Pilpres 2019 menjadi panggung pemilih milenial menunjukkan signifikansinya dalam politik elektoral Indonesia. Mereka akan diuji, apakah preferensi politiknya sesuai dengan idealisme atau terjebak dalam kungkungan pragmatisme. Proporsi mereka yang cukup besar, sekitar 40% dari seluruh pemilih di Indonesia adalah lahan menggiurkan bagi kandidat untuk menarik simpati dan mendulang suara.
Besarnya kuantitas pemilih milenial disadari oleh masing-masing kandidat sehingga kubu Probowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf saling mengklaim bahwa pihaknya akan melakukan strategi yang sesuai dengan selera pemilih milenial. Di kubu petahana misalnya, gaya Joko Widodo disebut mencerminkan generasi milenial. Ia gemar memakai sneaker dan membikin vlog --style dan aktivitas yang sangat intim dengan generasi milenial. Sementara di kubu oposisi, yang dianggap merepresentasikan kaum milenial adalah Sandiaga Uno. Dengan style-nya yang serba kekinian, ia dianggap sebagai sosok yang mampu menggaet pemilih milenial.
Namun, yang perlu dipahami di sini bahwa karakter generasi milenial ialah melek informasi. Hidup mereka banyak dicurahkan untuk berselancar di dunia maya. Mereka terkoneksi satu sama lain melalui media sosial. Inilah titik pembeda antara generasi milenial (17-35 tahun) dengan generasi X (36-55 tahun) serta generasi baby boomers (55 tahun ke atas).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai generasi digital native, sifat mereka di media sosial cendrung narsistik atau dalam bahasa Djayani Hanan (2018) disebut the Me Me Me Generation. Ini artinya mereka bisa dimanfaatkan sebagai mesin politik untuk memobilisasi suara pasangan tertentu. Melalui kenarsisan mereka, dua pasangan capres-cawapres bisa mengkapitalisasinya untuk menggelembungkan citranya secara sporadis. Dengan demikian, citra positif dan negatif kandidat tergantung pada sejauh mana generasi milenial meresponsnya.
Besarnya kuantitas generasi milenial tidak membuat mereka sebagai mayoritas yang diam (silent majorities). Mereka bukan entitas yang pasif, melainkan aktif. Sebab, dunia maya, tempat mereka beraktivitas, tersedia informasi yang melimpah dan bisa diperoleh secara cuma-cuma. Sehingga, riwayat dan jejak rekam kandidat akan diselidiki lebih jauh.
Hal itu tidak lepas dari sifat generasi milenial yang memiliki kecenderungan ingin tahu lebih dalam, bahkan mengulik lebih jauh sisi kehidupan kandidat yang sifatnya pribadi sekalipun. Informasi yang diperoleh tentang kandidat bisa menjadi dasar politisnya dalam memberikan suara.
Keberhasilan kandidat ditentukan oleh sejauh mana ia dikemas, dicitrakan, dan diinformasikan dalam dunia maya. Berdasarkan survei Poltraking 2018, faktor rasional berada di atas faktor sosiologis yang menjadi dasar penentu bagaimana pemilih milenial melabuhkan pilihannya. Perbandingannya ialah 39% untuk faktor rasional dan 30% untuk faktor sosiologis.
Data tersebut menunjukkan bahwa tim pemenangan perlu melakukan kerja ekstra untuk mengarahkan kebijakan yang ditawarkan secara proporsional, aplikatif, dan komprehensif. Petahana harus melakukan inovasi dan perbaikan terhadap kinerja serta kebijakan yang telah dijalankan. Sementara itu, di kubu oposisi harus ada koreksi dan inovasi program kerja serta kebijakan yang akan ditawarkan.
Dengan berpijak pada data survei di atas bukan tidak mungkin pada Pilpres 2019 mendatang faktor sosiologis, seperti agama dan etnis memberikan kontribusi signifikan pada perolehan suara dua kandidat. Namun, ketimbang mengeksplorasi hal itu, tim pemenangan sebaiknya menyiapkan kandidat dengan paket kebijakan dan program kerja yang mampu mengarahkan negara Indonesia menjadi lebih baik ke depannya.
Sebab, faktor sosiologis hanya akan membuat kehidupan masyarakat terpolarisasi sehingga pendukung petahana dan oposisi menjadi dua kutub yang saling bersitegang. Ironisnya, tatkala pendukung masing-masih gagal menerjemahkan hakikat politik yang berpijak pada diktum 'tiada kawan dan lawan sejati dalam politik, yang sejati hanyalah kepentingan'.
Faktor rasional, dengan demikian, perlu dirawat oleh pemilih milenial agar output kontestasi elektoral adalah pemimpin yang benar-benar mampu menyuarakan kehendak mereka. Pada bagian inilah, pemilih milenial akan diuji konsistensinya dalam menjaga idealisme. Setidaknya, mereka tidak tertipu oleh iming-iming politik uang (money politic) dan pencitraan semu ala politisi sehingga mereka tetap mampu menjaga nalar kritisnya dalam menentukan pilihan. Bukan menjadi pemilih apatis yang tidak mempunyai optimisme pada pemimpin.
Hasil survei yang dilakukan oleh Centre For Strategic and International Studies (CSIS) 2017 menunjukkan bahwa kesulitan yang dihadapi generasi milenial saat ini ialah terbatasnya lapangan pekerjaan (25,5%), tingginya harga sembako (21,5%), tingginya angka kemiskinan (14,3%), dan beberapa persoalan lain di bawah 10%. Jika pemilih milenial setia pada sikapnya, mereka akan mengkristalkannya menjadi pilihan rasional. Oleh sebab itu, agar mendapat dukungan elektoral dari pemilih milenial, kesulitan tersebut perlu dipecahkan oleh capres dan cawapres melalui paket program kerja yang ditawarkan.
Fenomena Arab Spring yang terjadi di berbagai wilayah di Timur Tengah menjadi contoh betapa generasi milenial mampu membulatkan suara untuk mengkritik bahkan menjungkalkan rezim. Itu adalah pelajaran bahwa sewaktu-waktu mereka bisa menjadi loyalis pasangan tertentu. Tetapi, tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi musuh. Jika isu identitas digunakan sebagai strategi kampanye oleh tim pemenangan salah satu kandidat, tidak mustahil isu tersebut justru menjadi bumerang yang dapat mengantarkan pada kekalahan.
Alasannya karena pemilih milenial menyatakan dukungan pada kandidat masih didominasi oleh faktor rasional ketimbang faktor sosiologis. Fenomena munculnya Teman Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah gambaran bahwa secara sosio-demografis dukungan elektoral generasi milenial tidak semata berbasis sentimen identitas. Hal ini perlu disadari oleh setiap kandidat agar strategi kampanye mereka sesuai dengan segmen pemilih milenial.
Ahmad Naufel pemerhati politik di Institute of Humankind and Politic (Inhup) Yogyakarta