Menariknya, Tanoker Ledokombo ini tidak hanya menarik dan ramai dikunjungi saat Festival Egrang berlangsung. Bisa dibilang, komunitas ini tak sepi peminat dan pengunjung di sepanjang tahun. Meski identik dengan Egrang, Tanoker Ledokombo juga memiliki sejumlah hal menarik lain, terutama dari sisi bagaimana ia bermula dan terus berproses hingga dikenal dan banyak menginspirasi seperti sekarang.
Tanoker Ledokombo seakan menjadi miniatur Indonesia dilihat dari sisi kelamnya potret masyarakat kita dengan segudang masalah klasik yang dimilikinya. Kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan, kriminalitas, problem sosial, hingga masalah lingkungan. Sebuah keadaan yang jika terus dibiarkan akan menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya bibit radikalisme. Tanoker dengan segenap upayanya mampu membuktikan bahwa di daerah dengan persoalan kompleks seperti Ledokombo yang acapkali disebut sebagai 'tanah kutukan' ternyata bisa bermetamorfosis menjadi daerah yang mampu bergerak dinamis dan akhirnya memikat dunia dengan pencapaiannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bermula dari Egrang
Sejarah panjang dan fenomenal dari Komunitas Tanoker tidak terlepas dari kiprah Farha Ciciek dan suami, Suporahardjo yang mempelopori terbentuknya Komunitas Tanoker Ledokombo. Dua orang ini adalah sosok anak bangsa, yang jika mau keduanya bisa memilih banyak kesempatan untuk berkiprah di luar sana, di luar Ledokombo, di luar Jember, bahkan di luar Indonesia. Pulang ke kampung halaman yang awalnya ditujukan untuk merawat orangtua yang mulai sakit-sakitan pada 2009, ternyata menjadi titik awal bermulanya Komunitas Tanoker yang fenomenal.
Permainan tradisional egrang yang dimainkan oleh anak-anak Farha Ciciek menarik anak-anak tetangga untuk mencoba permainan sama yang sudah hampir punah itu. Anak-anak sekitar yang semakin banyak berkunjung kemudian membuka tabir tentang bagaimana kondisi anak-anak di sana yang sebagian di antaranya ditinggal orangtuanya bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran. Sulitnya mata pencaharian di desa Ledokombo membuat banyak warga memilih mengadu nasib ke negeri orang. Banyak anak-anak yang ditinggalkan.
'Kekosongan' peran dan kehadiran orangtua ini, menurut Farha Ciciek dan suami, adalah masalah krusial yang tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan terus tumbuh dan berkembang tanpa menunggu ayah ibunya pulang dari negeri orang. Pengasuhan adalah utang. Yang jika tidak ditunaikan saat anak-anak masih kecil, maka mereka akan menagihnya saat besar melalui sejumlah sikap dan tabiat yang menjengkelkan, atau bahkan bisa dalam bentuk yang radikal. Sangat mengkhawatirkan.
Untuk mengisi 'kekosongan' itu, Farha Ciciek mencoba membangun kesadaran dan solidaritas masyarakat setempat untuk turut peduli dan ambil bagian secara nyata guna menyelamatkan anak-anak Tanoker dari lost generation. Lahirlah konsep collaborative parenting yang memberdayakan ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan kakek-nenek di Ledokombo untuk menjadi 'orangtua' bagi anak-anak Ledokombo terutama yang ditinggal ayah, ibu, atau bahkan keduanya menjadi pekerja migran di luar negeri.
Maka, akhirnya bukan hanya anak-anak yang bersekolah di desa itu, tapi juga para ibu, para bapak, bahkan para kakek-nenek. Adalah sekolah Bok Ebok untuk ibu-ibu, sekolah Pak Bapak untuk bapak-bapak, juga sekolah Yang Eyang untuk para kakek dan nenek. Semua terlibat, semua merasa memiliki dan bertanggung jawab, untuk membawa anak-anak Toneker meraih masa depan yang lebih baik. Untuk mengubah stigma dan kondisi daerah mereka yang seolah dianggap sebagai 'tanah kutukan' menjadi 'tanah yang diberkahi'.
Dalam perjalanannya, bermula dari egrang, Tanoker lantas berkembang memasuki ranah lain. Seperti bola salju yang terus bergulir dan semakin membesar, egrang bukan lagi sebatas permainan anak-anak. Egrang menumbuhkan geliat di sektor wisata, ekonomi, kreativitas, dan sikap mental masyarakat. Tanoker Ledokombo tidak hanya berupaya menggerakkan sektor pendidikan, namun juga mendorong masyarakatnya memiliki kreativitas ekonomi yang bisa mendongkrak perekonomian masyarakat setempat. Ini dilakukan agar menjadi pekerja migran tidak lagi satu-satunya tumpuan ekonomi masyarakat untuk mengubah taraf kehidupan mereka.
Sebaliknya, tetap tinggal di kampung halaman dan mengoptimalkan potensi yang ada dan kearifan lokal yang dimiliki, peluang dan kesempatan untuk memperbaiki taraf ekonomi tetap terbuka lebar. Maka, menjelmalah desa Ledokombo sebagai salah satu desa wisata yang diminati banyak masyarakat. Tidak hanya bagi masyarakat Jember dan Jawa Timur, namun juga di kancah nasional bahkan hingga ke mancanegara. Di desa ini tidak hanya akan kita temukan kreativitas dan anak-anak yang semakin optimis menatap masa depan, namun juga filosofi dan pembelajaran, kearifan lokal, dan juga masyarakat yang terus bergerak dinamis.
Role Model
Proses metamorfosis komunitas Tanoker Ledokombo bisa menjadi role model atau panutan bagi daerah lain terutama yang memiliki masalah kompleks seperti masyarakat Ledokombo di waktu lalu. Banyak poin penting yang bisa kita catat, lalu kita adopsi atau diadaptasikan dengan kondisi setempat.
Pertama, agent of change atau agen perubahan, yakni orang-orang kreatif dan dedikatif sebagai kunci atau aktor utama. Merekalah yang akan menjadi motor penggerak perubahan. Beruntung, Ledokombo memiliki sosok-sosok inspiratif dan edukatif seperti Farha Ciciek dan suami. Semoga muncul sosok-sosok serupa mereka berdua di daerah lain. Kita patut optimis dalam hal ini. Masih banyak anak negeri yang terketuk hatinya memenuhi panggilan Ibu Pertiwi.
Kedua, kearifan lokal adalah senjata dan modal utama. Kita hidup di era ketika perang dan pertaruhan nilai, ide, pemikiran, dan kepentingan berlangsung sangat sengit. Ada banyak nilai dan pemikiran yang bisa merusak tatanan hidup bernegara, bermasyarakat, dan beragama kita. Salah satunya adalah radikalisme yang bisa mengarah pada terorisme dalam aspek yang luas. Beruntung, kita memiliki banyak kearifan lokal yang bisa kita jadikan sebagai senjata untuk memenangkan pertempuran.
Pada komunitas Tanoker, selain menghidupkan kembali sejumlah permainan tradisional yang kaya akan filosofi dan nilai-nilai luhur bangsa namun mulai terancam punah, mereka juga berupaya membangkitkan kembali kearifan lokal masyarakat yang lain yakni kuliner tradisional. Menghidupkan dan memasyarakatkan kembali sejumlah kuliner tradisional yang banyak di antaranya juga mulai ditinggalkan dan dilupakan, merupakan salah satu upaya untuk melestarikan budaya bangsa, mengembalikan kembali kedaulatan pangan nasional, sekaligus mendorong ekonomi kerakyatan berbasis potensi lokal.
Tanoker mengajak warganya berdikari secara ekonomi dan budaya dengan tetap mempertahankan identitas dan kearifan lokalnya di tengah gempuran banyak nilai dan pemikiran yang bisa merusak tatanan kehidupan kita. Akhir kata, kearifan lokal terbukti mampu menjadi senjata dan modal utama bagi masyarakat Ledokombo untuk berubah dan bermetamorfosis ke arah yang lebih baik. Mengubah stigma buruk tentang daerah mereka, membangun optimisme menatap masa depan terutama di kalangan anak-anak dan generasi muda, melakukan perubahan sosial dan bahkan ekonomi hingga mereka dilirik dan menjadi perhatian dunia.
Tanoker Ledokombo telah memulai dan membuktikan. Saatnya kita berupaya dan membuktikan bahwa kita juga bisa.
Ririn Handayani alumnus Pascasarsaja Universitas Airlangga
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini