Mengelola Logistik Medik Saat Bencana
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengelola Logistik Medik Saat Bencana

Jumat, 05 Okt 2018 13:20 WIB
Ariesadhar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mengelola Logistik Medik Saat Bencana
Foto: Dok DPR
Jakarta -
Gempa bumi dan gelombang tsunami menerpa Palu, Sigi, Donggala, dan sekitarnya. Korban berjatuhan, baik yang meninggal maupun luka-luka. Aneka bentuk bencana alam pada akhirnya memang bermuara pada timbulnya korban, yang kemudian ditindaklanjuti dengan adanya bantuan.

Pemberian bantuan pada dasarnya adalah hal yang normal bagi manusia yang melihat penderitaan sesamanya. Begitu kabar bencana terdengar, maka saluran-saluran bantuan sudah mulai bergerak untuk pengumpulan dana dan pencarian jalur untuk menyalurkan bantuan tersebut. Selain uang, bantuan dalam bentuk barang dan tenaga juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Sebagai cerminan rasa kemanusiaan, bantuan tentu harus diapresiasi. Pada sisi lain, bantuan seharusnya dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan rupa-rupa permasalahan baru.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain makanan, pakaian, dan selimut, jenis bantuan lain yang pasti ada dan diperlukan dalam setiap penanganan bencana adalah obat-obatan dan peralatan kesehatan, atau yang jamak dikenal dengan obat dan logistik medik, atau sederhananya lagi disebut logistik medik saja.

Logistik medik adalah salah satu hal yang harus segera dipenuhi dalam penanganan korban bencana alam terutama yang luka-luka, baik di rumah sakit maupun di tempat-tempat lain yang difungsikan sebagai fasilitas kesehatan. Para korban luka tentunya butuh penanganan segera dan itu hanya bisa dilakukan dengan logistik medik yang memadai. Tentu tidak mungkin mengobati pasien luka tanpa perban dan plester yang cukup.

Berdasarkan pengalaman menjadi relawan yang memfokuskan diri pada logistik medik, terdapat beberapa permasalahan di lapangan yang kejadiannya berulang dan justru menjadi persoalan baru di luar penanganan korban. Padahal, tenaga kesehatan yang terbatas, karena sebagian juga merupakan korban, seharusnya fokus pada penanganan pasien saja tanpa direpotkan masalah teknis logistik medik ini.

Masalah pertama yang sering terjadi adalah diterimanya bantuan yang statusnya adalah barang kedaluwarsa. Ada beberapa modus untuk bantuan jenis ini yang sejujurnya lumayan bikin ingin mengumpat begitu kita mengetahuinya. Pertama, pengiriman bantuan dilakukan pada tengah malam dan barang-barang kedaluwarsa diselipkan di antara bantuan yang baik. Pada saat penanganan gempa di Jogja 2006, saya pernah menerima beberapa kotak injeksi Lidokain yang sudah kedaluwarsa pada tahun 2004! Sudah kedaluwarsa 2 tahun! Saat tengah malam dipilih karena petugas yang berjaga biasanya lebih sedikit dan sudah cukup lelah sehingga kurang awas pada tanggal kedaluwarsa bantuan yang jumlahnya banyak.

Modus kedua adalah menggunakan kiriman. Saat membantu Jesuit Refugee Services (JRS) pada bencana yang sama, saya mendapati banyak bantuan dalam bentuk kardus-kardus yang dikirimkan dari berbagai kota. Demikian pula rekan yang membantu penanganan logistik di sebuah Rumah Sakit swasta di Bantul. Di antara barang-barang bagus yang ada di dalam kardus tersebut, rupanya terselip barang-barang yang sudah lewat kedaluwarsa. Dalam konteks ini, penerima juga tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi jika bantuannya datang dari luar negeri.

Saya menyebut penyaluran bantuan semacam ini merupakan modus pemusnahan barang kedaluwarsa yang jauh lebih mudah daripada prosedur seharusnya. Prinsip pemberi adalah yang penting tidak menyimpan lagi barang kedaluwarsa. Sebuah niat jahat yang sesungguhnya mengerikan.

Sebagai pengelola bantuan logistik medik, ini tentu perkara tersendiri. Alih-alih menggunakan waktu untuk pengelompokan bantuan guna dikirimkan pada posko-posko secara tepat, relawan atau petugas harus menghabiskan waktu untuk memilah barang-barang yang sudah kedaluwarsa dan yang belum. Untuk berkardus-kardus bantuan, ini tentu sangat merepotkan. Belum lagi tanggung jawab pemusnahan yang jadinya harus berpindah pada penerima bantuan.

Masalah kedua adalah datangnya bantuan yang tidak atau belum dibutuhkan. Dalam kasus gempa Jogja 2006, misalnya, kejadian yang banyak adalah patah tulang, sementara pada erupsi Merapi 2010 lebih banyak luka bakar dan infeksi pernapasan. Dalam kejadian di Jogja 2006, saya pernah menerima begitu banyak masker, sementara pada saat yang sama posko lebih butuh logistik medik yang menunjang pasien patah tulang. Kondisi ini seharusnya malah terjadi pada erupsi Merapi 2010.

Atau, misalnya, satu-dua bulan sesudah gempa, tentu obat antitetanus menjadi tidak lagi dibutuhkan karena luka sudah mulai mengering. Berbeda dengan beberapa hari pascagempa, yang justru sangat butuh obat antitetanus. Maka, ketika obat antitetanus muncul satu bulan sesudah bencana, sudah pasti obat itu tidak lagi dibutuhkan dalam jumlah yang besar.

Atau juga saat berjaga di rumah sakit, saya turut menerima berkardus-kardus infus Dextrose, sementara pada saat yang sama, pasien sedang kekurangan infus Ringer Laktat. Diduga, sumbangan hanya didasarkan stok barang yang tersedia di gudang, padahal kebutuhannya tidak sebesar barang lainnya. Kejadian semacam ini menyisakan beberapa perkara. Paling utama tentu saja tempat penyimpanan yang mengokupasi area yang seharusnya bisa diisi bantuan lain. Selain itu, pengelolaan barang sisa ketika proses tanggap darurat selesai juga menjadi masalah selanjutnya. Ingat, logistik medik tidaklah seperti mie instan yang dapat dihabiskan dengan cepat.

Persoalan ketiga adalah bantuan terkadang tidak paralel dengan kebutuhan-kebutuhan sepele tapi mendasar. Dalam hal bantuan obat-obatan untuk penyakit flu, sakit kepala, misalnya, bantuan hanya diberikan berupa obat-obatan saja. Pernahkah terpikir oleh pemberi bantuan bahwa obat itu harus diserahkan kepada pasien secara layak? Dalam pengalaman saya, bantuan berdus-dus obat tidak seimbang dengan bantuan plastik klip maupun spidol atau alat tulis yang perlu digunakan untuk penyerahan obat-obatan tersebut kepada pasien.

Hal ini tampak sepele, namun petugas pasti akan kelimpungan ketika tidak ada plastik klip sementara pasien mendapatkan resep 30 tablet Parasetamol dan bantuan tersedia dalam bentuk botol isi 1000 tablet. Ketika di Jogja 2006, utamanya pada hari-hari awal, memang sempat terjadi penipisan stok plastik klip, namun bisa teratasi karena akses ke Jogja boleh dibilang tidak terlalu bermasalah dan banyak pula toko yang masih menyediakan barang tersebut. Hal semacam ini tentu beda jika kejadiannya di Donggala atau Sigi.

Ketika turut dalam hari-hari akhir kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias di Gunungsitoli, saya sempat bertukar pendapat dengan seorang petugas lapangan tentang pengelolaan logistik medik bantuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Perlu koordinasi yang baik dalam perkiraan jumlah obat maupun peralatan medis yang dibutuhkan, bahkan jika perlu informasi tentang jumlah korban yang dikelola termasuk sakit yang diderita bisa dilengkapi sehingga bantuan bisa disalurkan dengan tepat.

Apalagi, jika ada keterbatasan ruang untuk pengiriman ke lokasi. Sangat disayangkan jika tempat untuk mengirim infus RL harus terokupansi oleh infus Dextrose sementara kebutuhan saat itu adalah infus RL. Hal ini hanya dapat diketahui dengan perencanaan yang tepat. Data korban dan data penyakit yang diderita meski tidak akurat benar, akan cukup membantu dalam perencanaan penyediaan logistik medik yang tepat, termasuk juga untuk mengoper bantuan yang kurang tepat sasaran ke posko atau tempat lain yang lebih membutuhkan.

Persoalan inventory logistik medik di layanan kesehatan normal saja bukanlah hal mudah. Rumah sakit, puskesmas, maupun sekadar Balai Pelayanan Kesehatan saja harus berdarah-darah untuk mengelola inventory secara optimal. Apalagi jika konteksnya adalah bencana. Untuk itu, perencanaan dan pengelolaan logistik medik yang optimal dengan mengatasi beberapa masalah di atas merupakan bagian dari ikhtiar dalam pelayanan pada korban bencana.

Semoga seluruh tenaga kesehatan dan para relawan diberi kekuatan untuk memberikan pelayanan yang maksimal pada periode yang sulit ini.

Alexander Arie apoteker, berdomisili di Tangerang Selatan

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads