Memberi Sanksi Pidana pada Golput, Mungkinkah?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Memberi Sanksi Pidana pada Golput, Mungkinkah?

Selasa, 26 Jun 2018 14:48 WIB
M. Muchith
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Dok. detikcom
Jakarta -

Golput (golongan putih) diartikan sebagai sikap atau pilihan yang sengaja tidak memberikan hak suara dalam pemilu atau pilkada. Dalam perspektif sejarah, golput dimotori oleh Arief Budiman (dosen UKSW saat itu) yang dimaksudkan sebagai sikap politik terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru (rezim Soeharto) yang dinilai sangat otoriter, dan pemilu hanya sebagai kamuflase demokrasi. Artinya, memberikan suara atau tidak dalam pemilu hasilnya tidak akan ada pengaruhnya apa-apa untuk perbaikan kehidupan bangsa Indonesia.

Logika publik beranggapan bahwa golput jika dilakukan untuk dirinya sendiri tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum atau pidana pemilu, karena golput merupakan hak politik warga negara. Jika berusaha mempengaruhi atau mengajak orang lain agar tidak memberikan hak pilihnya bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum atau pidana pemilu. Mungkinkah seseorang atau kelompok yang golput bisa diberi sanksi pidana? Golput yang seperti apa yang masuk kategori pidana pemilu? Dan, apakah ada golput yang tidak bisa dijatuhi hukuman pidana pemilu?

Pasal tentang Golput

Sebenarnya istilah atau nomenklatur golput tidak dikenal dalam regulasi yang berkaitan dengan pemilu. Undang-undang Pemilu dan peraturan KPU juga tidak mengenal istilah golput. Yang dikenal adalah istilah mempengaruhi atau mengajak memilih atau tidak memilih peserta pemilu tertentu.

Pasal yang dapat diperumpamakan dengan golput tertera dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu khususnya Pasal 515, "Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan pasal tersebut, golput yang bisa dipidana, sekurang-kurangnya harus memenuhi 3 (tiga) unsur atau syarat yaitu; pertama, dilakukan pada saat hari pemungutan suara (hari pencoblosan). Kedua, dengan menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya. Ketiga, merusak surat suara sehingga menyebabkan surat suaranya tidak sah atau tidak bisa dihitung sebagai suara hasil pemilu.

Dalam konteks perundang-undangan, Pasal 515 tersebut termasuk pasal akumulatif yaitu tiga unsur yang ditentukan harus ada secara bersamaan dalam suatu kasus atau peristiwa. Artinya, pidana pemilu bisa disangkakan jika ketiga unsur tersebut benar-benar terpenuhi.

Golput yang seperti diatur dalam Pasal 515 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 sangat sulit ditemukan. Fenomena seperti dalam Pasal 515 esensinya bukan mempengaruhi atau mengajak untuk tidak memilih, justru mempengaruhi atau mengajak untuk memilih peserta pemilu tertentu. Melihat semangatnya, pasal ini sejatinya bukan direncanakan dan ditujukan kepada kelompok golput, tapi untuk seseorang atau kelompok yang melakukan politik uang (money politics) atau dalam istilah masyarakat umum disebut "serangan fajar".

Tipologi Golput

Tidak semua golput itu didasarkan pertimbangan rasional. Golput juga bisa terjadi disebabkan masalah teknis. Dalam realitas pemilu, setidaknya ada 3 (tiga) tipologi golput. Pertama, golput teknis administratif. Seorang atau kelompok tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara ( TPS) disebabkan namanya tidak atau belum tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap ( DPT).

Kedua, golput teknis akademis. Seorang atau kelompok tidak datang ke TPS karena yang bersangkutan tidak mengetahui makna atau manfaat pemilu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu dipahami hanya sebagai kepentingan elite politik saja, bukan kepentingan rakyat kecil.

Ketiga, golput rasional politik. Seseorang atau kelompok tidak bersedia datang ke TPS karena peserta atau kontestan pemilu dianggap tidak ada yang bisa memperjuangkan aspirasi rakyat. Para calon yang diusung dinilai atau yang ada tidak memiliki kualifiaksi, kredibilitas, dan akseptabilitas yang sesuai harapan rakyat.

Kesimpulannya, memberi sanksi pidana kepada seseorang atau kelompok yang memiliki sikap golput dari aspek regulasi ternyata sangat sulit bahkan dapat dikatakan tidak bisa. Karena unsur atau kriterianya sangat sulit ditemukan. Apalagi jika mengajak untuk tidak memilih (golput) kepada peserta pemilu tertentu dilakukan dengan cara-cara yang prosedural, rasional, dan berdasarkan argumen dan data yang valid, maka selama itu pula tidak akan bisa disangkakan atau dikenai pasal pidana pemilu.

Golput hanya bisa dihadapi dan diantisipasi dengan pendekatan persuasif dan kultural, yaitu dengan cara memberi pendidikan politik atau penyadaran agar seluruh rakyat Indonesia dengan sadar memberikan hak pilihnya dalam pemilu.

Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd Wakil Ketua Panwaslu Kudus 2003-2004, Sekretaris Tim Seleksi Anggota KPU Kudus 2008, dan Dosen IAIN Kudus

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads