Ancaman Golput Ideologis
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ancaman Golput Ideologis

Kamis, 30 Agu 2018 16:00 WIB
Nurrochman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: detik
Jakarta - Paket calon presiden berikut calon wakil presiden dari kubu koalisi incumbent dan oposisi resmi dirilis. Jokowi mendaulat Kiai Ma'ruf Amin sebagai cawapres, sementara Prabowo memacak Sandiaga Uno sebagai pendampingnya. Seperti kita lihat, keputusan tersebut menuai kekecewaan di kalangan basis massa pendukung masing-masing.

Di kubu Prabowo, kekecewaan atas terpilihnya Sandiaga sebagai cawapres diperlihatkan oleh aktivis Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF). Mereka merasa diabaikan, karena nama-nama yang direkomendasikan oleh forum ijtimak ulama ditolak oleh Prabowo.

Di kubu Jokowi, keadaannya tidak jauh lebih baik. Terpelecatnya --secara dramatis-- Mahfud MD sebagai cawapres Jokowi sesaat jelang deklarasi telah memecah soliditas barisan pendukung Jokowi. Belakangan, kekecewaan itu bermetamorfosis menjadi gelombang ajakan untuk golput di Pilpres 2019.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wacana golput yang disuarakan sebagian pendukung Jokowi agaknya tidak dapat dianggap remeh. Tanpa isu yang demikian signifikan saja, angka golput di setiap pemilihan umum terbilang tinggi. Pada Pemilu 2014 misalnya, angka golput mencapai tidak kurang dari 30 persen dari total pemilih terdaftar. Tingginya angka golput tentu menjadi ancaman bagi legitimasi demokrasi kita.

Seperti kita tahu, di negara demokrasi seperti Indonesia, pemilu menjadi salah satu mekanisme suksesi kekuasaan sekaligus rekrutmen pejabat publik. Ini artinya, pemilihan umum memiliki peran yang strategis bagi terjadinya transformasi sosial-politik. Salah satu tolok ukur keberhasilan demokrasi, menurut Sammuel P. Huntington (2003) dapat dilihat dari tingkat partisipasi politik masyarakat.

Tingginya angka partisipasi politik warga negara menjadi bukti bahwa publik memiliki kepercayaan bahwa sistem demokrasi memiliki visibilitas untuk mewujudkan kepentingan bersama. Sebaliknya, rendahnya partisipasi politik publik dapat dimaknai sebagai gejala pesimisme, atau bahkan apatisme terhadap demokrasi dan politik pada umumnya.

Tiga Corak

Dalam lanskap politik Indonesia, golput --yang diartikan sebagai tindakan tidak memberikan hak pilih-- dapat diklasifikasikan ke dalam tiga corak. Pertama, golput yang lebih dilatari persoalan teknis administrasi. Dari setiap periode pemilu, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) merupakan persoalan klasik yang terus terulang. Kisruh ihwal DPT dilatari oleh sejumlah persoalan, mulai dari sistem birokrasi kependudukan yang belum sepenuhnya mapan (sustainable), sampai dugaan adanya praktik manipulasi data pemilih. Kelompok masyarakat yang tidak memberikan hak suaranya karena kendala "teknis" ini kerap disebut sebagai golput administratif.

Kedua, golput yang merupakan ekses dari sikap tidak acuh pada urusan politik. Sebagian masyarakat masih berpandangan bahwa proses politik yang terejawantahkan dalam pemilu tidak akan berpengaruh langsung pada kehidupan praktis sehari-hari. Paradigma apolitis tersebut berkelindan erat dengan rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemilu, demokrasi, dan politik dalam lingkup yang lebih luas. Golongan ini kerap dipersepsikan sebagai kelompok apatis.

Apatisme politik belakangan menjangkiti kelompok kelas menengah-urban yang sebenarnya merupakan kelompok masyarakat yang paling diuntungkan oleh pembangunan. Sayangnya, tingkat kesejahteraan ekonomi tersebut nyatanya tidak berbanding lurus dengan tingkat partisipasi politik.

Ketiga, golput sebagai sebuah sikap ketidakpuasan atau pada titik tertentu juga perlawanan terhadap sistem politik yang penuh ketimpangan. Kelompok ini umumnya sengaja membiarkan hak politiknya hangus lantaran merasa elite politik yang bertarung dalam kontestasi politik praktis tidak memiliki keberpihakan pada nilai-nilai ideologis yang mereka yakini. Tersebab itulah mereka kerap disebut sebagai golput ideologis.

Upaya untuk meningkatkan partisipasi politik sekaligus menekan angka golput mustahil dilakukan tanpa mempertimbangkan latar belakang dan motivasi di balik golput tersebut. Artinya, dari ketiga kluster golput di atas, masing-masing membutuhkan treatment yang berbeda-beda.

Golput administratif tentu membutuhkan solusi praktis dari lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penyusunan DPT. Pemerintah dan KPU sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu idealnya menyinergikan sistem dan mekanisme kependudukan guna memastikan semua warganegara yang secara konstitusional memiliki hak pilih dapat menyalurkan hak pilihnya.

Golput karena sikap apatis pada politik membutuhkan solusi yang lebih dari sekadar pembenahan administratif. Kebekuan berpikir masyarakat yang menilai mekanisme pemilu tidak berpengaruh signifikan pada kehidupan sehari-hari hanya dapat dicairkan oleh pendidikan politik. Kerja-kerja yang berhubungan dengan upaya menumbuhkan kesadaran berpolitik masyarakat ini tentu melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah, partai politik sampai jaringan civil society.

Sayangnya, pendidikan politik yang selama ini berjalan --terutama yang diinisiasi oleh parpol-- lebih sering hanya sebatas mobilisasi suara tanpa berupaya membangun kesadaran berpolitik. Masyarakat diposisikan sebagai objek demokrasi yang akumulasi suaranya dibutuhkan sebagai tiket parpol dan elite politik meraih kekuasaan. Kondisi inilah yang pada akhirnya memunculkan sikap pesimis masyarakat akan manfaat nyata dari pemilu.

Delegitimasi Demokrasi

Jika dibaca dari tiga klasifikasi karakter golput seperti disebut di muka, gelombang golput seperti disuarakan para pendukung Jokowi yang kecewa atas pilihan cawapresnya lebih didasari alasan ideologis, bukan apatis apalagi administratif. Kiai Ma'ruf Amin, dengan segala latar belakang pemikiran dan rekam jejaknya dianggap tidak mewakili kepentingan ideologis sebagian pendukung Jokowi.

Kekecewaan itu kian menjadi-jadi ketika publik menyaksikan sendiri bagaimana proses penjaringan cawapres yang boleh dikata jauh dari nilai demokrasi. Proses penjaringan cawapres dari awal didesain tertutup dan hanya melibatkan segelintir elite partai. Basis massa pendukung, terlebih publik secara luas sama sekali tidak dilibatkan, atau sekadar diberikan kesempatan untuk memberikan pertimbangan.

Proses yang tertutup dan penuh kasak-kusuk ini dalam banyak hal telah memunggungi nalar demokrasi. Proses penentuan cawapres yang seharusnya berjalan terbuka dan transparan diringkus ke dalam persekongkolan bernuansa transaksional. Yang tersisa bagi publik hanyalah cuilan-cuilan atawa remah-remah isu yang serba tidak utuh, sepotong-sepotong, dan membikin curiga.

Sampai saat ini, masyarakat cenderung tidak mendapatkan kejelasan ihwal apa yang terjadi di dapur dua koalisi tersebut. Isu mahar 500 M Sandiaga Uno pada PKS dan PAN agar bersedia mengusungnya sebagai cawapres Prabowo cukup dibantah dengan pernyataan bahwa uang itu adalah dana kampanye.

Begitu pula tentang misteri mengapa Jokowi lebih memilih Kiai Ma'ruf Amin --yang rekam jejaknya sebenarnya tidak cocok dengan visi politik Jokowi-- sebagai cawapres cukup diredam dengan slogan klise bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin merupakan representasi pemimpin berkarakter nasionalis-relijius.

Fenomena golput ideologis akan meredup dengan sendirinya ketika elite politik kembali kepada esensi demokrasi sebagai alat perjuangan sosial. Sepanjang praktik politik busuk masih dilanggengkan oleh para elite, fenomena golput ideologis --meski jumlahnya tidak signifikan-- akan terus ada dan selama itu pula legitimasi demokrasi kita terancam.

Nurrochman mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads