Dalam perjalanan sejarah Indonesia, gagasan revolusi mental tidak bisa dipisahkan dari Presiden Soekarno. Sebagai pencetus dan pengonsepnya, gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan Bung Karno pada 1957. Soekarno memandang saat itu revolusi nasional Indonesia sedang "mandek" padahal tujuan revolusi belum tercapai. Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek, yaitu penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional; pemimpin politik masa itu masih mengidap penyakit warisan kolonial seperti "hollands denken", atau gaya berpikir penjajah Belanda; dan, penyelewenangan di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Tahun 2014 merupakan tahun ketika revolusi mental menjadi jargon utama dalam kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Pada saat itu menurut Joko Widodo, reformasi yang terjadi selama ini hanya sebatas institusional. Oleh karena itu diusulkan perlu adanya revolusi mental dengan menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building yang lebih manusiawi. Wacana revolusi mental sebenarnya tersirat suatu keinginan untuk segera melakukan perubahan secara cepat dan radikal.
Namun, revolusi mental yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo belum dapat dirasakan nyata sebagai sebuah gerakan yang praktis dan implementatif. Padahal revolusi mental memiliki nilai strategis dan instrumental. Aspek strategis revolusi mental diarahkan untuk kedaulatan, daya saing, dan persatuan bangsa yang dilakukan secara kolektif melibatkan seluruh bangsa dengan memperkuat institusi pemerintahan dan pranata sosial budaya. Secara instrumental merupakan upaya bersama membangkitkan kesadaran bahwa Indonesia memiliki kekuatan besar untuk berprestasi tinggi, produktif, dan berpotensi menjadi bangsa maju dan modern.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengertian revolusi mental tersebut memang masih abstrak dan menggunakan kata-kata hiperbola sehingga memerlukan penjelasan dan langkah-langkah lebih lanjut, terutama operasionalisasi revolusi mental di masyarakat dan aparatur atau penyelenggara negara. Pada Desember 2016, Presiden mengeluarkan Inpres No. 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Gerakan ini dimaksudkan untuk memperbaiki dan membangun karakter bangsa yang mengacu kepada nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila.
Gerakan revolusi mental menurut Inpres tersebut meliputi lima program, yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, serta Gerakan Indonesia Bersatu.
Kondisi mentalitas bangsa Indonesia saat ini butuh perubahan, mengingat usia Indonesia di tahun ini akan memasuki 73 tahun. Semakin banyak persoalan yang dihadapi, mulai dari kasus konflik antarwarga dan kelompok masyarakat hingga gerakan separatis, korupsi yang marak hingga rendahnya daya saing bangsa, kemiskinan yang tinggi hingga kesenjangan, penyalahgunaan narkotika, serta berbagai persoalan lain yang tersebar di berbagai sektor. Oleh karena itu, peran ASN saat ini dituntut untuk dapat membuat suatu terobosan-terobosan yang baru, jelas, mudah diukur, konkret, dan dapat diaktualisasikan di setiap organisasi yang ditempatinya.
Revolusi mental juga dapat diartikan sebagai pembentukan jati diri aparatur serta keadaan/lingkungan kerja positif yang memiliki persyaratan tertentu sehingga dapat mendorong terbentuknya kebijakan-kebijakan perubahan dalam konteks nilai integritas, nilai etos kerja, dan juga nilai gotong-royong. Atau, dengan arti lain, implementasi kebijakan dalam nilai-nilai revolusi mental tersebut dapat tercapai secara optimal jika pemerintah mampu menghubungkan dan menciptakan hubungan yang selaras antara jati diri ASN dan syarat-syarat positif dalam bingkai nilai-nilai agama.
Mewujudkan revolusi mental memang tidak semudah membalikkan telapak tangan saja; sebaiknya didahului oleh persyaratan awal, yaitu tentang pemahaman akan jati diri ASN sebagai abdi negara yang memiliki keinginan dan kepuasan untuk berbuat dan melayani yang terbaik bagi masyarakat. Di samping itu juga merasa bahwa kehadirannya dalam melaksanakan tugas sangat dibutuhkan, merasa penting dalam organisasi, dihargai dan menghargai publik yang dilayani. Tidak pandang kasta, berempati, berupaya menolong, bersahabat merupakan citra diri aparatur yang diharapkan dapat terus dipahamkan kepada seluruh ASN.
Menjadi seorang pelayan masyarakat adalah tugas mulia, sehingga segala keterbatasan yang dihadapi tidak membatasi kiprah diri ASN untuk bersemangat memberikan pelayanan yang optimal. Syarat selanjutnya yang dibutuhkan agar aktualisasi revolusi mental dapat berjalan dengan baik dan optimal adalah dengan ketersediaan dukungan yang positif, yang meliputi: (a) Apresiasi terhadap pencapaian pegawai, meyakinkan pegawai akan apresiasi atas setiap pencapaian kinerja, saling memampukan, mendorong pengembangan pegawai, serta bersama-sama terus mengembangkan kapasitas diri untuk berinovasi.
(b) Dukungan simbolisasi, pembuatan standar pelayanan, pemasangan spanduk, motto, banner, pin, logo, yel-yel, kebersamaan antara pegawai, dll juga penting dilakukan untuk menciptakan situasi/semangat yang positif. (c) Lingkungan kerja produktif merupakan dukungan untuk menciptakan lingkungan kerja yang saling mendukung antarlini, organisasi yang mendorong terobosan, kreativitas dan inovasi, hubungan atasan-bawahan yang non-birokratis serta terbuka. (d) Organisasi yang harmonis dengan publik, pengambilan kebijakan yang public-based, menuntaskan keluhan publik, serta melibatkan publik dalam menjaga kinerja birokrasi.
Jika seluruh syarat tersebut dapat berjalan dengan baik, maka dapat dipastikan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang terkait dengan peningkatan integritas aparatur, peningkatan etos kerja aparatur, dan peningkatan semangat gotong-royong aparatur akan dengan mudah dapat diaktualisasi secara nyata, terinternalisasi, dan berkelanjutan. Sehingga pada akhirnya peningkatan performa pelayanan publik dan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan akan dapat dicapai secara optimal.
Melihat aspek yang lain, revolusi mental pada dasarnya tidak hanya dibebankan kepada birokrasi sepenuhnya, namun masyarakat juga perlu melakukan revolusi mental untuk menciptakan kondisi yang harmonis dan selaras secara bersama-sama dengan birokrasi. Masyarakat perlu menunjukkan semangat positifnya dalam menunjang birokrasi yang secara umum dapat dicirikan pada masyarakat yang taat pada aturan, disiplin, berkontribusi nyata dan aktif dalam kegiatan pemerintah, serta kritis dalam menilai kinerja pemerintah. Dengan begitu, pada akhirnya kebijakan revolusi mental secara keseluruhan akan melahirkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan daerah secara signifikan.
Kemal Hidayah peneliti PKP2A III Lembaga Administrasi Negara