Entah mengapa, bencana alam di negeri ini hampir selalu dihubungkan --bahkan secara spontan-- dengan hukuman Tuhan. Sejak gempa dan tsunami Aceh pada 2004, sampai gempa NTB baru-baru ini, anggapan itu selalu saja mengemuka. Saya tak hendak membahas kebenarannya. Yang jauh lebih gawat adalah narasi-narasi kebencian dan yang menyertainya. Di hadapan sesama warga-negara yang tertimpa musibah, mengapa reaksi spontan justru mengutuk atau membenci, alih-alih membantu atau paling sedikit bersimpati?
Dalam konteks gempa NTB, unsur politis tampak jelas: fanatisme terhadap satu tokoh atau kubu tertentu mengalahkan bela rasa. Tetapi, kenyataan itu boleh jadi sekadar gejala yang menyeruak dari masalah yang jauh lebih besar: buruknya (atau tiadanya?) pendidikan kewarganegaraan demokratis (democratic citizenship) di negeri ini. Demokrasi terlalu sering dikaitkan dengan perkara 'tinggi-tinggi' seputar pemilu, lembaga-lembaga negara, partai politik, dan sebagainya. Pendidikan kewarganegaraan demokratis pun terlewatkan (atau sengaja dilewatkan). Apa artinya diskusi 'tinggi-tinggi' tentang demokrasi kalau kita tak pernah melatih semangat-semangat demokrasi dalam diri kita sendiri, atau mengajarkannya kepada anak-anak kita?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sentimen primordial akan selalu ada. Tak perlu bermimpi melenyapkannya. Yang perlu bukanlah menghilangkan sentimen primordial --sesuatu yang justru berbahaya, sebab dapat memicu kekerasan yang sama dengan kekerasan atas nama sentimen primordial itu sendiri. Penindakan oleh para penegak hukum tentu masih sangat diperlukan dalam kasus-kasus khusus, tetapi pendidikan kewarganegaraan demokratis tak kalah mendesak.
Apa isi pendidikan kewarganegaraan demokratis? Martha Nussbaum, seorang pemikir kontemporer Amerika, menyampaikan butir-butir berikut dalam salah satu bukunya, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (2010). Saya menerjemahkannya untuk Anda:
--Kemampuan untuk memikirkan dengan jernih isu-isu politik yang berdampak bagi bangsa, untuk memeriksa, merefleksikan, berargumentasi, dan berdebat tanpa tunduk pada tradisi atau otoritas tertentu
--Kemampuan mengakui sesama warga-negara sebagai manusia dengan hak-hak yang setara, tanpa memandang perbedaan ras, agama, jender, dan seksualitas: memandang mereka dengan rasa hormat sebagai tujuan, bukan sekadar alat untuk dimanipulasi demi keuntungan sendiri
--Kemampuan untuk peduli pada kehidupan orang lain, untuk mengerti apa dampak dari berbagai kebijakan terhadap kehidupan sesama warga-negara dan terhadap orang-orang di luar negaranya
--Kemampuan mengimajinasikan isu-isu kompleks yang mempengaruhi keseluruhan rentang hidup manusia: memikirkan masa kecil, remaja, hubungan keluarga, sakit, kematian, dan sebagainya, dengan wawasan dan pengertian yang kaya, bukan sekadar angka-angka
--Kemampuan menilai para pemimpin politik secara kritis, tetapi dengan wawasan yang realistis dan masuk akal mengenai kemungkinan-kemungkinan yang tersedia bagi mereka
--Kemampuan memikirkan negara dan bangsa secara utuh, bukan sekadar kelompok lokalnya sendiri
--Pada gilirannya, kemampuan untuk memandang bangsa sendiri sebagai bagian dari tatanan dunia yang rumit, di mana pelbagai masalah memerlukan pertimbangan transnasional yang cerdas demi menemukan pemecahannya
Kemampuan-kemampuan itu, kata Nussbaum, tak mungkin berkembang utuh tanpa pendidikan humaniora (sastra, sejarah, filsafat, seni) --bidang-bidang yang, kita tahu, tak pernah dianggap penting dalam skema pendidikan kita, dari tingkat dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Alih-alih cerita-cerita detektif, karya-karya sastra dunia, atau kegiatan kesenian yang penuh keceriaan dan melatih kepekaan, anak-anak kita tumbuh dengan narasi keagamaan serba serius, dengan lagak moralis yang angkuh.
Apakah kita masih akan heran, kalau suatu ketika anak-anak kita mengutuk para korban gempa sebagai "mereka yang pantas kena azab"? Boleh jadi, anak-anak itu juga kelak akan mengangkat Donald Trump versi Indonesia untuk memimpin negeri ini.
Di mana pun dan kapan pun, mengutuk atau menyalahkan korban selalu memalukan. Apalagi korban bencana alam. Adalah hak masing-masing untuk menganggap bencana alam sebagai --untuk mengutip kicauan Tifatul Sembiring tentang gempa Mentawai 2010 silam-- "kutukan Tuhan karena kekafiran mereka." Pun kalau benar demikian, dan Anda sungguh meyakininya, cukup katakan dalam hati saja, kemudian singsingkan lengan baju untuk membantu, sebab bantuan Anda jauh lebih penting daripada pengetahuan apakah gempa itu azab atau karena pergeseran dan tubrukan lempeng bumi.
Tepat pada saat seperti itulah demokrasi kita diuji, bukan hanya pada setiap pemilu. Beberapa warganet baru saja gagal menempuh ujian itu. Semoga kita, yang cukup mengerti apa artinya bela rasa bagi sesama yang sedang menderita, memiliki hati seluas samudra untuk merangkulnya.
Y. D. Anugrahbayu peminat filsafat
(mmu/mmu)











































