Dalam kondisi norma dan etika luhur bangsa yang terkikis oleh budaya permisif dan submisif, rencana KPU tersebut patut diacungi jempol. Permisif perwujudan sikap yang cenderung membolehkan dan melumrahkan tindakan yang sebenarnya tercela seperti korupsi. Pada saat bersamaan, budaya permisif tersebut diperparah dengan menguatnya submisivitas di dalam diri masyarakat. Yakni, sikap pembiaran tanpa batas dirinya dihina dan dibohongi terang-terangan oleh penguasa (M.T Zen, 1998)
Artinya, tekad KPU untuk melarang mantan terpidana korupsi menjadi calon legislator menemukan titik urgensinya di tengah menguatnya budaya permisif dan submisif masyarakat kita. Hampir tidak pernah kita melihat para anggota dewan yang terciduk lembaga anti-rasuah tampil dengan gagah berani mengakui salah dan menunduk meminta maaf kepada masyarakat. Alih-alih, justru mereka mengumbar senyum. Sisi lain, mantan terpidana korupsi justru dipilih oleh masyarakat dan tidak jarang justru memenangkan pemilihan legislatif.
Kendati demikian, sikap dan tekad kuat KPU dalam melarang mantan koruptor tersebut datang terlambat. KPU justru mengabaikan pelarangan mantan koruptor ini di dalam pencalonan Gubernur, Walikota, dan Bupati pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018. Dalam PKPU No.3 tahun 2017, KPU dengan tegas tidak melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai calon Gubernur, Walikota, maupun Bupati. Pasal 4 ayat (1) huruf (h) hanya melarang pencalonan mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual saja.
Terkait dengan sikap berbeda KPU tersebut, ada beberapa catatan yang perlu kita buka kembali, mengkaji, dan renungkan bersama. Pertama, di dalam UU No.2/2018 tentang Perubahan Kedua UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditegaskan bahwa DPR hanya berfungsi melakukan legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Legislatif tidak memiliki kewenangan dalam penggunaan anggaran negara (APBN/APBD). Anggaran negara sepenuhnya kewenangan eksekutif, legislatif hanya terlibat dalam penyusunan dan pengawasan.
Kedua, setidaknya terdeteksi empat calon kepala daerah yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi dengan nilai korupsi puluhan miliar pada Pilkada 2015. Semantara, pada 2013 Indonesian Coruption Watch (ICW) pernah merilis 10 calon kepala daerah berstatus tersangka yang berujung vonis terpidana namun berhasil terpilih sebagai kepala daerah. Bahkan, dari sepuluh tersangka tersebut terdapat juga mantan terpidana korupsi.
Ketiga, teranyar pada Pilkada 2018, KPK memberikan kejutan dengan menciduk kurang lebih lima calon kepala daerah dengan kasus tindak pidana korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT). Kelima calon tersebut seluruhnya adalah calon kepala daerah incumbent yang disahkan oleh KPU. Namun demikian, dalam menyikapi kasus tersebut, KPU menolak menerbitkan Peraturan KPU terkait dengan calon kepala daerah yang berstatus tersangka.
Dari tiga catatan di atas, maka tekad KPU hanya melarang mantan koruptor menjadi legislator, tapi longgar dalam pencalonan kepala daerah dapat mengundang tanda tanya publik. Dalam pencalonan dewan, KPU tegas ingin memasukkan korupsi sebagai tindakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sebagaimana kejahatan narkoba dan kejahatan seksual, sehingga mantan terpidana korupsi dapat dilarang menjadi caleg. Tapi, di dalam pencalonan kepala daerah, KPU justru tidak memasukkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Sikap ambigu dan mendua KPU tersebut bisa menjadi pertanyaan besar sekaligus bisa menunjukkan di mata publik bahwa sebenarnya KPU tidak sungguh-sungguh ingin menyuguhkan pemimpin yang terbaik dan bebas dari korupsi kepada masyarakat sebagaimana yang selalu mereka utarakan. Kecuali, jika KPU dengan cepat merespons maraknya calon kepala daerah yang tertangkap KPK dengan mengeluarkan PKPU, misalnya. Namun, KPU justru lebih bereaksi ke pencalonan legislatif.
Ruang dan peluang terbesar korupsi itu bukan pada lembaga legislatif, melainkan lembaga eksekutif. Setiap tindakan korupsi yang melibatkan anggota legislatif hampir dipastikan selalu ada peran yang melibatkan eksekutif. Namun, tidak sebaliknya. Dibanding eksekutif, legislatif tidak bisa melakukan korupsi sendiri.
KPU tampaknya terlebih dahulu harus menunjukkan sikap objektif, adil, dan fair sebelum benar-benar mewujudkan niat baiknya menyuguhkan pemimpin berintegritas kepada rakyat tersebut. Selama sikap yang sama tidak ditunjukkan ke lembaga eksekutif, khususnya dalam merespons tertangkapnya calon-calon kepala daerah oleh KPK dalam Pilkada kali ini, maka KPU akan dipandang tidak benar sungguh-sungguh ingin menyuguhkan pemimpin bersih dan bebas korupsi sementara. Itulah alasan para politisi Senayan menuduh KPU hanya mengejar citra dengan melarang mantan koruptor untuk nyaleg.
Agus Hilman Direktur Pusat Ketahanan Demokrasi (Puked), Jakarta (mmu/mmu)