Kalimat ilmuwan fisika Albert Einstein tersebut ada benarnya jika kita melihat kenyataan hari ini, di mana kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi memegang peranan yang begitu dominan dalam keseharian kita. Hampir tiap sudut ruang hidup memerlukan teknologi informasi. Mulai dari layanan food, fun and fashion, transportasi, konsultasi kesehatan, hukum, pendidikan, perdagangan, pasar kerja hingga layanan kencan dan biro jodoh turut hadir.
Hari ini informasi yang tak dijangkau mata dan telinga akan dapat diakses oleh jemari. Keinginan berjumpa namun dipisahkan jarak dapat teratasi dengan fasilitas video call. Anda yang sibuk dan membutuhkan tanda tangan atasan dapat dimanjakan dengan tanda tangan elektronik. Bahkan fasilitas elektronik pada hari ini turut menjadi bagian dari program pemerintah dalam konsep E-Government dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagai instrumen pelayanan publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi pemanfaatan pelayanan publik berbasis digital tentu dapat diapresiasi sebagai wujud positif perkembangan teknologi yang selama ini memanjakan kita dengan akses yang begitu mudah dan efisien. Namun apa jadinya jika hampir seluruh interaksi didominasi oleh teknologi? Atau apa jadinya jika informasi begitu cepat menghampiri kita (akselerasi informasi)? Dan apa jadinya jika terjadi penumpukan informasi yang tidak berguna (obesitas informasi) di dalam genggaman kita?
Laju informasi yang begitu cepat dan berbagai macam fasilitas di dalamnya tentu sejalan dengan gairah masyarakat untuk melebur di jagat virtual yang serba terkoneksi. Bahkan, tak mengetahui ataupun tak memiliki akses ke dalam dunia digital pada hari ini dapat dikatakan sebagai wujud ketertinggalan seseorang di era revolusi industri 4.0. Ya, pada dasarnya hari ini dalam wujud nyata kita adalah warga negara Indonesia, namun dalam wujud digital kita adalah warga dunia yang tak terbatas. Teknologi informasi mampu memangkas teritorial sebuah negara. Kita melampaui interaksi manusia tepat pada zaman digital seperti yang diramalkan Einstein.
Oleh karena kemungkinan untuk melipat ruang dan waktu dapat diwujudkan, maka kita dapat pula melampaui batas-batas dari struktur, sifat, dan karakteristik yang seharusnya tidak dilewati. Sebagai rujukan, lihat bagaimana batas sosial antara anak-anak dan dunia dewasa lenyap dalam sugesti tontonan di media sosial. Lihat bagaimana tiap pernyataan baik berupa video maupun tulisan yang dianggap tendensius di dunia maya akan dengan sangat gampang ditafsirkan hingga berujung kriminalisasi (hiperkriminalitas). Lihat bagaimana hoax yang beredar mampu mengaburkan tapal batas antara benar dan salah.
Julia Kristeva menyebutnya sebagai fenomena abjeksi, yakni sebuah kondisi masyarakat yang tenggelam dalam jurang moralitas yang paling rendah hingga kesulitan membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. Dan yang paling fenomenal, lihat bagaimana pengaruh media sosial terhadap gerakan politik kontemporer. Aksi 212 misalnya, menjadi sejarah pengorganisasian massa berbasis penggunaan media sosial.
Hal ini membuktikan bagaimana sekat ruang dan waktu dalam pertukaran informasi pada aspek kehidupan dapat dipangkas. Thomas L. Friedman menyebutnya sebagai "dunia yang datar" (flat world). Atau istilah Yasraf Amir Piliang "dunia yang dilipat" --bagaimana masyarakat kita tak hanya berada di dunia nyata, namun turut melebur menjadi masyarakat maya (netizen) di dalam layar kecil kita sehari-hari (gadget).
Terus Berlari
Inilah kenyataan bagaimana kita terjebak pada kondisi hiperealitas seperti yang dikatakan Jean Baudrillard, yakni kesulitan membedakan kenyataan dan fantasi dalam arus kecepatan teknologi. Dan, inilah bagaimana kesulitan kita untuk menganalisis kebenaran di tengah fenomena penumpukan informasi yang justru sama sekali tidak berguna dan mengakibatkan kaburnya batasan tertentu. Bahkan, bagaimana akselerasi informasi memaksa kita untuk terus berlari tanpa interupsi yang menjadikan kita sebagai objek dari informasi yang kita konsumsi seperti, yang dikatakan Jacques Lacan kebutuhan yang dibentuk melalui ideologi hasrat.
Informasi yang seringkali kita terima tanpa filter menjadi alat ampuh membentuk ideologi hasrat tersebut. Sadar atau tidak pembentukan ideologi hasrat bertujuan untuk membuat kita abai terhadap kepentingan sosial dan berlomba-lomba mengerjai diri. Mulai dari memperkaya diri, mempermewah tampilan luar, hingga pengakuan terhadap status sosial. Hingga pada akhirnya teknologi informasi yang melampaui batasan tertentu menggiring masyarakat ke akhir sosial dengan pusat episentrum bertolak pada ideologisasi hasrat sebagai akibat dari pencapaian kita pada titik interaksi paling ekstrem dengan teknologi informasi.
Fachrurrozy Akmal pegiat literasi di perpustakaan rakyat Pustaka Simposium, Gowa, Sulawesi Selatan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini