Ungkapan data Hak Guna Usaha (HGU) milik Prabowo Subianto dalam debat calon presiden (capres) jadi heboh. "Tembakan'" Jokowi dalam ajang adu kemampuan capres ini juga bagai membuka kotak pandora. Gaduh sesudah debat, perlahan-lahan menyibak tanya dan menguatkan dugaan kita. Bahwa, HGU adalah salah satu objek kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di negeri ini.
Pada debat Minggu (17/2) malam itu, capres Jokowi yang juga petahana menyinggung data HGU milik Prabowo. Di Kalimantan Timur, Prabowo punya 220 ribu hektar lahan HGU. Di Aceh Tengah, mantan Danjen Kopasus ini memiliki 120 ribu hektar. Total, calon presiden nomor urut 02 ini menguasai lahan HGU seluas 340 ribu hektar.
Hari berikutnya, jagat media, terutama media sosial (medsos) jadi seru. Dalam konteks capres, apa yang diungkapkan Jokowi merupakan pukulan telak bagi kubu Prabowo. Mereka menilai ungkapan Jokowi sebagai serangan secara personal, tidak fair, dan melanggar aturan KPU. Di medsos bagai terjadi banjir argumen beradu dengan aneka informasi hoax. Masalah ini pun jadi trending topic.
Hari berikutnya Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) angkat bicara. Di media, JK dengan lugas dan santai menjelaskan soal HGU yang heboh ini. ''Bahwa Pak Prabowo menguasai, tapi sesuai UU, sesuai aturan, apa yang salah? Kebetulan waktu itu saya yang kasih itu," papar JK seperti diberitakan detikcom, Selasa (19/2). Dalam keterangannya, JK meminta Prabowo yang membeli tahun 2004, ketika itu JK sebagai Wakil Presiden SBY.
Sementara pemberitaan lain pada hari yang sama, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf menyatakan bahwa lahan yang dikuasai Prabowo bukan HGU. Juru Bicara TKN Teuku Taufiqulhadi secara rinci menjelaskan bahwa lahan yang disebut HGU itu adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Politisi asal Aceh ini membeberkan bahwa lahan seluas 220 ribu ha di Kaltim itu adalah cadangan hutan bahan baku pabrik PT Kiani Kertas.
Perusahaan tersebut semula dimiliki Bob Hasan pada era Orde Baru. Namun, kemudian diambil alih Prabowo menjadi PT Kiani Nusantara. Sedangkan lahan 120 ribu ha di Aceh dikuasai atas nama PT Tusam Hutan Lestari. Perusahaan ini memasok bahan baku PT Kertas Kraft Aceh.
Menurut TKN, kedua perusahaan milik Prabowo, baik PT Kiani Nusantara dan PT Tusam Hutan Lestari sudah lama bangkrut. Namun, lahan HGU kedua perusahaan tersebut tetap dikuasai, meski menjadi tanah terlantar, yang mestinya dikembalikan ke negara. TKN bahkan menyatakan bahwa lahan terlantar HGU di Kalimantan terkandung deposit batubara.
Pernyataan Wapres JK dan TKN pada hari yang sama, yang cenderung berbeda, menimbulkan tanda tanya dan spekulasi. JK mungkin menempuh langkah taktis untuk menetralisir kegaduhan dalam suasana pilpres. Tetapi, sebagai Ketua Dewan Pengarah TKN Jokowi-Ma'ruf, pernyataan JK yang dianggap menguntungkan kubu Prabowo ini bisa menimbulkan multi-interpretasi.
Di satu sisi, JK dinilai konsisten dan bertanggung jawab dengan tindakannya. Di sisi lain, juga sebagai pengusaha dan politisi, langkah JK menimbulkan tanda tanya publik.
Berdampak Luas
Terlepas dari faktor politik, pernyataan capres nomor urut 01 Joko Widodo berdampak luas. Jokowi bagai menyibak ketertutupan informasi data HGU yang selama ini tersembunyi (disembunyikan) dari jangkauan publik. Usai debat malam itu, masyarakat baru tahu bahwa Prabowo menguasai lahan HGU dua lokasi dengan jumlah yang cukup mencengangkan, 340 ribu hektar (ha). Setara dengan lima kali luas DKI Jakarta.
Tersingkapnya informasi penguasaan lahan HGU dalam debat capres ini bagai menguak kotak pandora. Selama ini data HGU jadi misterius. Masyarakat tidak mengetahui data-data HGU dan kepemilikannya. Masyarakat buta dengan luasan lahan yang dipinjampakaikan pemerintah kepada pengusaha atau korporasi.
Dengan batasan yang tidak jelas bagi masyarakat, korporasi atau pemilik HGU berpotensi menyelewengkan penggunaan lahan. Di banyak tempat di Indonesia, konflik lahan terjadi karena adanya HGU yang tidak transparan. Banyak terjadi penyerobotan tanah-tanah masyarakat dan tanah ulayat karena masyarakat buta terhadap informasi batas HGU.
Pun demikian, di banyak tempat, ketika habis masa HGU, pemiliknya kalau tidak lagi memperpanjang, justru tetap menguasai, meski menjadi lahan terlantar. Masyarakat sekitar yang merasa dahulu lahannya diserobot ingin mengambil kembali, kemudian terjadi konflik lahan berkepanjangan.
Tentang data HGU, Forest Watch Indonesia (FWI) pernah menyengketakannya di Komisi Informasi (KI). FWI tidak bisa memperoleh informasi dokumen HGU perkebunan kelapa sawit di Kalimantan pada 2015. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menutup informasi HGU dengan alasan bukan informasi publik. Pada Maret 2017 Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan FWI dan menolak kasasi Kementerian ATR/BPN. MA memerintahkan Kementerian ATR/BPN untuk membuka dokumen HGU.
Namun, hingga pemerintahan Presiden Jokowi-JK berjalan kurang lebih empat tahun, Kementerian ATR/BPN masih kukuh pada alasan dan tetap menutup informasi HGU. Kementerian ATR/BPN beralasan bukan tidak mau membuka data HGU ke publik, tetapi berhati-hati karena menyangkut hak keperdataan seseorang.
Kenyataan ini menguatkan dugaan bahwa penetapan pemberian HGU kepada korporasi maupun perorangan berproses dalam kesepakatan kolusi kolektif. Banyak pihak terkait masing-masing memperoleh bagian dalam kesepakatan di "belakang layar".
Selama ini pengawasan terhadap HGU nyaris tidak ada. Tanggung jawab pemegang HGU juga kemudian tidak jelas, baik kewajiban terhadap pendapatan negara maupun tanggung jawab sosial. Penunaian kewajiban juga ditengarai tidak terhindar dari proses kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Banyak HGU yang terlantar, tetapi negara seolah mengabaikan. Padahal sesuai Undang-Undang Pokok Angraria No 5/1960, hak penguasaannya mesti dicabut dan dikembalikan kepada negara. Tetapi, kenyataannya meski sudah menjadi lahan terlantar, pemegang hak tetap menguasai dan bebas dari kewajiban kepada negara. Kerap terjadi sengketa lahan HGU. Namun, masyarakat selalu ditempatkan pada pihak yang salah dan dikriminalisasi.
Titik Balik
Tersingkapnya informasi penguasaan lahan HGU oleh capres Prabowo Subianto menuai banyak kontroversi. Tetapi, terlepas dari kontestasi politik, ini momentum untuk mengoreksi kolusi dan korupsi dalam pengelolaan SDA yang memborok selama ini.
Ada hal menarik dalam debat capres tahap kedua ini. Capres Jokowi sebagai petahana tegas menyatakan bahwa pembagian lahan atau tanah secara tertutup dan untuk yang besar-besar tidak dilakukan dalam pemerintahan Jokowi-JK. Mereka melakukan distribusi lahan kepada rakyat kecil lewat reforma agraria, yakni pemberian sertifikat tanah. Tetapi, ada pertanyaan sederhana. Mengapa sampai saat ini data HGU masih belum dibuka ke publik?
Pembagian sertifikat tanah untuk program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dinilai baru pada tahap memburu kuantitas. Capaian jauh dari target, karena ketimpangan sektoral dalam penentuan lokasi, di antaranya TORA dengan Program Perhutanan Sosial. Ketika tidak konsisten dikelola, TORA dan Perhutanan Sosial berpotensi kembali memberi porsi tak berimbang antara tanah untuk rakyat dan tanah untuk korporasi. Antara lahan pertanian dan lahan konsesi.
Sementara, Prabowo ketika "menangkis" serangan Jokowi menyatakan bahwa lebih baik menguasai lahan HGU itu kemudian mengembalikan ke negara daripada jatuh ke pihak asing. Alasan yang sama juga dikemukakan Wapres JK saat mengklarifikasi masalah HGU Prabowo. JK mengizinkan Prabowo membeli aset kredit macet ini pada 2004 karena khawatir jatuh ke pihak asing.
Selama menjadi capres, Prabowo menggunakan wacana anti asing sebagai instrumen kampanye. Kubu Prabowo habis-habisan mengeksploitasi isu tenaga kerja asing di Indonesia, terutama dari Tiongkok. Tenaga asing jadi wacana eksploitatif kampanye mulai dari momentum formal sampai menjelma aneka hoax di medsos. Prabowo selalu berpidato bahwa dirinya adalah seorang nasionalis anti asing. Selalu meneriakkan sebagian kekayaan Indonesia dikuasai asing dan segelintir elite.
Namun, ketika informasi HGU mengemuka di debat capres, solah menjadi titik balik. Publik ditontoni paradoks politik dari wacana-wacana yang dibangun ke dalam bingkai absurd politisasi asing. Heboh ini mestinya menjadi momentum korektif untuk introspeksi kolektif kita memperbaiki pengelolaan SDA yang lebih manusiawi.
Kita tidak ingin SDA dikuasai asing. Dominasi penguasaan asing berbahaya bagi kedaulatan negara. Tetapi, dominasi dan penguasaan elite dan korporasi di negeri sendiri, juga tidak manusiawi dan bisa mengancam keutuhan bernegara. Lebih mulia apabila SDA dikelola bersama pihak asing di bawah kendali kita, dan memberi kemakmuran bersama.
Karenanya, siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden April nanti, demokratisasi pengelolaan SDA masih menjadi tantangan berat. Masyarakat butuh tindakan riil. Butuh bukti. Bukan lagi sekadar janji, klaim, dan jargon-jargon.
Mustam Arif aktivis Perkumpulan JURnaL Celebes
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT