Venezuela menghadapi krisis multi-dimensi yang belum memberikan sinyal akhir. Rakyat negaranya terdampak parah hingga dalam tingkat yang sangat memprihatinkan. Presiden Maduro tetap dalam komitmennya membangun ekonomi berdasarkan prinsip chavismo. Banyak yang mengecamnya, tetapi hanya dianggap seperti angin lalu oleh Maduro. Demonstrasi pun terus dilakukan sampai kemarin.
Menuntut Perubahan
Beberapa hari lalu, rakyat Venezuela kembali beraksi untuk menuntut perubahan. Mereka telah memiliki dasar serta motif yang jelas mengapa mereka melakukan ini. Kebutuhan esensial semakin sulit didapatkan dan untuk makan pun sulit. Kebijakan ekonomi Maduro membuat semuanya menjadi kacau. Venezuela memang memiliki persediaan minyak melimpah, tetapi terlalu bergantung padanya. Hampir semua penghasilan ekspor hanya bergantung pada minyak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demonstrasi berlangsung di ibu kota Venezuela, Caracas. Dari kacamata pemerintah, itu disebut kudeta militer. Baku tembak pun tak terhindarkan antara pihak oposisi dengan pemerintah. Tak ayal, dikutip dari BBC, empat orang dilaporkan meninggal akibat protes ini.
Juan Guaido yang merupakan Dewan Nasional Venezuela memimpin demonstrasi tersebut. Wujud kekecewaan akibat krisis membuat rakyat menuntut Maduro untuk mundur. Dia pun siap menjadi presiden sementara dan mendapatkan dukungan baik dari dalam maupun luar. Semenjak Maduro kembali menjabat pada periode kedua, protes terus dilakukan, karena mereka mengharapkan pemerintahan yang demokratis dan kebutuhan dasar kembali terpenuhi.
Maduro membawa Venezuela ke dalam pemerintahan yang otoriter dan penuh krisis, terlebih dengan berbagai upaya represi dan kontrol yang dilakukannya. Salah satu contohnya adalah mengganti susunan legislatif dengan simpatisannya. Selain itu, terpilihnya dia kembali merupakan suatu kontroversi karena menggunakan ancaman terhadap rakyatnya.
Perjuangan rakyat Venezuela menuntut perubahan mendapat dukungan dari berbagai komunitas internasional. Amerika Serikat yang menjadi musuh bebuyutan Maduro mendukung demonstrasi tersebut dan menyatakan bahwa pemerintahannya tidak sah. Ini menjadi suntikan moral yang bagus bagi rakyat Venezuela untuk terus berjuang untuk menegakkan demokrasi.
Tidah Sah
Saat menjabat pada periode pertama tahun 2013 lalu, Maduro memang ingin meneruskan gagasan Chavez untuk memajukan Venezuela. Pencapaian hebatnya selama menjabat membuat Maduro ingin mengulang kesuksesan pendahulunya di pemerintahan. Adopsi kebijakan secara "membabi buta" pun dilakukan. Menasionalisasikan perusahaan asing untuk memberikan jaminan sosial serta harga sembako yang murah adalah kebijakan andalannya.
Apalagi dengan didukung persediaan minyak yang melimpah dan harga yang menguntungkan membuatnya menjadi percaya diri. Namun, harga minyak pada 2014 turun, sehingga membuat Venezuela kalang kabut. Namun, permasalahannya bukan terletak pada turunnya harga minyak. Venezuela hanya mengandalkan satu jenis ekspor tanpa diversifikasi, sehingga tidak tersedia banyak alternatif untuk menopang ekspor minyak. Alhasil, mereka terjebak dalam hiperinflasi dan krisis kemanusiaan
Di balik kegagalan itu, terpilihnya kembali Maduro untuk periode kedua pada Mei tahun lalu adalah sebuah "keajaiban". Tentunya, banjir pertanyaan, kritik, dan skeptisme pun sangat deras. Adakah trik tersembunyi darinya? Maduro memanfaatkan krisis kemanusiaan ini sebagai senjata politik untuk mendulang suaranya. Dia memiliki sebuah kartu yang disebut carnet de la patria, yaitu sejenis kartu debit di mana dapat mengontrol subsidi pangan dan gas. Dengan kartu andalan dalam genggaman, Maduro menggunakan itu sebagai alat represi dan gertakan kepada rakyatnya. Alhasil, dia pun terpilih kembali.
Tetapi, di sini memang problematiknya. Menggunakan krisis sebagai senjata untuk melanjutkan pemerintahannya yang otoriter dengan demokrasi sebagai alat adalah hal yang paling absurd. Banyak penentang menjadi hal yang lumrah, terlebih dengan track record yang mengecewakan rakyat. Selain itu, saat pemerintahan periode pertama masih berjalan, Maduro melarang partai oposisi untuk berpartisipasi di pemilihan umum.
Oleh karenanya, pendapat yang mengatakan bahwa pemerintahan ini tidak sah benar adanya. Pemiliham umum memang menerapkan konsep dan sistem demokrasi, tetapi dalam pelaksanaan serta caranya penuh dengan kontroversi. Maduro menjelma menjadi sosok yang haus akan kekuasaan dan terjebak dalam romantisme kesuksesan Chavez sehingga ingin mereplikasi kembali. Meskipun mampu memanipulasi proses pemilihan, tetapi dia tidak bisa menipu rakyat dan meyakinkan mereka bahwa kebijakannya itu adalah yang paling baik.
Soal Waktu
Maduro berhasil dijatuhkan atau pun mengundurkan diri akan mengakhiri permasalahan ini. Namun, tidak ada keinginan darinya untuk mundur dari jabatannya. Posisi sebagai pimpinan memang terlihat sangat menyenangkan dan Maduro seakan menikmati itu di atas penderitaan rakyatnya. Terus berjuang adalah pilihan yang akan diambil bahkan satu-satunya pilihan yang harus diambil. Kondisi negara yang seperti ini membuat mereka harus berjuang untuk meruntuhkan pemerintahan yang otoriter.
Namun, sebenarnya rakyat Venezuela menghadapi dua permasalahan yang sangat pelik, yaitu otoritarianisme dan krisis pangan. Apalagi, hiperinflasi menyebabkan persediaan makanan menipis sehingga ada sebuah jargon yang dikutip dalam situs The Globe Post yang berbunyi "people eat less eat don't eat at all". Dalam kasus ini, memang kedua hal ini saling berhubungan, tetapi jika mereka berjuang tanpa persediaan kebutuhan esensial yang cukup, hanya soal waktu sebelum mereka kelelahan akibat kekurangan makanan.
Dan, walaupun Maduro berhasil digulingkan, mereka harus memulihkan ekonominya yang berantakan. Penggulingan Maduro hanyalah akhir dari sebuah awal yang baru. Membutuhkan usaha yang keras agar Venezuela kembali stabil. Namun, itu pilihan yang lebih baik ketimbang berada pada pemerintahan yang otoriter.
Rizky Ridho Pratomo mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta