Sampai saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap bersikeras ingin memberlakukan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi Calon Legislatif (Caleg) yang akan diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Menurut KPU, mantan napi korupsi tidak layak menduduki jabatan publik karena telah berkhianat terhadap jabatan sebelumnya. Sikap KPU ini dalam perkembangannya menimbulkan polemik. Hampir semua partai politik menolak wacana ini, dan menganggap bahwa KPU menyalahi Undang-Undang.
Selain itu, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga tidak setuju dengan wacana tersebut. Komisioner Bawaslu Fritz Edwar Siregar mengatakan bahwa mantan napi korupsi tetap punya hak yang sama untuk dipilih dalam kontestasi demokrasi selama hak politiknya tidak dicabut pengadilan. Sedangkan Ketua DKPP Harjono mengingatkan kepada KPU agar tidak gegabah membuat peraturan. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menganulir larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai peserta pemilu.
Polemik
Menyikapi polemik tersebut, saya menilai bahwa apa yang dilakukan KPU merupakan inisiatif yang positif sebagai upaya untuk melahirkan wakil rakyat yang bersih, jujur, dan amanah. Namun di sisi lain KPU harus hati-hati dalam membuat PKPU. Perdebatan terkait apakah larangan menjadi caleg bagi mantan napi korupsi ini setidaknya harus didasarkan pada dua hal, yaitu legalitas dan prinsip pemilu yang demokratis karena hal ini berkaitan dengan hak asasi warga negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Klausul itulah yang kemudian diadopsi dalam Pasal 240 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut mengatur bahwa seorang mantan terpidana yang dipidana lima tahun penjara tetap bisa mendaftar sebagai caleg selama ia mengumumkan kepada publik terkait statusnya sebagai mantan terpidana.
Kedua, dalam prinsip pemilu demokratis, harus dijamin bahwa warga negara mempunyai hak untuk memilih (right to be vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate). Apabila hak pilih memang mau dibatasi terdapat prinsip bahwa peniadaan hak pilih itu hanya karena pertimbangan ketidakcakapan misalnya karena faktor usia (masih di bawah usia) dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan dua hal di atas, apakah masih terdapat peluang melarang mantan napi korupsi untuk menjadi caleg? Bukankah semuanya menginginkan wakil rakyat yang bersih dan berintegritas?
Dua Solusi
Dari sisi legalitas, kalau memang katakanlah mau dilarang maka bukan melalui PKPU. Sifat PKPU adalah aturan pelaksana (untuk melaksanakan UU). Kalau UU Pemilu tidak melarang, maka PKPU sebagai aturan pelaksananya juga tidak dapat melarang. UU Pemilu saat ini masih bersifat umum, dan memang tidak ada larangan terkait mantan napi dalam kasus apa yang boleh menjadi caleg. Dari hal tersebut, solusi yang tepat adalah revisi UU Pemilu untuk mengatur secara khusus terkait larangan mantan napi kasus korupsi dengan pertimbangan bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa.
Larangan tersebut tidak akan menegasi prinsip HAM, karena pada dasarnya HAM sendiri dapat dibatasi sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Klausul larangan tersebut dapat dibandingkan dengan syarat menjadi capres dan cawapres. Pasal 169 huruf d UU Pemilu mengatur salah satu persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden ialah tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Jika menjadi presiden dan wapres syaratnya tidak pernah korupsi, seharusnya menjadi wakil rakyat juga harus yang tidak pernah korupsi. Apalagi keduanya juga dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Dari prinsip pemilu yang demokratis, bahwa lahirnya wakil rakyat yang berkualitas, dan memiliki integritas moral merupakan prasyarat penting. Hal tersebut tentu harus diupayakan. Caranya mendesak parpol untuk menyediakan caleg yang berkualitas. Hal ini dapat diatur dalam aturan internal parpol untuk menggaransi caleg yang akan bertarung di Pemilu 2019. Penggaransian ini dimaksudkan agar wakil-wakil rakyat yang kelak akan duduk di parlemen benar-benar mempunyai kapabilitas dan integritas.
Pengaturan semacam itu dapat dirumuskan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga (AD/ART) partai. Hal ini mendesak untuk dilakukan karena parpol merupakan satu-satunya kendaraan bagi masyarakat untuk memilih wakil rakyat di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota pada pesta demokrasi nasional tahun depan.
Dua solusi di atas dapat dipertimbangkan sebagai upaya untuk mewujudkan pemilu yang akuntabel dan demokratis. Masyarakat sangat berharap akan lahirnya pemimpin yang bersih, kompeten, dan tidak tersandera masalah hukum.
Allan Fatchan Gani Wardhana, SH, MH peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia & LPBH NU DIY