Dua pekan lalu, Popon, sahabat saya dari Aceh, datang ke Jogja. Sebagai orang jauh yang berkunjung ke kota ini, dia tentu ingin mencicipi beberapa menu kuliner Jogja. Selain saya ajak ke sate klathak yang mencapai puncak hits-nya gara-gara film AADC 2 itu, saya juga bilang bahwa dia harus nongkrong di angkringan. Angkringan sudah jadi ikon Jogja, meskipun pedagang dan gerobak-gerobaknya datang dari Klaten.
"Oh, sudah, Bang. Kemarin aku ke angkringan di dekat Tugu," jawab Popon. Saya pun tenang mendengarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap malam, ruas jalan itu memang selalu riuh. Beberapa warung memajang label "angkringan" dengan sangat percaya diri. Gerobak khas angkringan mereka pajang, lengkap dengan menu-menu khasnya: nasi kucing dengan aneka topping, mendoan dan bermacam-macam gorengan, sate usus, sate ati ampela, bacem kepala ayam, ceker goreng, juga berjenis-jenis minuman mulai teh panas hingga susu jahe.
Sekilas kelihatannya memang mereka itu ya angkringan. Tapi, ada yang berubah total. Dua perubahan besar tampil mencolok di situ, yaitu unsur tempat duduk dan sistem pembayaran.
Angkringan yang asli memiliki tempat duduk dua bangku panjang yang mengapit gerobak angkringan. Adapun warung-warung so called angkringan di sepanjang jalan selatan Tugu itu sudah menggelar tikar untuk alas duduk puluhan pelanggannya.
Sistem pembayaran di angkringan juga mengalami revolusi. Boro-boro boleh ngebon, bayar belakangan seusai makan pun tak lagi diterima. "Harap Bayar di Muka" menjadi bunyi teks pengumuman wajib yang dipajang di sebelah kasir, yang mau tak mau akan terbaca sebelum si pelanggan mengambil sendoknya.
Sekilas, perubahan atas kedua elemen tadi sepele belaka. Sayangnya, ini menjadi tidak sepele lagi ketika model so called angkringan semacam yang di Tugu itu sekarang dikopi hingga ke mana-mana. Kalau bukan menggelar tikar, ya pemiliknya menyediakan meja-kursi kayu ala kafe-kafe kecil. Tentu saja tujuannya agar lebih banyak pembeli yang mendapat tempat duduk, dan dengan begitu komoditas dagangan juga jauh lebih banyak yang terserap.
Perubahan bangku-bangku angkringan menjadi tikar atau meja-kursi, juga sistem pembayaran yang "Harap Bayar di Muka", diam-diam membawa dampak yang lumayan signifikan secara sosial, bahkan secara... spiritual.
Begini. Dulu, ketika sebuah gerobak angkringan hanya menyediakan dua bangku yang mengapit gerobak, orang duduk berhadap-hadapan, juga berdempet-dempetan. Konsep ruang semacam itu memberi kita situasi keterpaksaan sosial untuk berdekat-dekat dengan siapa pun, kenal maupun tak kenal. Minimal dengan berbasa-basi "Nyuwun sewu, Mas," saat tangan kita terjulur ke hadapan orang di sebelah kita, untuk menyambar bakwan, misalnya. Itu minimal. Maksimal, di situ kita bisa berbincang dengan siapa saja, tentang apa saja.
Angkringan adalah sebuah instrumen penting di Jogja untuk membangun kohesi sosial. Dulu ketika masih kuliah, saya sering ngangkring di sebuah angkringan dekat RS Panti Rapih. Kadang, saya duduk minum dan merokok di situ, bersebelahan dengan para pengemis yang sehari-harinya mangkal di perempatan Sagan.
Di lain waktu, karena saat itu saya pembaca koran Kompas dan tidak mengakses berita lokal dari Kedaulatan Rakyat, angkringan menjadi semacam versi audio dari koran klasik Jogja tersebut. Saya tinggal ngangkring, duduk bersama para tukang becak yang ngeteh di sana, dan menikmati obrolan mereka tentang peristiwa-peristiwa lokal Jogja. Mulai penjambretan, hingga kasus anak hilang diculik wewe gombel.
Kenyamanan perbincangan semacam itu terjadi bukan hanya karena kemauan personal. Seperti saya bilang tadi, struktur fisik ruang di angkringan sangat menentukannya. Begitu model tempat duduk diganti dengan tikar, lebih-lebih lagi dengan meja-kursi ala kafe, hilanglah peluang terciptanya ribuan perbincangan yang menghapus sekat-sekat sosial.
Di angkringan era 4.0, sekarang orang duduk terpisah-pisah, hanya berkumpul dan mengobrol dengan pacar, atau dengan teman-teman sendiri. Jika dulu kala seorang mahasiswa atau pekerja kantoran sangat gampang terjebak dalam obrolan gayeng dengan para tukang ojek, misalnya, sekarang kesempatan-kesempatan itu lenyap perlahan-lahan.
Boro-boro ngobrol dengan pelanggan lain, lha wong dengan si pedagang angkringannya sendiri saja sudah sulit berbicara kok. Begitu ambil makanan, kita akan langsung duduk di tempat duduk pelanggan yang posisinya berjauhan dengan gerobak.
Coba bayangkan. Dulu ada ribuan perbincangan lintas kelas di Jogja saban harinya, sehingga komunikasi budaya mestinya tercapai dengan manisnya. Sekarang, obrolan harian yang jumlahnya ribuan barangkali tinggal belasan. Lalu, apa yang akan terjadi saat semua itu benar-benar hilang pada akhirnya?
Itu baru urusan tempat duduk. Perkara sistem pembayaran yang "Harap Bayar di Muka" itu juga menjadikan warga Jogja tak lagi percaya, bahwa orang lain bisa dipercaya.
Ingat, dulu orang duduk di angkringan berjam-jam, makan ini-itu, barulah menjelang pergi dia berhitung. "Nasi tiga, gorengan lima, sate telor puyuh satu, ceker ayam dua, teh panas satu." Si pedagang angkringan juga percaya saja, apalagi dia memang tidak memiliki mekanisme verifikasi apa pun untuk memastikan akurasi dari hitungan si pembeli. Artinya, ada tradisi saling percaya satu sama lain.
Bahkan, ada banyak pedagang angkringan yang menolak mencatat utang-utang dari para pelanggan. Saya teringat almarhum Pak Royo, pedagang angkringan bertopi ala Fidel Castro yang sering mendorong gerobaknya berkeliling di antero kompleks Universitas Gadjah Mada. Jika ada satu-dua mahasiswa proletar yang terpaksa mengutang, Pak Royo tidak pernah mau mencatatnya. "Saya tuh sering ditolong orang, Mas. Makanya sekarang saya juga nggak mau terlalu perhitungan dalam menolong orang."
Dari tradisi seperti itu, memang lantas sering muncul fenomena para "darmoji". Dhahar limo ngaku siji, makannya lima tapi ngakunya cuma satu.
Mungkin karena bermunculan anomali-anomali menyebalkan seperti itu, sekaligus karena masyarakat stakeholder angkringan Jogja sudah terseret dalam laju industrialisasi, mereka pun mulai menerapkan sistem yang jauh dari semangat paguyuban: "Harap Bayar di Muka". Semangat saling percaya telah lenyap, para pembeli diposisikan sebagai musang-musang yang pantas dicurigai. Hahaha.
Jangan sinis dulu. Saya bukan seorang fundamentalis angkringanis, sehingga ngotot menyerukan agar angkringan-angkringan kembali ke khittah dasarnya. Masa terus bergerak, pola relasi ekonomi terus bergeser, pergeseran itu menggeser juga bangku-bangku klasik angkringan, dan semuanya membentuk karakter baru dalam perwajahan masyarakat kita. Tidak mengapa, asal kita bersiap saja dengan semua konsekuensi komunalnya.
Yang jelas, di zaman Jokowi ini, angkringan telah kehilangan ke-angkringan-nya. Ia hanya tersisa dalam wujud gerobak dorong, menu-menu makanan dan minuman yang khas angkringan, juga tiga ceret yang airnya selalu dipanaskan. Adapun angkringan sebagai sebuah sistem sosial, sekaligus sebagai sebuah semesta spiritual, tak lama lagi akan tinggal cerita.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul, selatan Jogja (mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini