Sebelumnya, pada Konferensi Perubahan Iklim (COP 21 - UNFCCC) di Paris, akhir Nopember 2015 Presiden Jokowi berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% demi menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 β pada 2030. Perjanjian ini dikenal dengan nama Perjanjian Paris yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.
Dunia meyakini bahwa penggunaan kendaraan listrik akan mengurangi emisi CO2 yang dihasilkan oleh kendaraan berbahan bakar fosil secara signifikan. Kosongnya peraturan perundang-undangan membuat pemerintah tidak dapat melangkah lebih jauh untuk membuat kebijakan tentang kendaraan atau mobil listrik ini. Akibatnya, investor kendaraan listrik ragu untuk melangkah. Saya khawatir hal ini akan mempengaruhi posisi Indonesia dalam kancah bisnis industri kendaraan listrik ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkembangan Kebijakan
Pemerintah bermaksud mendorong percepatan kehadiran mobil listrik seperti yang terjadi di banyak negara, termasuk di ASEAN. "Pemerintah sebenarnya menginginkan Indonesia tidak akan hanya menjadi basis pasar, basis produksi, tetapi juga basis teknologi," kata Menteri ESDM Ignasius Jonan seusai memimpin rapat pembahasan rancangan regulasi (Peraturan Presiden) tentang program percepatan kendaraan listrik di Nusa Dua, Bali, 24 Agustus 2017 lalu. Sayang sampai hari ini tak jelas masa depan Rancangan Perpres Kendaraan Listrik tersebut. Kabar terakhir masih ada di tangan Kemenko Maritim. Tambah tidak jelas.
Memang saat pembahasan antar kementerian muncul penolakan besar dari Kementerian Perindustrian terhadap Rancangan Perpres Kendaraan Listrik. Patut diduga kerasnya pengaruh industri kendaraan bermotor Jepang, yang selama ini menguasai produksi dan pasar kendaraan bermotor berbahan bakar fosil di Indonesia, telah membuat pandangan Kementerian Perindustrian kurang sepakat dengan isi Rancangan Perpres yang diajukan oleh Kementerian ESDM.
Pertanyaannya, mengapa seolah-olah Jepang menolak kebijakan Kementerian ESDM untuk pengembangan mobil listrik? Salah satunya, Jepang ingin ada kendaraan hybrid dulu sebelum masuk ke Full Electric Vehicles.
Menurut ulasan berbagai media online, Thailand sebagai salah satu negara di kawasan ASEAN yang cukup maju industri otomotifnya sudah menjalin kerja sama dengan perusahaan otomotif terkemuka Jepang, Nissan. "Pihak Nissan akan menjadikan Thailand sebagai salah satu negara basis produksi mobil listriknya," demikian kata Senior VP Asia dan Oseania Nissan, Yutaka Sanada. Nissan diharapkan dapat memproduksi 370.000 unit mobil/tahun melalui pabrik Nissan Samut Prakan, Thailand. Nissan juga telah membangun pusat R&D untuk mendukung industri mobil listrik Nissan di ASEAN. Mengapa Thailand, bukan Indonesia?
Yutaka juga mengatakan, "Nissan mau investasi di Thailand dikarenakan Thailand sudah mempunyai regulasi lengkap terkait kendaraan listrik, termasuk insentif pajaknya." Di sini rupanya letak persoalannya, mengapa Thailand yang dijadikan basis industri kendaraan listrik Jepang di ASEAN. Lalu, apa peran Indonesia, sudah pasti akan jadi pasar utama kendaraan listrik Jepang dan produk negara lainnya karena besarnya populasi dan terus naiknya pendapatan perkapita penduduk Indonesia. Kondisi ini sangat saya khawatirkan sejak pembahasan mobil listrik di Bali akhir 2017.
Frost & Sullivan telah melakukan penelitiannya dengan judul Future of Electric Vehicle in Southeast Asia dengan responden sebanyak 1.800 orang dan dilakukan di enam negara yaitu Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Hasilnya, Indonesia menjadi salah satu negara paling berminat dengan mobil listrik. Sayang di tingkat kebijakannya mampet, jadi sekali lagi kalangan investor tidak tertarik investasi mobil listrik di Indonesia. Apalagi kasus pengembangan mobil listrik di Indonesia sempat menjadi kasus pidana, di era Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan.
Saya sempat dua kali menghadiri pertemuan Clean Energy Ministerial Meeting di Beijing (2017) dan Copenhagen (2018) bersama Menteri ESDM, terlihat bahwa keinginan pemerintah tinggi untuk segera mengoperasikan mobil listrik. Namun, sayang regulasinya tidak kunjung selesai. Beberapa minggu lalu saya dengar dari Kantor Staf Kepresidenan, Rancangan Perpresnya masih di Kemenko Maritim, setelah lama duduk manis di Kementerian Perindustrian, entah kapan akan di sahkan. Dari Oktober 2017 hingga sekarang tidak kunjung jelas posisinya.
Dengan situasi demikian, maka dapat diperkirakan Indonesia akan kembali menjadi negara konsumen, yaitu konsumen kendaraan listrik sama seperti saat ini menjadi negara konsumen kendaraan bermotor berbahan bakar fosil, terutamanya produksi Jepang. Seharusnya kesalahan menerapkan sebuah kebijakan seperti ini cukup satu kali untuk pembelajaran, tetapi kalau sampai dua kali berbuat kesalahan yang sama (hanya sebagai konsumen kendaraan) itu artinya masuk pada taraf kebodohan.
Langkah Pemerintah
Nasi hampir menjadi bubur, tetapi kesempatan Indonesia untuk berperan dalam pengembangan mobil listrik dunia masih terbuka, asalkan payung regulasinya berupa Peraturan Presiden segera terbit. Publik berharap dalam Rancangan Perpres sudah mencakup berbagai insentif fiskal yang dapat menurunkan harga mobil listrik supaya terjangkau dan kebijakan pengembangan industrinya. Termasuk, Perpres harus juga dapat mengatur kewajiban industri otomotif yang ada untuk melakukan pengembangan seperti yang dilakukan di Thailand dan negara ASEAN lainnya.
Perpres harus menegaskan bahwa industri kendaraan bermotor berbahan bakar fosil harus sudah dihentikan paling lambat pada 2040. Namun, sayang gosipnya klausula ini hilang di Rancangan Perpres. Entah lobi siapa ini. Ayo, pemerintah Indonesia harus berani mandiri, tidak perlu atau terpengaruh dengan rayuan gombal negara lain. Mandirilah dalam membuat kebijakan!
Di hulu listrik, pembangkit mayoritas (50%) masih menggunakan bauran energi primer batubara. Namun, penggunaan kendaraan listrik akan mengurangi emisi gas rumah kaca karena tingkat polusi yang disebabkan gas buang kendaraan bermotor berbahan bakar fosil berkurang. Jadi sudah benar langkah pemerintah mengatur pembuatan dan penggunaan kendaraan listrik yang tidak polutif.
Terkait dengan insentif fiskal, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara beberapa waktu lalu mengatakan, saat ini pemangku kepentingan terkait masih membahas berbagai hal terkait insentif dan hasilnya segera diumumkan dalam waktu dekat. Sementara, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meminta Badan Kebijakan Fiskal untuk menetapkan bea masuk sebesar 5% dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) 0% untuk mobil listrik yang diimpor karena harga mobil listrik dipasaran lebih mahal 30% dari kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.
Semoga pembahasan Rancangan Perpres dengan beberapa sektor terkait segera dapat diselesaikan, dan Perpres Mobil Listrik dapat segera diimplementasikan.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan pubik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini