Membaca kembali Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014, Effendi Gazali selaku pemohon sebetulnya menggugat dua hal. Pertama, syarat minimal kepemilikan kursi DPR (20%) atau peralihan suara pemilu DPR (25%) partai politik atau koalisi partai politik untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Kedua, pemisahan pemilu presiden dari pemilu legislatif.
MK menolak gugatan pertama. Dengan demikian ketentuan tentang batas minimal kepemilikan kursi atau raihan suara, seperti tertera pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/2008) masih berlaku. Ketentuan itu masih tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur penyelenggaraan Pemilu 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Effendi mengajukan empat alasan mengapa pemilu presiden dan pemilu legislatif harus diserentakkan. Pertama, tidak merepotkan pemilih karena cukup sekali datang ke TPS sudah bisa memilih presiden sekaligus anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kedua, original intent pembahasan konstitusi memang menghendaki penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif bersamaan waktu.
Ketiga, mendorong terbentuknya sistem presidensial yang kuat karena pemilu presiden bisa memberikan coattail effect terhadap pemilu legislatif, sehingga presiden dan wakil presiden terpilih akan mendapat dukungan kuat dari DPR. Keempat, mendorong terjadinya political efficacy, di mana berdasarkan keyakinannya, pemilih dapat menciptakan sistem check and balances antara presiden dan DPR karena tersediannya pilihan calon presiden dan calon DPR saat memberikan suara.
Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 lebih memperhatikan argumen pertama dan kedua daripada argumen ketiga dan keempat. Ini membenarkan pendapat saya sebelumnya, bahwa hakim konstitusi tidak peduli dengan penjelasan-penjelasan teoritik yang disampaikan ahli-ahli di luar ahli hukum tata negara. Bahkan hasil-hasil penelitian ilmu-ilmu sosial (non hukum tata negara) pun diabaikan.
Menurut MK, pemilu serentak memang lebih memudahkan pemilih dan lebih efisien karena pemilih cukup datang sekali ke TPS sudah bisa memilih presiden dan lima anggota dewan perwakilan sekaligus. Sebaliknya, bila pemilu presiden dipisahkan dari pemilu legislatif, pemilih (dalam kasus Effendi Gazali) terbukti telah direpotkan karena harus menyediakan waktu lebih banyak (dua kali datang ke TPS), sehingga hal ini ditafsirkan MK sebagai menghalangi hak konstitusionalitas warga negara.
Setelah pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak kita praktikkan pada 17 April 2019 lalu, kita menghadapi kenyataan lain. Penyelenggara kewalahan dan menjadi korban atas bebas pekerjaan yang tidak masuk akal, sementara pemilih juga merasa kesulitan untuk memilih demikian banyak calon. Ketua MK sendiri mengaku ikut bersalah atas putusan yang menyerentakkan pemilu presiden dan legislatif, sehingga pemilih dan penyelenggara jadi korban.
Keluh kesah pemilih yang mengalami kesulitan dalam memilih sudah kita dengarkan. Mungkin Anda bisa menyanggah, ya ini pengalaman pertama, nanti juga biasa. Sama dengan Pemilu Legislatif 2004 pemilih kebingungan memilih sekian banyak calon, karena pemilu-pemilu sebelumnya hanya memilih gambar partai politik saja.
Untuk memastikan apakah pemilih kerepotan atau tidak, dapat dilihat hasil penghitungan suara nanti. Pertama, jika suara tidak sah meningkat, berarti pemilih benar mengalami kesulitan. Dan/atau, kedua, jika suara partai meningkat daripada suara calon (karena pemilih dapat memilih partai, atau calon, atau partai dan calon) berarti pemilih mengambil jalan pintas: memilih partai. Tentu jika suara partai lebih banyak daripada suara calon, maka ini menyalahi prinsip pemilu proporsional daftar terbuka.
Hakim konstitusi dalam putusannya juga mengutip dengan hikmat keterangan Efendi Yusuf sebagai salah seorang yang terlibat dalam perumusan naskah konstitusi. Menurut Efendi Yusuf, dalam Sidang MPR, para perumus konstitusi memang menginginkan pemilu presiden diselenggarakan secara serentak bersamaan dengan pemilu legislatif. Istilahnya, pemilu lima kotak untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Benar bahwa para perumus konstitusi saat itu (1999-2002) melakukan simulasi pemilu serentak lima kotak atau lima surat suara. Namun mereka tidak pernah membayangkan bahwa pada Pemilu 2004 pembuat undang-undang memilih sistem proporsional daftar terbuka untuk memilih DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, bukan mempertahankan sistem pemilu proporsional daftar tertutup sebagaimana dipraktikkan pemilu-pemilu Orde Baru dan Pemilu 1999. Kenyataan ini ternyata juga diabaikan oleh hakim konstitusi, sehingga keluarlah putusan yang merepotkan banyak orang tersebut.
Namun jika hakim konstitusi tetap merasa benar dengan putusannya di satu pihak, dan merasa harus menghapus atau mengurangi kerepotan-kerepotan yang dihadapi pemilih maupun penyelenggara (yang berarti bisa mengurangi hak konstitusional warga negara), maka pilihan lain adalah kembali ke sistem pemilu daftar tertutup sehingga pemilih hanya memilih partai politik. Menjadi tugas partai politik untuk mengurutkan nama-nama calon dengan menempatkan calon terbaik di posisi atas.
Dalam putusan-putusan sebelumnya, MK berpendapat bahwa soal penggunaan sistem proporsional daftar terbuka atau sistem proporsional daftar tertutup, sepenuhnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang. Namun jika ingin mempertahankan sistem proporsional daftar terbuka, pembuat undang-undang juga punya pilihan lain, yakni membuat pemilu nasional (memilih presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu daerah (memilih kepala daerah dan DPRD). Format pemilu nasional dan pemilu daerah ini selain tidak dilarang konstitusi, juga membikin nyaman pemilih dan penyelenggara.
Didik Supriyanto peminat ilmu kepemiluan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini