Marlina tidak berjilbab dan mungkin sudah tak ingat salat, tapi ia selamanya adalah seorang kawan yang tak perlu pertimbangan hakim-hakim moralitas untuk tetap menjadi kawan. Mengapa ada banyak orang yang kini gemar menjustifikasi nasib akhirat orang lain yang bahkan asing dan jauh? Bagaimana ia memberi permakluman dan menerima segala kekurangan manusia terdekat dalam kehidupannya, seperti keluarga dan kawan-kawan?
Dahulu kami adalah lima orang anak usia Sekolah Dasar yang selalu datang ke mesjid kampung paling awal. Azan belum berkumandang tapi kami telah membariskan sajadah kami pada saf paling belakang. Kami lalu bermain aneka rupa permainan tradisional di halaman mesjid hingga keringat bercucuran, lalu pergi membeli minuman dingin di warung belakang mesjid. Penjual aneka jajanan sederhana itu seorang janda Kristen, tetapi kami yang kanak-kanak tentu saja tak sempat memikirkan keyakinan orang lain. Ia adalah seorang ibu yang ramah dan suka memberi bonus kerupuk pasir dengan sambal pedas yang berasal dari ketela rebus. Selebihnya, kami suka sembunyi di dalam rumahnya ketika bermain delikan alias petak umpet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Islam Nusantara adalah Islam yang berbunga-bunga (flowery Islam), begitu kata Prof. Azyumardi Azra. Begitulah otentisitas kami sebagai anak-anak Indonesia menjalani Islam dalam realitas keberagaman, geografis, dan sosial budaya. Islam telah menjadi pandangan hidup yang membentuk identitas kedirian dalam bingkai keluarga serta interaksi masyarakat yang khas. Islam adalah tradisi pergaulan sehari-hari yang sangat halus sifatnya. Ia membaur tanpa perlu simbol-simbol.
Pengetahuan tentang fikih, serangkaian sistem yurisprudensi klasik Islam, yang hari ini sering dipadankan dengan syariat dan terkesan sebagai sebuah bangunan kokoh yang penuh batas sekaligus penuh hukuman itu, datang dengan cara yang luwes sebagai etika sosial. Anak-anak tak pernah berpikir bertanya latar belakang keluarga teman, yang mencakup etnisitas atau agama. Fikih kemasyarakatan membuat orangtua cukup menyampaikan bahwa anak-anak harus berkawan dengan semua orang dan tolong menolong dalam kebaikan.
Maka, cukup mengagetkan ketika akhir-akhir ini lewat pelantang mesjid, terdengar anak-anak yang mengaji setiap sore meneriakkan jargon "Islam-Islam Yes, Kafir-Kafir No!" atau ketika anak-anak telah pandai menghukumi sesuatu hal sebagai dosa dan neraka. Mengapa tokoh yang dipandang otoritatif dalam agama, hari ini mengajari anak untuk mengeksklusi banyak hal di luar dirinya?
Agama, pada masa kanak-kanak kami adalah sesuatu yang disampaikan dengan penalaran inklusif. Agama masuk dalam ubun-ubun kami sebagai nilai yang mempermudah kehidupan. Segala yang ada di sekitar adalah tajalli, manifestasi Tuhan yang sedang berbicara lewat makhluknya. Agama semacam itu yang membuat Marlina tetap menjadi teman masa kanak-kanak yang tidak turun nilainya, meski kami bertumbuh kembang dengan proses dan nasib yang berbeda.
Kelak, aku menjumpai pemikiran emas itu pada sosok Kiai Sahal Mahfudh. Ia seorang pemikir fikih ushuli, yang dalam buku Fiqh Sosial memaparkan soal hifz al din (perlindungan atas keyakinan), hifzh al nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al aql (perlindungan atas akal, hak berpikir, dan berekspresi), hifz al nasl (perlindungan atas hak reproduksi), dan hifzh al maal (perlindungan atas hak milik).
Bagi Kiai Sahal, fikih penting membuka diri atas problematika hidup dan kehidupan yang terus berubah, sebagaimana mazhab-mazhab fikih Islam sesungguhnya hanyalah refleksi atas perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Fikih yang tidak punya ijtihad untuk harmoni hidup berbangsa sesungguhnya menurunkan derajat Allah dan sunah Rasul sebagai sumber hukum yang sepenuhnya universal.
Pada pembukaan Halaqah Keluarga Maslahah NU di Jakarta, Jumat (27/4) hari ini Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan pentingnya penanaman cinta Tanah Air pada masing-masing keluarga, sebagai elemen paling kecil namun sekaligus paling vital bagi sebuah bangsa. Sebuah masukan penting, sebab sebagian pandangan keyakinan beragama yang ekstrem hari ini mengajarkan untuk meninggalkan orang-orang terdekat demi hasrat perang. Pandangan yang memimpikan terwujudnya sebuah peradaban yang katanya sempurna, tapi mungkinkah jika dicapai dengan menghancurkan dan mencerai-beraikan manusianya?
Betapa rindu saya pada masa kanak-kanak yang penuh tawa. Andai orang dewasa bisa selalu beragama seperti anak-anak, membebaskan perasaan dari curiga dan sakit hati.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)











































