Ya, meskipun pada akhirnya upaya HTI untuk membatalkan SK pembubaran itu kandas di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Senin (7/5/2018). Pasalnya, Majelis hakim menganggap SK tersebut sah karena HTI terbukti melakukan upaya mendirikan negara khilafah.
Terang saja, menyikapi hal itu ada yang kontra dan tentu tidak sedikit juga yang mendukung putusan sang pengadil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu eks Jubir HTI Ismail Yusanto juga mengecam putusan tersebut, dan menyebutnya sebagai sebuah kezaliman. "Kita lihat ini sebuah rezim kezaliman, ini rezim yang menindas, rezim anti-Islam," kecamnya.
Sementara, Prof. Nadirsyah Hosen, dalam akun Twitter-nya @na_dirs mengatakan bahwa upaya HTI dalam mengajukan banding itu sesungguhnya tidak sesuai dengan doktrin dan ajaran mereka sendiri yang tidak mengakui sistem banding dalam peradilan. Sejak awal HTI anti dengan UUD 1945 dan Pancasila serta sistem demokrasi, tapi ketika dibubarkan malah menggugat ke pengadilan yang berdiri atas dasar UUD '45.
Dengan kata lain, inkonsistensi HTI yang konon hendak menegakkan sistem pemerintahan teokratis itu sangat kentara. Oleh karenanya, saya kira sangat masuk akal jika Prof. Nadir kemudian menyebut HTI seperti menjilat ludah mereka sendiri.
Kendati demikian, diakui maupun tidak diakui, apa yang menjadi kampanye HTI selama ini memiliki justifikasi historis yang saya kira cukup memorable. Selain karena memang klaim teologi nostalgia zaman keemasan Islam, polemik sistem penyelenggaraan negara berbasis agama (Islam) di negeri ini senyatanya telah ada sejak, bahkan sebelum Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Dalam catatan Howard M. Federspiel (1996) misalnya, ia menyebut bahwa pada permulaan abad ke-20 terdapat setidaknya tiga kelompok besar yang turut mewarnai dinamika kemerdekaan negeri ini. Pertama, nasionalisme Indonesia yang oleh para pendukung terdahulunya dianggap berakar pada sejarah dan nilai-nilai tradisional Jawa. Kelompok ini memandang bahwa perlu dikesampingkan identitas agama sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam kegiatan kaum nasionalis.
Kedua, kelompok yang memperkenalkan dirinya dengan identitas Islam, dan mempertahankan gagasan bahwa sistem politik baru tersebut harus didasarkan atas prinsip-prinsip agama. Kelompok kedua ini kemudian dikenal dengan nama Sarekat Islam (SI) yang saat itu menjadi wadah utama para tokoh yang memiliki kesamaan frekuensi pandangan.
Sementara, kelompok ketiga menekankan konsep-konsep persamaan derajat, sebagai respons atas aktivitas kaum sosialis di Eropa dan menghubungkannya dengan beberapa trade mark komunisme dan sosialisme. Tan Malaka menjadi representasi dari kelompok ketiga ini, baik dari posisinya sebagai seorang "buangan", atau pun seorang yang berada pada klandestin kegiatan politik Indonesia waktu itu.
Persaingan antara ketiga kelompok tersebut sangatlah tajam, bahkan sesama anggota organisasi. Sehingga turut mempengaruhi perkembangan politik pada masa itu sampai puncaknya mengantarkan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaannya.
Ada beberapa alasan mengapa muncul tuntutan penerapan syariat Islam secara legal formal. Antara lain dari alasan itu, yang terpenting adalah adanya anggapan bahwa Islam merupakan agama sempurna yang meliputi semua cara hidup secara total.
Menurut Ahmad Syafi'i Ma'arif (2009), maraknya fenomena di atas disebabkan salah satunya oleh kegagalan negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Korupsi yang masih dan bahkan semakin menggurita merupakan bukti nyata kegagalan ini.
Namun, bagi Buya Syafi'i, karena latar belakang pengetahuan kelompok tersebut sangat dangkal tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan, yakni dengan melaksanakan syariat Islam melalui kekuasaan.
Maka dari itu, Islam harus dijadikan sebagai satu-satunya rujukan dalam memecahkan berbagai permasalahan bangsa. Hal ini dapat kita temui, misalnya, dalam slogan yang lahir dari sejumlah ormas dengan retorika seperti: "selamatkan Indonesia dengan syariah" a la HTI, atau "penegakan syariah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa" bagi Majelis Mujahidin Indonesi (MMI), dan "krisis multidimensi akan berakhir dengan diberlakukannya syariat Islam"-nya FPI, serta "Islam adalah solusi" oleh PKS.
Mengutip KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam, bahwa kelompok-kelompok di atas itu merupakan representasi al-nafs al-lawwΔmah (jiwa yang tegang) yang bermunculan menjelang dan setelah berakhirnya rezim Orde Baru. Mereka ini mengingatkan pada sejarah bangsa Indonesia tentang gerakan Darul Islam (DI) yang juga berusaha mengubah negara bangsa menjadi negara agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan Islam versi mereka, atau bahkan menghilangkan NKRI dan menggantinya dengan Khilafah Islamiyah.
Pada gilirannya, lanjut Gus Dur, kelompok-kelompok tersebut secara tidak sadar justru telah mengubah Islam dari agama menjadi sebuah ideologi. Ini tentu berbahaya. Sebab, konsekuensi dari orientasi ini pada saatnya akan menjadikan Islam sebagai dalih dan senjata politik untuk mendiskreditkan serta menyerang siapa saja yang berbeda pandangan politik maupun keagamaannya dari mereka.
Akhirnya, jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangatlah ampuh karena siapa pun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam.
Yang mengerikan, fenomena salah-menyalahkan, sesat-menyesatkan, kafir-mengafirkan menjadi hal biasa. Apalagi di ranah jagad maya yang penuh kebebasan. Fitnah, ujaran kebencian, provokasi memusuhi seakan terfasilitasi, dan menjadi konsumsi sehari-hari.
Sungguh, pada titik inilah nalar keislaman kita akhirnya menjadi terasingkan dari petuah adiluhung rahmatan lil 'alamin. Kasih untuk semesta. Bukan politik devide et impera.
Anwar Kurniawan alumnus STAI Sunan Pandanaran, aktif di komunitas Santri Gus Dur Jogja
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini