karena itu, dalam pembahasan ini saya menyodorkan potongan ayat 83 al-Baqarah (2) yang menjadi salah satu bahasan dalam buku al-Insaniyyah qabl at-Tadayyun. Potongan ayat tersebut: wa qulu li an-nas ḥusna (dan bertutur katalah yang baik kepada manusia). Menurut Habib Ali al-Jufri, ayat ini penting dibahas karena memberikan pelajaran yang sangat berarti untuk kehidupan manusia sekarang. Pelajaran penting tersebut adalah menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia.
Sebab, kewajiban-kewajiban agama (Islam) seperti salat, puasa, dan zakat menjadi tidak sempurna dan tidak memberikan efek apa-apa tanpa adanya hubungan yang baik dengan sesama manusia. Oleh karena itu, Allah lebih mendahulukan kalimat wa qulu li an-nas ḥusna daripada kalimat aqimu aṣ-ṣalah wa atu az-zakah (dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat) dalam ayat 83 al-Baqarah tersebut.
Sebab, kewajiban-kewajiban agama (Islam) seperti salat, puasa, dan zakat menjadi tidak sempurna dan tidak memberikan efek apa-apa tanpa adanya hubungan yang baik dengan sesama manusia. Oleh karena itu, Allah lebih mendahulukan kalimat wa qulu li an-nas ḥusna daripada kalimat aqimu aṣ-ṣalah wa atu az-zakah (dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat) dalam ayat 83 al-Baqarah tersebut.
Adapun makna wa qulu li an-nas ḥusna, menurut Ibn Katsir, adalah bertutur kata baik kepada sesama manusia secara lemah-lembut dan termasuk di dalamnya menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan kebaikan atau cara yang baik (al-amr bi al-ma'ruf wa an-nahy 'an al-munkar bi al-ma'ruf).
Dalam perkembangannya, potongan ayat tersebut dijadikan dasar oleh sebagian ulama salaf akan kebolehan memanggil salam kepada orang Yahudi dan Kristen. Kebiasaan ini pernah dilakukan oleh Asad bin Wada'ah yang biasa mengucapkan salam setiap kali bertemu dengan orang Yahudi atau orang Kristen. Ketika ditanya, "Mengapa kamu mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan orang Kristen?" Dia menjawab, "Allah berfirman: wa qulu li an-nas ḥusna, di mana hal itu adalah salam."
Dalam perkembangannya, potongan ayat tersebut dijadikan dasar oleh sebagian ulama salaf akan kebolehan memanggil salam kepada orang Yahudi dan Kristen. Kebiasaan ini pernah dilakukan oleh Asad bin Wada'ah yang biasa mengucapkan salam setiap kali bertemu dengan orang Yahudi atau orang Kristen. Ketika ditanya, "Mengapa kamu mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan orang Kristen?" Dia menjawab, "Allah berfirman: wa qulu li an-nas ḥusna, di mana hal itu adalah salam."
Sehingga dalam kesempatan lain Imam al-Alusi, sebagaimana dikutip oleh Habib Ali al-Jufri, mengatakan bahwa kalau ada pendapat bahwa potongan ayat tersebut telah dihapus dengan ayat lain atau kata an-nas hanya spesifik berbuat baik kepada orang-orang mukmin saja dan tidak diperuntukkan kepada orang-orang kafir dan fasik (karena menganggap mereka harus dilaknat, dicela, dan diperangi), maka pendapat itu jelas jauh melenceng (tidak benar).
Oleh karena itu, Habib Ali al-Jufri menyimpulkan secara tegas bahwa makna berbuat baik dalam potongan ayat tersebut berlaku untuk semua manusia dan tidak terbatas kepada orang-orang salih; berlaku kepada semua jenis perbuatan baik, baik dari segi ucapan maupun perbuatan, dan tidak terbatas kepada menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran; berlaku dalam syariat Islam dan tidak terbatas kepada Bani Israil; hukumnya berlaku sampai sekarang dan tidak dihapus (mansukh).
Oleh karena itu, Habib Ali al-Jufri menyimpulkan secara tegas bahwa makna berbuat baik dalam potongan ayat tersebut berlaku untuk semua manusia dan tidak terbatas kepada orang-orang salih; berlaku kepada semua jenis perbuatan baik, baik dari segi ucapan maupun perbuatan, dan tidak terbatas kepada menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran; berlaku dalam syariat Islam dan tidak terbatas kepada Bani Israil; hukumnya berlaku sampai sekarang dan tidak dihapus (mansukh).
Dalam ranah maqaṣid asy-syari'ah, iḥsan (berbuat baik) termasuk salah satu tujuan syariat Islam yang harus diwujudkan dalam kehidupan manusia. Ia (iḥsan) merupakan tujuan dari seluruh ajaran Islam, seperti akidah, ibadah, suluk, muamalah, dan politik keagamaan. Menurut Muḥammad az-Zuḥaili, iḥsan lebih tinggi daripada keadilan dan mu'amalah bi al-misl (hubungan saling membalas perbuatan yang sama).
Salah satu contoh pelaksanaan iḥsan adalah suka memaafkan, menampilkan perkara-perkara yang mulia, berbudi luhur sebagai alat untuk merekatkan hubungan sesama manusia, rela berkorban, dan mementingkan kepentingan orang lain. Sehingga tidak heran kalau Imam Nawawi al-Jawi menyebutkan bahwa agama adalah nama dari tiga hal: Islam, iman, dan iḥsan.
Salah satu contoh pelaksanaan iḥsan adalah suka memaafkan, menampilkan perkara-perkara yang mulia, berbudi luhur sebagai alat untuk merekatkan hubungan sesama manusia, rela berkorban, dan mementingkan kepentingan orang lain. Sehingga tidak heran kalau Imam Nawawi al-Jawi menyebutkan bahwa agama adalah nama dari tiga hal: Islam, iman, dan iḥsan.
Oleh karena itu, ketika kita dihadapkan dengan sebuah keberagamaan atau pemikiran keagamaan yang mencederai kemanusiaan, maka seharusnya kita lebih mengutamakan kemanusiaan dan meninggalkan pemikiran keagamaan tersebut. Sebab, pada gilirannya ia akan menimbulkan kemudaratan yang memang tidak dihendaki dalam syariat Islam.
Dalam konteks ini, bagi kaum non Muslim, kalau sekiranya pendapat keagamaan Ustaz Abdul Somad dianggap mencederai kemanusiaan karena dianggap menghina atau menyakiti perasaan pemeluk agama tertentu, maka sebaiknya kita meninggalkan pendapat tersebut dan mencari pendapat keagamaan lain yang memang sejalan dengan kemanusiaan. Mengingat Islam memiliki tradisi keilmuan dan pemikiran yang sangat kaya.
Dalam konteks ini, bagi kaum non Muslim, kalau sekiranya pendapat keagamaan Ustaz Abdul Somad dianggap mencederai kemanusiaan karena dianggap menghina atau menyakiti perasaan pemeluk agama tertentu, maka sebaiknya kita meninggalkan pendapat tersebut dan mencari pendapat keagamaan lain yang memang sejalan dengan kemanusiaan. Mengingat Islam memiliki tradisi keilmuan dan pemikiran yang sangat kaya.
Bagaimanapun, pemikiran keagamaan tersebut, termasuk pemikiran Ustaz Somad mengenai salib, patung, dan jin kafir yang bersemayam di dalamnya adalah hasil ijtihad. Sehingga ia bisa saja benar dan bisa saja salah. Begitu pula dengan sikap dan pendapat Ustaz Somad untuk memperkuat pendiriannya ketika memberikan keterangan di MUI. Dalam kesempatan itu, dia sempat mengutip hadis tentang tidak masuknya malaikat ke dalam sebuah rumah yang ada patungnya dan ayat 73 al-Ma'idah (5) yang menyatakan bahwa kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga.
Sekali lagi, itu hanyalah pemikiran keagamaan Ustaz Somad yang bisa saja benar dan bisa saja salah. Sebab, penafsiran terhadap hadis dan ayat itu tidaklah tunggal. Dalam hal al-Ma'idah (5): 73, tentu kita membutuhkan waktu khusus untuk mempelajari konsep Trinitas dalam agama Kristen, baik klasik maupun modern. Sehingga kita mendapatkan pengetahuan yang utuh tentang konsep Trinitas untuk kemudian dijadikan pertimbangan dalam menafsirkan ayat tersebut.
Sekali lagi, itu hanyalah pemikiran keagamaan Ustaz Somad yang bisa saja benar dan bisa saja salah. Sebab, penafsiran terhadap hadis dan ayat itu tidaklah tunggal. Dalam hal al-Ma'idah (5): 73, tentu kita membutuhkan waktu khusus untuk mempelajari konsep Trinitas dalam agama Kristen, baik klasik maupun modern. Sehingga kita mendapatkan pengetahuan yang utuh tentang konsep Trinitas untuk kemudian dijadikan pertimbangan dalam menafsirkan ayat tersebut.
Dengan demikian, setidaknya pemikiran dan pendapat keagamaan tersebut tidak mengganggu dan menyakiti orang lain atau keyakinan pemeluk agama tertentu agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap berjalan harmonis. Sehingga persatuan yang dicita-citakan oleh para tokoh bangsa senantiasa terjaga ila yawm al-qiyamah. Dalam Islam, semua ini dilakukan dalam rangka mengamalkan ayat wa qulu li an-nas ḥusna (al-Baqarah: 83), yaitu menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia, baik dari segi sikap, ucapan, maupun perbuatan.
Nasrullah Ainul Yaqin alumni Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies Kajian Maqasid dan Analisis Strategik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mmu/mmu)