Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan panjang 99.093 kilometer, dengan lahan tambak garam yang mencapai 26.024 hektar. Tidak heran jika Indonesia sangat potensial untuk memproduksi garam, meskipun tidak semua garis pantai dapat dimanfaatkan dengan maksimal sebagai tempat industri garam. Total ada 40 kota/kabupaten penghasil garam di Indonesia, di antaranya Cirebon, Sampang, Pati, Indramayu, Sumenep, Rembang, Bima, Demak, Pamekasan, dan Surabaya.
Dengan begitu, tidak diragukan lagi jika Indonesia mampu memproduksi garam dengan jumlah yang besar dan mencukupi untuk konsumsi (pribadi) dan industri. Dan, puncaknya Indonesia swasembada garam pada tahun 2015. Pada tahun tersebut produksi garam surplus hingga 2,9 juta ton, padahal kebutuhan pada saat itu hanya 2 juta ton saja. Selama empat tahun swasembada, angka tersebut naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,4 juta ton per tahun, lebih baik daripada produksi 2012 dan 2013 yang masing-masing mencapai 2,5 juta ton dan 1,7 juta ton.
Fakta mengejutkan terjadi dua tahun terakhir ini, setelah Indonesia mencapai puncak swasembada pada 2015. Pada 2016 pemerintah mulai membuka kran impor garam karena anjloknya produksi garam yang mencapai titik terendah. Produksi garam nasional pada saat itu mencapai 144.000 ton dari kebutuhan sebanyak 4,1 juta ton --780 ton untuk konsumsi publik, sedangkan sisanya untuk keperluan industri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2017 produksi garam hanya mencapai 118,056 ton atau setara 3,7 persen dari target 3,2 juta ton yang di tetapkan pemerintah pada 2016. Akhirnya pemerintah impor lagi sebanyak 2.5 juta ton. Sedangkan pada 2018 kuota impor garam di Indonesia sebanyak 3,7 juta ton, hingga akhir tahun ini Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan juga menyebutkan realisasi impor garam sekitar 3,1 juta ton.
Pemicu Utama
Minimnya produksi garam menjadi pemicu utama pemerintah untuk melakukan impor garam, minimnya produksi garam domestik disebabkan faktor cuaca, hujan terus-menerus yang mengakibatkan banyak petani garam yang gagal panen. Sehingga produksi garam lokal tidak mencukupi untuk dikonsumsi sendiri dan industri.
Selain faktor cuaca, hal lainnya yang membuat jumlah produksi garam di Indonesia relatif sedikit ialah proses pembuatan garam yang masih tradisional. Yaitu, dengan mengandalkan matahari dan alat-alat sederhana seperti pengeruk kayu dan kincir angin. Sehingga untuk bisa panen harus menunggu waktu minimal 10-14 hari hingga 21 hari.
Kurang maksimalnya pemerintah dalam menangani tata niaga garam juga menjadi faktor melemahnya produksi garam domestik. Sepanjang 2017 pemerintah lebih banyak memilih membuka kran impor garam dibandingkan dengan melakukan penyerapan garam rakyat yang diproduksi petani garam tradisional.
Hingga tahun 2018 kebutuhan garam di Indonesia belum bisa dipenuhi oleh produksi lokal. Kebutuhan tersebut mendesak untuk dipenuhi karena banyak produk yang memerlukan pasokan garam untuk industri. Untuk memecahkan persoalan itu, pemerintah kembali melalukan impor sebanyak 3,7 juta ton pada 2018. Keputusan tersebut diambil setelah pemerintah menggelar rapat bersama di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian.
Setop Impor
Pertama, penggunaan teknologi produksi dan pengolahan garam. Perlu dibangun pabrik-pabrik baru dengan menggunakan teknologi mutakhir dan dukungan dana yang mencukupi. Seperti halnya di China, ada sebuah pabrik di Shanghai yang memproduksi garam dengan kualitas tinggi dengan NaCL mendekati 100 persen, namun dengan harga yang murah dan diproduksi dari air baku. Pabrik tersebut bisa seperti itu berkat dukungan penuh dari pemerintah China dan memberikan subsidi biaya produksi melalui listrik yang murah.
Dengan teknologi tersebut, petani garam yang sebelumnya harus menghabiskan waktu minimal 10-14 hari hingga 21 hari saat melaksanakan panen, bisa menghemat lebih banyak waktu. Efisiensi tersebut bisa didapat, terutama karena ada integrasi lahan untuk produksi garam di satu area saja. Selain itu, petani garam tidak hanya akan mendapat peningkatan produktivitas, melainkan juga bisa mendapatkan kualitas garam lebih bagus.
Kedua, ekstensifikasi lahan pertanian garam. Mengingat kebutuhan produksi garam terus meningkat setiap tahunnya, produksi garam tidak bisa lagi mengandalkan sistem seperti yang sekarang ada. Selain menggenjot produksi di sentra garam yang sudah ada, Indonesia perlu melakukan ekstensifikasi lahan untuk produksi garam di sejumlah daerah.
Ketiga, kebijakan pemerintah dalam tata niaga garam. Apa yang dilakukan pemerintah pada awal 2018 menunjukkan bahwa pemerintah telah kehilangan akal dalam membangun kedaulatan pangan. Jika pemerintah memiliki iktikad baik dan kuat untuk membangun kedaulatan pangan, maka berbagai cara akan terus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Jika selama ini persoalan utama garam industri di Indonesia adalah kadar Natrium Chlorida (NaCl) belum bisa mencapai angka 97,4 persen dan produksi garam yang anjlok ketika musim penghujan, maka pemerintah seharusnya bisa menggandeng ilmuwan, lembaga riset, dan juga perguruan tinggi untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Indonesia harus belajar banyak dari keterpurukan produksi garam domestik sepanjang 2016 hingga 2017. Pelajaran terpenting, bagaimana mengelola stok garam yang tersedia dan menggenjot produksi domestik tetap berjalan baik, dalam kondisi cuaca apapun.
Sirajul Munir mahasiswa dan peneliti utama di Centre for Developing Islamic Counceling (CDIC) Institut Agama Islam Al-Khairat Pamekasan Madura
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini