Menikah Bonus Rumah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menikah Bonus Rumah

Minggu, 04 Agu 2019 11:30 WIB
Marliana Kuswanti
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: thinkstock
Jakarta -
Gara-gara membaca tulisan Jodoh dan Hal-hal Lain tentang Pencapaian, Minggu (28/7) lalu, saya jadi tergerak menuliskan pengalaman ini. Suatu hari, saya naik taksi daring. Sepanjang perjalanan, saya bercakap-cakap dengan sang pengemudi. Salah satunya, ia bertanya apakah saya sudah menikah dan di kota ini tinggal di rumah sendiri atau indekos.

Pertanyaan yang cenderung pribadi memang. Tetapi saya masih bisa menganggapnya lumrah karena kebiasaan masyarakat kita memang masih demikian. Di negara lain mungkin nranyak jadinya, alias melanggar privasi orang dan etika pergaulan. Tetapi di sebagian besar masyarakat kita, pertanyaan-pertanyaan semacam itu justru kerap dianggap wujud kepedulian sesama.

Karena dusta tidak baik, ya saya jawab saja kalau saya belum menikah dan alhamdulillah masih jadi anak kos. Supaya percakapan tak terkesan setengah hati dan lebih hangat, saya juga menambahkan bahwa saya sedang berusaha keras punya rumah sendiri. Ya, siapa sih yang tidak ingin punya rumah sendiri? Standar kemapanan kan salah satunya ya memiliki hunian pribadi.

Mungkin di sinilah kesalahan saya bermula. Mungkin seharusnya saya tak jujur-jujur amat. Sebab sahutan sang pengemudi kemudian rasanya lumayan menohok bahkan kalau boleh lebay sedikit, mencabik-cabik harga diri saya sebagai perempuan.

Dengan cepat dia berkata, "Kalau begitu, cari suami orang sini saja, Mbak. Biar punya rumah. Suami dapat, rumah juga dapat."

Sontak batin saya, waduh, begini amat ya responsnya? Mencari suami atau menikah bagi perempuan supaya mendapatkan rumah. Saya menggarisbawahi itu dalam kepala. Lalu sepenggal lirik lagu grup musik Armada pun seketika menjadi pengiring pikiran saya yang berkecamuk tak henti-henti. Mau dibawa ke mana hubungan kita...

Saya percaya, pandangan pernikahan sebagai sesuatu yang sangat sakral menjadi milik nyaris semua orang terutama di negara ini. Namun di lain pihak, saya juga tidak dapat menulikan telinga dari tidak sedikitnya suara di lingkungan yang kurang lebih ya seperti ucapan sang pengemudi tadi. Terutama, untuk perempuan. Menikahlah engkau, wahai perempuan, supaya engkau mendapatkan jaminan nafkah termasuk rumah.

Dua hal yang menurut saya sangat kontradiktif. Kenapa? Karena menurut saya, yang terakhir amat menodai kesakralan pernikahan. Masa iya, menikah, memutuskan menghabiskan sisa umur dan membesarkan anak-anak dengan seseorang hanya untuk hal-hal yang menurut saya terlalu (maaf) picik. Ya, saya menganut kuat-kuat anjuran menikahlah saat engkau siap, menikahlah saat engkau sudah mampu, menikahlah jika engkau memang sudah ingin untuk menikah.

Kesiapan, kemampuan, dan keinginan saya rasa menjadi dasar yang sangat penting dalam bangunan seagung rumah tangga. Tak kurang-kurang saya mendengar secara langsung pertengkaran rumah tangga yang saking kerasnya sampai terdengar orang sekampung. Di antara yang selalu menjadi pokok masalahnya ya urusan ekonomi yang belum mapan. Dalam banyak kasus yang pertengkarannya langsung saya dengar itu, jerit tangis anak-anak selalu menjadi penutup yang tragis.

Pertanyaannya, apakah kita akan memperpanjang cerita lama seperti itu jika kita masih bisa berusaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama? Menggantungkan kehidupan yang lebih mapan, salah satu indikatornya adalah memiliki hunian pribadi, dari relasi sesakral pernikahan saya rasa adalah hal paling konyol di tahun 2019.

Bahwa kita, sebagai perseorangan maupun pasangan, menghendaki kemapanan hidup yang makin baik dari waktu ke waktu tentu itu sudah seharusnya. Kalau awal menikah masih tinggal di kos khusus keluarga, mengontrak rumah, atau tinggal dengan salah satu orangtua kemudian ingin suatu saat bisa tinggal di hunian milik sendiri; itu wajar bahkan bagus sekali.

Namun bila hendak melangkah ke jenjang pernikahan dengan menumpuk harapan setinggi gunung untuk mendapatkan rumah utuh-utuh dari sang suami, ya Tuhan, saya kok tidak sanggup membayangkan hubungan suami-istri macam apa yang akan terbentuk dalam rumah tangga seperti itu.

Saya seorang perempuan. Saya tahu dalam agama saya, lelaki menjadi imam. Tetapi pada saat yang sama, akal sehat dan nurani saya juga selalu memandangnya sebagai manusia biasa, yang karenanya saya tidak sanggup menuntut kesempurnaan sifat maupun kesempurnaan dalam kemampuan memenuhi segala kebutuhan termasuk rumah yang tentu saja harganya tidak pernah murah, cicilannya saja bersalip-salipan dengan penghasilan.

Apalagi kalau masih ditambah syarat-syarat lain seperti rumahnya harus terdiri dari sekian lantai, luasnya sekian, belum lagi isinya, hahaha....Apes betul jadi laki-laki kalau saban hendak membina hubungan yang lebih serius dengan seorang perempuan tahu-tahu kena todong seperti itu.

Mungkin saya perempuan yang terlalu naif. Tetapi saya lebih suka menjadi naif jika pada saat yang sama itu membuat saya lebih humanis. Saya tidak suka menaruh beban-beban sebesar dunia pada kaum pria, sebagaimana saya juga tidak suka dibebani ini-itu oleh mereka atau siapa pun. Bekerja sama, saling berusaha menjadi partner terbaik adalah prinsip yang saya pegang dalam hubungan, apalagi hubungan seagung pernikahan.

Mengurangi tuntutan atau syarat dan ketentuan yang berlaku adalah cara yang paling logis untuk layak mengharapkan hubungan yang dibangun dalam rumah tangga tersebut ke depannya menjadi penuh toleransi dan berkasih sayang. Kalau kami sebagai pasangan belum memiliki hunian pribadi, ya kami harus bersama-sama bergerak ke sana. Bukan serta-merta menimpakan tugas pemenuhannya pada satu orang saja. Kami hanya harus memilih akan berusaha mencapainya sebelum menikah atau perjuangan penuh peluh dan air mata itu dilanjutkan selepas pernikahan dengan konsekuensi kami jadi sepasang anak kos di gubuk derita. Hehehe....

Ya, kalau memang calon pasangan sudah mapan betul dan sungguh bukan masalah tentang rumah itu, ya alhamdulillah. Nikmat yang tak boleh diingkari kan? Tetapi sekali lagi, kalau harus mencari calon suami dan melangkah ke perkawinan demi mendapatkan rumah atau hal-hal yang bersifat materi, saya rasa itu terlalu mengerikan. Gambaran kengeriannya ya sebagai istri, saya jadi akan memandang suami saya sebatas alat untuk meraih yang tak teraih oleh saya.

Lalu suatu waktu karena keterbatasannya sebagai manusia, jika ia tak dapat meraih yang menjadi kehendak saya, saya mungkin akan serta-merta menganggapnya alat yang sudah rusak dan tak perlu disimpan lagi. Itu sangat mengerikan. Itu benar-benar tidak pantas untuk pernikahan yang sakral, dengan sejumlah anak menggemaskan yang lahir dan besar di dalamnya.

Ingat ya, kalau terjadi konflik tajam dalam pernikahan, anak-anaklah yang selalu menjadi korban utama. Lukanya sering kali abadi, bahkan saat kedua orangtuanya sudah asyik dalam hubungan dengan pasangan baru atau kesibukan masing-masing. Jangan membangun rumah tangga dengan fondasi yang rapuh, apalagi sekadar memperturutkan ambisi pribadi. Rumah masih bisa dicari, meski kepala harus jadi kaki. Tetapi hati yang robek apalagi hati anak-anak yang telanjur compang-camping, mau dengan apa ditambal dan bagaimana cara menambalnya?

Menikahlah saat engkau siap, menikahlah saat engkau sudah mampu, menikahlah jika engkau memang sudah ingin untuk menikah. Tetapi bahkan memilih untuk tidak menikah pun bukan suatu dosa kan?

Marliana Kuswanti cerpenis dan penulis cerita anak. Buku terbarunya Kedai Nyonya O (Bhuana Ilmu Populer) dan Rumah Kayu Itu (Bhuana Sastra)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads