Saatnya Memilih
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Saatnya Memilih

Senin, 15 Apr 2019 10:40 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Setelah masa kampanye yang panjang, tibalah saatnya bagi rakyat Indonesia untuk menentukan pilihan. Hari Rabu, 17 April, kita semua akan mendatangi TPS untuk memilih. Inilah saatnya membuat diri Anda jadi penentu. Segala hal yang Anda lakukan selama masa kampanye sebenarnya tidak banyak maknanya. Mungkin Anda tiap hari menyatakan dukungan Anda di media sosial. Mungkin pula Anda telah menghadiri puluhan deklarasi dan rapat umum. Pada hari pemilihan nanti suara Anda diambil dan dihitung, sebagai satu suara saja. Sama seperti orang lain yang mungkin tidak pernah membuat pernyataan di media sosial, atau ikut rapat politik.

Apa tugas Anda setelah itu? Selesai. Anda tidak lagi ikut menentukan. Yang terpilihlah yang kemudian akan berperan, membuat keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi hidup Anda, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Perhatikan bahwa pemilu kali ini adalah pemilu serentak. Setiap orang memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD tingkat provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD. Sayangnya, banyak orang yang hanya peduli soal pemilihan presiden dan wakilnya saja.

Semua pilihan yang Anda buat punya makna, tidak hanya presiden saja. DPR yang nantinya akan membuat undang-undang yang akan menentukan arah masa depan. DPR juga ikut menentukan APBN. DPRD akan membuat Perda, serta menetapkan APBD. Boleh jadi justru keputusan merekalah yang akan segera berdampak langsung pada kehidupan Anda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak orang yang tidak terlalu bergairah dengan pemilihan legislatif, hanya fokus ke pemilihan presiden. Pada pemilihan legislatif kita dihadapkan dengan ratusan pilihan yang boleh jadi tak satu pun kita kenal. Orang yang kita kenal dan ingin kita pilih, ternyata berbeda daerah pemilihan dengan kita. Akhirnya kita memilih secara acak. Ingat, yang akan Anda pilih secara asal-asalan itu adalah yang akan menentukan banyak hal menyangkut hidup Anda. Sebaiknya periksalah, pilih dengan seksama.

Usai pemilihan aksi dukung mendukung sebenarnya sudah selesai pula. Setiap orang akan jadi warga negara, yang terpilih akan jadi pemimpin. Apakah yang Anda dukung yang terpilih, atau saingannya, tak mengubah kedudukan Anda. Apakah Anda memujanya, atau Anda membencinya, ia tetap seorang pemimpin. Ia akan menjalankan kepemimpinan, membuat keputusan-keputusan. Sebagaimana di masa kampanye yang berujung pada peran Anda berupa 1 suara di bilik suara, suara-suara Anda setelah pemilihan pun tak banyak artinya.

Hanya ada satu cara untuk membuat suara Anda berarti, dan mungkin mengubah keadaan, yaitu kalau Anda punya argumen kritis. Argumen kritis mungkin bisa menggerakkan gelombang opini, yang kemudian memberikan tekanan kepada pemerintah, dan memaksa pemerintah mengubah keputusan. Itu kalau pemimpin yang terpilih mau mendengarkan.

Karena itu sangat penting bagi setiap orang untuk bersikap kritis atas berbagai isu. Sikap kita, mendukung atau tidak terhadap suatu pilihan yang diambil oleh pemerintah seharusnya tidak ditentukan dari apakah kita mendukung dia atau tidak saat pemilihan. Ingat, pemilihan sudah selesai. Sikap kita harus didasarkan pada argumen logis kita, serta kepentingan kita, bukan atas dasar pengidolaan kepada seorang tokoh.

Sayangnya, publik pemilih tidak membangun sikap itu. Yang menonjol adalah pengidolaan dan permusuhan. Ketika seseorang diidolakan, maka semua yang ia putuskan menjadi benar dan didukung. Bila seseorang dimusuhi, tak ada satu pun keputusan yang ia buat dianggap benar.

Sikap pengidolaan itu membuat suasana kampanye jadi seakan tak pernah berakhir. Orang-orang terpolarisasi oleh pilihan-pilihan politik. Pilihan-pilihan yang sayangnya bukan berdasar atas argumen maupun kepentingan, tapi lebih berdasar pada pengidolaan. Hubungan persaudaraan atau pertemanan terputus karena itu.

Politik kita sangat encer, sehingga gampang berubah. Para politikus menjalankan politik secara sangat pragmatis, tanpa ideologi. Bagi mereka, yang penting mendapat kekuasaan. Perhatikan orang-orang di sekitar Jokowi sekarang. Sebagian dari mereka tadinya ada di sekeliling Prabowo. Sama halnya, orang-orang yang sekarang di sekeliling Prabowo, tadinya adalah para pembantu Jokowi. Mereka pindah kubu karena tak lagi mendapat tempat yang menyenangkan di tempat awalnya.

Jangan pula kita lupa, bahwa Jokowi itu melejit ke pusat kekuasaan karena dulu didukung oleh Prabowo. Jadi, kalau misalnya ada orang yang membenci Jokowi dan mendukung Prabowo, sebenarnya ia konyol. Ia membenci orang yang diorbitkan oleh junjungannya.

Sederhananya, jangan jadikan pilihan politik sebagai masalah pribadi yang merusak hubungan pribadi Anda dengan orang lain. Toh, Anda tidak dapat apa-apa dari pertarungan politik ini. Anda hanya mendapat kepuasan-kepuasan semu saja.

Jadi, marilah memilih pada tanggal 17 April nanti. Kemudian jadilah warga negara yang kritis.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads