Paradoks Asimetri Informasi pada BPJS Kesehatan

Kolom

Paradoks Asimetri Informasi pada BPJS Kesehatan

Muhammad Miqdad Robbani - detikNews
Rabu, 17 Okt 2018 12:00 WIB
Foto: Rinto Heksantoro
Jakarta -
Beberapa waktu belakangan kondisi ekonomi Indonesia sedang menjadi pusat perhatian. Tidak hanya dikarenakan kondisi rupiah yang melemah terhadap dolar AS, tapi juga berbagai catatan lain seperti tingginya impor beras yang tidak dapat ditampung oleh Bulog, dan neraca perdagangan Indonesia yang masih negatif. Salah satu persoalan yang juga cukup menarik untuk dibahas adalah perkiraan kerugian yang akan diderita oleh Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan) menyentuh angka Rp 16,5 triliun. Hal ini mengacu pada pernyataan Budi Muhammad Arief selaku Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan.

Sebenarnya, ini bukan sebuah hal yang mengejutkan. BPJS Kesehatan memiliki banyak kelemahan dalam sistem asuransi kesehatannya. Contoh paling sederhana adalah meratanya nilai premi bagi seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bagi para peserta kelas 1, dikenakan biaya sebesar Rp 80.000 per bulan. Sedangkan bagi para peserta kelas 2 dan 3 berturut turut dikenakan biaya Rp 51.000 dan Rp 25.500 per bulan. Pada dasarnya nilai ini sangatlah rendah. Tapi, pada tulisan ini, kita akan berfokus pada masalah lain, yaitu pemerataan premi.

Pada dasarnya pemerataan ini sangat bertentangan dengan dengan prinsip asuransi pada umumnya. Pada setiap asuransi, pembayaran premi harus disesuaikan dengan tingkat risiko dari peserta asuransi. Hal ini tentu tidak terlepas dari fungsi premi sebagai kompensasi terhadap risiko. Apabila tidak disesuaikan, BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang bergerak dengan konsep asuransi pasti akan terus mengalami kerugian.

Jauh sebelum BPJS Kesehatan diluncurkan pada 2013, para pakar keuangan dunia telah menerangkan mengenai kondisi yang menjadi latar belakang dari masalah yang dialami BPJS Kesehatan, yaitu asimetri informasi. Asimetri informasi adalah sebuah kondisi di mana agen, dalam hal ini masyarakat penerima manfaat dari BPJS Kesehatan, memiliki lebih banyak informasi dari pemberi jasa yaitu BPJS Kesehatan. Kerugian yang dialami BPJS menjadi sebuah indikator bahwa BPJS tidak mampu mendapatkan informasi yang cukup (ataupun mengambil kebijakan yang layak) dalam menghasilkan neraca keuangan yang positif.

Pada tahapan selanjutnya, asimetri informasi ini dapat berujung pada dua permasalahan agensi berupa adverse selection dan moral hazard. Pada aspek pertama, BPJS Kesehatan harus memperhatikan dampak moral hazard yang dapat timbul pada kondisi rendahnya premi produk mereka. Rendahnya tingkat premi yang ditawarkan oleh BPJS akan membuat masyarakat cenderung eksploitatif dengan semakin sering menggunakan jasa kesehatan, meskipun kondisinya tidak cukup mendesak.

Sebenarnya BPJS telah mencoba mengatasi hal ini dengan melakukan perbaikan dalam segi penyesuaian layanan kesehatan yang ditanggung. Sayangnya, penyesuaian fasilitas kesehatan yang ditanggung dapat menyebabkan kondisi yang jauh lebih kompleks pada konteks adverse selection.

Berkaitan dengan adverse selection, George A. Akerlof menulis sebuah esai yang berjudul The Market for Lemons. Peraih Nobel Prize 2001 itu menyatakan bahwa permasalahan adverse selection dapat berujung pada keputusan untuk menghilangkan produk dari BPJS Kesehatan ini sendiri. Ia menjelaskan bahwa pemerataan tingkat kompensasi terhadap risiko, dalam hal ini premi, merupakan sebuah indikasi bahwa BPJS Kesehatan tidak dapat menilai tingkat risiko yang layak bagi masyarakat. Sebagai dampaknya, BPJS Kesehatan pasti akan mencari trade off sebagai kompensasi. Pada kasus ini kompensasi tersebut dapat berupa pembatasan jasa kesehatan yang ditanggung. Hal ini sendiri mulai terealisasi belakangan ini.

Sayangnya, dampak ini tidak akan berhenti sampai di situ saja. Arkelof menyatakan bahwa harga yang cenderung rendah dengan kualitas yang juga kemudian disesuaikan akan membuat para pengguna jasa yang memiliki kelebihan alokasi dana untuk asuransi akan pergi. Hal ini dikarenakan mereka berharap untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, meskipun harus membayar lebih mahal. Pada akhirnya BPJS Kesehatan hanya akan diikuti oleh para pengguna dengan tingkat risiko yang lebih besar jika dibandingkan dengan premi yang dibayarkan. Hal ini tentu akan semakin memperburuk kondisi BPJS Kesehatan ke depannya.

Pada akhirnya, BPJS Kesehatan akan menyadari bahwa pengguna jasa jaminan kesehatan yang ada hanyalah pengguna jasa dengan tingkat risiko yang tinggi. Menurut Akerlof, kondisi ini dapat membuat BPJS Kesehatan melakukan pemberhentian terhadap produknya. Jika pun tidak begitu, BPJS Kesehatan dapat membuat penyesuaian premi pada saat tersebut. Hanya saja tentu telah terjadi kerugian yang cukup besar setelah beberapa waktu. Selain itu, dikarenakan semakin tingginya konsentrasi pengguna jasa yang memang menikmati premi yang rendah ini, protes yang akan terjadi tentu akan lebih masif.

Dampak lain yang dapat menjadi trade off dari kerugian di BPJS Kesehatan ini adalah keterlambatan BPJS Kesehatan dalam melakukan pembayaran layanan kesehatan masyarakat ke fasilitas kesehatan. Permasalahan ini pun dapat dilihat dari sudut pandang asimetri informasi. Pada satu sisi, banyaknya manfaat yang ditawarkan BPJS Kesehatan akan menimbulkan moral hazard berupa mudahnya fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan kesehatan yang tidak perlu. Hal ini dikarenakan fasilitas kesehatan dapat menagih hal ini kepada BPJS Kesehatan.

Kondisi tersebut seringkali terjadi pada fasilitas kesehatan yang memiliki pelayanan kurang baik di mana sebelum adanya BPJS Kesehatan mereka kekurangan pasien. Pada tahap yang lebih lanjut, BPJS Kesehatan akan melakukan perbaikan besar-besaran dalam sisi fasilitas kesehatan ini. Salah satu perbaikan yang mungkin dapat saja dilakukan adalah penyesuaian nilai penggantian nilai layanan kesehatan.

Sayangnya, di sinilah aspek adverse selection muncul. Penyesuaian nilai penggantian layanan kesehatan akan membuat fasilitas kesehatan dengan kualitas yang baik membatasi pelayanan mereka, bahkan tidak menerima pembayaran melalui BPJS Kesehatan. Hal ini dikarenakan mereka memiliki standar harga yang lebih tinggi yang kemudian tidak masuk dalam tanggungan BPJS Kesehatan.

Permasalahan ini memang cenderung kompleks mengingat BPJS Kesehatan merupakan lembaga pemerintah yang memiliki tugas dalam memastikan setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layaknya. Secara sederhana, kita dapat melihat bahwa terdapat dua fungsi di saat yang sama, yaitu sebagai perusahaan yang bergerak di bidang asuransi dan pemberi layanan kesehatan. Hal ini tentu saja membuat BPJS memiliki dua motif yang cukup berbeda, yaitu bisnis dan filantropis. BPJS Kesehatan di satu sisi diminta untuk dapat memberikan jaminan kesehatan untuk seluruh kalangan, dan di sisi lain harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.

Berdasarkan semua permasalahan tersebut, pemerintah harus segera melakukan perbaikan terhadap proses bisnis BPJS Kesehatan. Pemerintah sebenarnya telah melakukan perbaikan. Hanya saja perbaikan itu baru berfokus pada aspek supply layanan kesehatan berupa pembatasan layanan kesehatan yang ditanggung. Seperti yang diterangkan sebelumnya, hal ini hanya akan memperbaiki aspek moral hazard dan di satu sisi lain akan menyebabkan aspek adverse selection semakin membesar.

Oleh karena itu, pemerintah juga harus mulai berani memperbiki aspek demand dari layanan kesehatan itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan premi JKN dengan tingkat risiko penerima manfaat, khususnya premi untuk kelas 1 dan kelas 2. Sedangkan, pada kelas 3 pemerintah dapat melakukan penyesuaian dalam bentuk pengelompokan kategori masyarakat yang ditanggung oleh pemerintah, dalam hal ini masyarakat miskin dan membutuhkan. Pemerintah juga harus siap menyediakan subsidi sebagai bentuk bantuan terhadap masyarakat yang menerima pelayanan kelas 3.

Kebijakan ini memang tidak cukup populis. Pemerintah akan mendapat sentimen yang buruk mengenai BPJS Kesehatan pada saat kebijakan ini diterapkan. Tidak menutup kemungkinan pula akan terjadi keengganan dari beberapa kalangan untuk membayar premi. Tapi, apabila kebijakan BPJS Kesehatan telah cukup baik, kendala itu tidak akan menjadi masalah. Kualitas yang membaik akan mengembalikan kepercayaan masyarakat, dan pada saat yang sama BPJS akan mampu mencapai keseimbangan dalam proses bisnisnya. Jika tidak, BPJS hanya akan membiarkan bom waktu yang dapat berujung pada menghilangnya JKN yang sejauh ini sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Muhammad Miqdad Robbani asisten dosen FEB UI, M.Sc in Finance Candidate di Tilburg University, Netherlands

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads