Dalam keputusasaan yang paripurna, saya melancarkan strategi lawasan zaman itu: pinjam tipe ex, alias cairan putih untuk mengoreksi salah tulis dengan bolpoin. Di sela tutupnya saya selipkan kertas dengan nomor-nomor soal yang tak bisa saya jawab, lalu saya kembalikan tipe ex tadi kepada pemiliknya, di bangku depan saya.
Setelah beberapa saat, tipe ex sakti itu pun kembali, lengkap dengan kertas kecilnya, lengkap dengan jawaban-jawabannya. Saya salin jawaban saya ke lembar kertas di hadapan saya, dan selesailah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ilustrasi kecil tersebut biasa saja, sebenarnya. Namun, menjadi agak menarik karena TKP-nya adalah SMP tempat saya bersekolah dulu, salah satu SMP sangat favorit di sebuah kota yang konon berpredikat Kota Pendidikan: Yogyakarta.
Saya menjalani sekolah dasar di Bantul, jauh dari kota. Ketika lulus SD, mendiang bapak saya bertekad memasukkan saya ke SMP Negeri yang favorit. Tak peduli berapa pun biayanya, yang penting saya mendapatkan pendidikan yang beliau yakini terbaik.
Di SMP favorit itu, saya tidak kunjung paham di sisi mana favoritnya. Yang tampak nyata hanyalah gedung yang megah, biaya masuk yang lebih tinggi ketimbang di sekolah-sekolah lain, paket buku pelajaran yang harus dibeli lengkap untuk satu tahun pelajaran, juga kain bahan baju seragam yang komplet plet plet. Tak heran, dari sisi besaran ongkos masuk, SMP saya yang negeri itu rasanya tidak kalah dengan SMP swasta.
Dengan biaya yang relatif lebih mahal, tak heran, mayoritas teman yang saya jumpai datang dari keluarga kaya. Bisa jadi karena mereka kaya lalu di rumah punya banyak fasilitas untuk belajar, kemudian jadi pintar, dan nilainya pun cukup untuk masuk ke SMP kami. Namun, bukan mustahil pula karena mereka kaya maka mereka berani masuk ke SMP kami, sebab yang tidak punya cukup biaya tentu akan berpikir dua-tiga kali.
Bapak saya bukan orang kaya. Beliau guru SMP juga, di SMP yang sangat tidak favorit. Namun, Bapak akan melakukan segalanya, semustahil apa pun, untuk pendidikan anak-anaknya.
Bisa jadi karena tekad kuat Bapak untuk memasukkan anaknya ke SMP favorit itulah, justru saya mengalami fase awal masa remaja yang suram dan penuh rasa rendah diri. Saya yang selalu dapat peringkat pertama atau kedua di SD tiba-tiba harus duduk ngesot di ranking bontot. Saya yang bisa bergaul santai dengan teman-teman kampung tiba-tiba harus tercebur ke pergaulan bersama anak-anak kota yang berpunya, yang membuat saya kadang ternganga karena semesta perbincangan yang tak saya pahami sepenuhnya.
Bagi seorang anak umur 12 tahun, ternyata itu sangat berat. Masih mendingan kalau memang metode pendidikan kualitas nomor wahid yang saya dapatkan. Nyatanya, bahkan menyontek pun dibiarkan.
Lalu, kenapa guru kami waktu itu membiarkan kami menyontek? Jawabannya, atau minimal hipotesisnya saya dapatkan setelah saya lulus SMA.
Begitu lulus SMP, kami berlomba masuk ke SMA terfavorit. Yang paling favorit waktu itu adalah SMA Taruna Nusantara, Magelang. Kemudian SMA A, lalu SMA B. Dengan beban psikologis seorang anak lulusan SMP sangat favorit, betapa menyakitkannya ketika ternyata saya gagal masuk ke ketiga sekolah itu. Perlu waktu yang lumayan lama untuk berdamai dengan diri sendiri sebab saya cuma diterima di SMA C, sebuah SMA yang sebenarnya masih lumayan favorit tapi bukan dua terpuncak.
Kita lompati cerita masa SMA yang terlalu indah itu. Tibalah masa kuliah. Di bangku universitas, ada satu hal yang membuat saya minder untuk kali ke sekian. Ternyata, kawan-kawan saya dari daerah-daerah lain pintar-pintar. Mereka sudah tahu ini-itu sejak SMA. Mereka membaca buku ini-itu sejak SMP. Apalagi anak-anak lulusan pesantren itu, mereka benar-benar membuat saya merasa tidak tahu apa-apa.
Lantas, saya mencoba menata teori tentang ini semua. Akar masalahnya ternyata sederhana: karena saya produk sekolah-sekolah favorit.
Karena sekolah saya favorit, guru-guru kami berjuang keras agar predikat favorit itu tidak lepas dari genggaman tangan. Caranya bermacam-macam. Di waktu SMP, sebagian di antara kami dibiarkan bertindak curang dalam ujian-ujian. Bayangkan, jika nilai kami jeblok, bisa jadi ranking sekolah kami turun. Jika ranking sekolah turun, predikat favorit bisa hilang. Jika predikat favorit hilang, mana mau para orangtua berbondong-bondong berebut tempat dengan biaya masuk yang begitu tinggi?
Di masa SMA, memang tidak ada lagi guru yang membiarkan kami menyontek. Apalagi saya sudah jadi aktivis Rohis yang meyakini bahwa menyontek itu haram (ehem). Namun, dinamika kehidupan kami terbentuk sesuai oerientasi sekolah kami: nilai, nilai, dan nilai.
Kami harus berangkat pukul enam pagi untuk mengikuti latihan tes, alias pendalaman materi. Begitu terus setiap hari. Sejak kelas dua, atau awal kelas tiga, segenap konsentrasi dan daya upaya dikerahkan menuju gol jauh di depan, yaitu bagaimana nilai Ebtanas kami melejit, dan bagaimana agar kami lolos semua ke perguruan tinggi negeri.
Dengan suasana kebatinan seperti itu, semua anak tertekan. Semua berjuang habis-habisan agar lolos UMPTN, Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Setelah pengumuman UMPTN tersebar, sekolah akan menyulap nama-nama kami yang berhasil menjadi angka-angka statistik kesuksesan sekolah, dan melupakan anak-anak yang gagal.
Maka, saya ingat, betapa sahabat saya Andyono ambruk bersimbah air mata ketika mengetahui namanya tidak ada di koran Kedaulatan Rakyat sebagai salah satu peserta UMPTN yang berjaya. Wajar saja dia menangis, karena memang tekanan peer group begitu berat. Adapun ketika di belakang hari anak itu justru paling sukses dan berlimpah harta dunia dibanding semua rekan seangkatannya, jelas tidak pernah diperhitungkan oleh guru-guru kami belasan tahun sebelumnya.
Lagi-lagi, alasannya jelas: hanya mereka yang lolos UMPTN yang akan mendongkrak nama sekolah, menjadikan sekolah tetap berpredikat favorit, dan menjadi kekuatan marketing yang dahsyat untuk menjaring siswa-siswa baru di tahun ajaran berikutnya. Simpel. Hukum pasar yang sangat simpel.
Maka, demikianlah. Pada bulan Ramadan lalu, di hadapan beberapa kawan pegiat Masjid Sudirman, Yogyakarta saya berkata:
"Kalian ini hebat, teman-teman. Dunia kreatif dan intelektual Yogyakarta selalu diramaikan oleh para pendatang. Saya orang asli kota ini, tapi saya sangat terlambat. Saya mengenal buku baru di tahun ketiga kuliah, padahal kalian akrab dengan bacaan sejak SMA. Di SMA, apalagi SMP, saya sama sekali tidak mengenal budaya membaca. Yang ada hanyalah budaya belajar dan belajar dan belajar mata pelajaran setiap hari, demi meraih nilai tinggi di ujian akhir, agar sekolah kami tetap bertahan dalam predikat sekolah-sekolah favorit."
Huff, kira-kira begitulah secuil gambaran nyata sekolah-sekolah favorit kita. Barangkali tidak cukup mewakili, namun dari situ Anda bisa sedikit memahami betapa amat mendesaknya penerapan sistem zonasi.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)