Black Out: Berkunjung ke Era Pradigital
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Black Out: Berkunjung ke Era Pradigital

Selasa, 06 Agu 2019 13:52 WIB
Rita Achdris
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: 20detik
Jakarta -

Tahukah Anda di mana Ujung Harapan? Jawabannya: Bekasi. Tempat itu adalah lokasi resepsi pernikahan seorang teman, Minggu (4/8) lalu. Saya janjian ke sana dengan teman kantor di Stasiun Bekasi. Dari Depok saya berangkat pukul 07.01 naik KRL, sedangkan teman membawa mobil dari Jakarta. Kereta saya tiba di Stasiun Bekasi pukul 08.31, telat 7 menit dari jadwal yang tertera di aplikasi KRL Access.

Kami berangkat ke lokasi dipandu aplikasi Google Map. Waktu tempuh diperkirakan 26 menit. Apa daya, Google Map membawa kami melewati satu gang ke gang kecil lain. Walhasil, realisasi waktu tempuh molor jadi dua jam. Itu pun setelah bertanya-tanya pada warga lokal. Kami tiba di lokasi tengah hari. Karena ada acara lain, kami tak banyak basa-basi. Ketika pamitan, ibu mempelai memberi kami masing-masing satu kotak kudapan.

Dikhianati Google Map tak membuat teman saya kapok. Ia tetap mengandalkannya sebagai petunjuk menuju pintu tol Bekasi Timur. Tiba-tiba hape teman berbunyi, "GPS Anda mati!" Kami tertawa karena menganggap itu lucu. Tak lama kemudian hape teman berbunyi lagi, "Hari sudah siang, mari kita berangkat!" Kami tertawa lagi. Anehnya, setelah itu Google Map membisu. Saya cek hape saya, tertulis no service. Kawan lain juga begitu. Dari status Whatsapp seorang teman, kami dapat info bahwa Jabodetabek dan Jabar black out. Listrik mati total.

Jalanan kian padat dan amat merayap. Kami belum tahu arah menuju pintu tol Bekasi Timur. Rambu-rambu di jalan minim sekali. Setelah dua jam berkendara, seorang kawan menunjuk plang bertuliskan "Masuk Stasiun Bekasi". "Mbak, nggak turun di sini?" katanya. Mulanya saya ragu. Pikir saya, mungkin KRL tidak beroperasi karena listrik mati --KRL kan Kereta Rel Listrik. Tapi kemudian saya melihat sebuah kereta melintas. Saya memutuskan turun. Daripada frustrasi di tengah kemacetan, ya kan?

Dan, dugaan saya tak meleset. Calon penumpang berjejal di luar stasiun. Ada yang berdiri, ada yang lesehan, ada yang duduk selonjoran di lantai. Ada juga gerombolan ibu-ibu yang berdiri sambil mengumpat pemerintah. Dari pengeras suara stasiun diumumkan bahwa kereta commuter line tidak beroperasi sampai waktu yang tidak ditentukan, penumpang yang tidak terburu-buru dianjurkan memakai moda transportasi lain.

Saya menerobos kerumunan. Mulanya petugas mencegah masuk. Tapi dengan memelas saya bilang, saya mau menunggu di dalam. Saya benar-benar lelah dan putus asa. Stasiun tampak lengang. Kursi-kursi tunggu banyak yang kosong. Di Peron 2, satu rangkaian KRL terparkir dengan pintu tertutup. Saya terkecoh. Rupanya, kereta yang melintas tadi adalah kereta jarak jauh menuju Stasiun Gambir. Saya duduk sendiri di bangku Peron 2. Angin berembus kencang. Rasa penat perlahan menghilang.

***

Satu jam berlalu. Walaupun berulang kali diumumkan agar calon penumpang mengganti moda transportasi, saya memutuskan menunggu. Alasan utamanya, KRL satu-satunya moda transportasi menuju Depok yang saya tahu. Selain itu, ya ojek atau mobil online. Celakanya, hape saya mati total. Dayanya cepat sekali tersedot sejak koneksi internet byar-pet hingga sinyal lenyap.

Bodohnya, tadi pagi saya mengabaikan firasat supaya membawa charger. Padahal saya sangat tergantung pada mesin pencari Google untuk mencari tahu setiap jawaban dari aneka masalah kehidupan. Mungkin, karena itu saya jadi lupa ada peribahasa malu bertanya sesat di jalan. Tiba-tiba saja saya gagap dihadapkan pada "masalah" yang sebenarnya adalah bagian kehidupan era pradigital, sebelum handphone dan internet berada dalam genggaman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

***

Sambil menjinjing tas besar, seorang ibu paruh baya duduk di sebelah saya. Dari dia, saya mendapat info bahwa Transjakarta juga lumpuh. Ibu itu datang bersama suami, anak, dan menantunya. Katanya, mereka mau ke Sawah Besar. Mereka sudah di dalam kereta ketika aliran listrik tiba-tiba padam. Semua penumpang diminta turun. Pintu-pintu kereta lalu ditutup. Itu kejadian pukul 11.30.

Hanya sedikit calon penumpang seperti keluarga ibu itu yang bertahan menunggu hingga pukul 4 sore. Anak perempuannya menggerutu. Katanya, seandainya mereka meninggalkan stasiun dari tadi mungkin mereka sudah sampai di tujuan. Mereka berdebat ketika saya pamit ke toilet.

Toilet gelap. Di dalam, seorang ibu sudah mengantre. Saya berdiri di depan pintu kamar kecil sebelahnya. Antrean bertambah panjang karena hanya 2 dari 4 kamar kecil yang bisa dipakai. Kata petugasnya, mereka berhemat karena mesin air mati.

Ibu yang mengantre di sebelah saya tadi sudah bergantian dengan pengantre lain, tapi pintu kamar kecil depan saya tak kunjung terkuak. Cuma gemericik air yang terdengar. "Ini kok dari tadi lama amat, lagi BAB kali ya?" ibu di belakang saya mulai mengomel. "Mana airnya tinggal sedikit," ibu lain menimpali. "Jangan-jangan airnya keburu habis waktu kita masuk," kata saya berpartisipasi. Akhirnya pintu terbuka. Saya pun berhasil mengurangi beban hidup di kamar kecil.

Ketika saya kembali ke peron, kursi tunggu semakin banyak yang kosong. Keluarga ibu tadi sudah tak ada. Agaknya sang anak menjadi pemenang debat. Saya kembali duduk, menarik napas panjang, dan melamun. Matahari berwarna jeruk matang terlihat bulat di ufuk barat. Saya mulai gusar.

Dua orang ibu menghampiri saya. Mereka adalah para penyintas yang dipersatukan nasib. Keduanya telanjur menunggu sejak kereta gagal berangkat. Mereka belum memutuskan apakah akan tetap menunggu atau memakai moda transportasi lain. "Ya lapar, ya haus," kata seorang ibu. Saya tawarkan snack pemberian ibu mempelai pada mereka. Saya juga menceritakan problem saya.

"Naik busway saja ke Cawang, dari Cawang terus ke Depok," ibu lain membeli solusi. Masalahnya, halte busway terdekat harus ditempuh dengan dua kali naik angkot di titik-titik perhentian yang gelap bagi saya. Maka kami memutuskan menunggu sampai pukul 18.00. Tapi dua sekuriti stasiun mendekati kami, menyarankan agar kami berganti transportasi karena tidak ada kepastian kapan KRL akan beroperasi.

"Mbak, mau saya pesankan ojek dari HP saya?" kata ibu tadi. Saya mengangguk menyambut kebaikan hatinya. Pemesanan itu gagal karena koneksi internet tidak stabil. Akhirnya kami menuju pangkalan ojek online di seberang stasiun. Abang ojek menawarkan tarif dua kali tarif normal. Kata si ibu, itu kemahalan. Dia menyarankan saya naik angkutan kota saja. Tapi saya merasa pilihan itu terlalu berisiko, sehingga saya memutuskan menerima tawaran abang ojek.

Di atas ojek, saya memikirkan alternatif seandainya Transjakarta masih lumpuh. Mungkin saya akan carter ojek ini sampai Depok. Atau, kalau capek banget, saya terpaksa menginap di hotel. Anehnya, opsi taksi sama sekali tidak terlintas di benak. Mungkin karena saya terlalu terbiasa dengan gaya hidup yang mudah dan murah --meski kadang susah-- seperti slogan transportasi massal.

***

Langit mulai gelap. Dari jauh tampak orang-orang mengantre sejak undakan halte Transjakarta. Di gerbang halte, di atas meja yang sepertinya ditempatkan darurat, sebuah laci wadah uang dibiarkan terbuka. Petugas hanya melayani pembayaran tunai. Saya menjadi penumpang terakhir yang menumpangi bus sesak itu.

Pukul 20.00, bus kami tiba di halte Cawang UKI. Halte bus gelap. Orang-orang berdesakan, untung masih bisa ditembus untuk menemukan antrean menuju halte BKN. Kata petugas, halte BKN adalah tempat Transjakarta jurusan Depok diberangkatkan.

Begitu menginjak halte BKN, kami langsung berhadapan dengan pagar manusia yang rapat dan padat. Ruangan gelap dan pengap. Sesekali terdengar teriakan orang histeris yang terjebak, maju kena-mundur kena. Lalu terdengar, "Huuuuu!" dan, "Sabar! Sabar!"

Tampaknya lebih dari separuh isi halte ini mau ke Depok. Saya baru tahu bahwa penumpang lain menunggu kedatangan bus sejak pukul 17.30. Setelah melalui aksi sikut dan dorong, saya kebagian bus kedua.

Bus kami tiba di Terminal Depok pukul 21.30. Ajaibnya, tak jauh dari sana, angkot yang melewati rumah saya sudah menunggu. Padahal, biasanya angkot sudah menghilang sejak pukul 20.30. "Hari ini ojol apes bener deh," kata sopir angkot. "Kalau bisa, sering-sering aja mati lampu kayak begini," katanya lagi. Terus terang saya menolak tegas gagasan itu.

Rita Achdris warga Depok, Jawa Barat

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads