Dalam kacamata sang kandidat, melawan kotak kosong adalah sebuah indikasi ketangguhan yang berlebihan, sampai tak ada yang bernyali untuk bersaing dalam kontestasi. Padahal, Pilkada adalah salah satu mekanisme demokrasi yang sudah sedemikian rupa didesain agar semua pihak berkesempatan untuk ikut bertanding. Kemudian pertanyaannya, apakah demokrasi di tingkat lokal di mana Pilkada ternyata hanya mampu melahirkan satu pasangan calon dianggap gagal? Boleh jadi demikian.
Tapi, apakah perlu kita menyalahkan demokrasi? Toh selama ini demokrasilah yang kita jadikan justifikasi untuk menumbangkan segala rezim yang aneh-aneh. Demokrasi kita jadikan peluru-peluru untuk menyalahkan dan membenarkan banyak pihak. Dan, demokrasi pula yang kita jadikan landasan untuk menjalankan Pilkada tersebut. Jadi, agak kurang etis jika kita salahkan. Jika masih tetap bersemangat untuk mencari yang salah, maka sebaiknya salahkan saja kotak kosong tersebut, sepaket dengan lawan dan partai-partai yang mendukungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat saja, beberapa hari lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memastikan Pilkada 2018 di 19 daerah hanya akan diikuti satu pasang calon atau calon tunggal. Jumlah calon tunggal lawan kotak kosong pada Pilkada tahun ini meningkat dari Pilkada 2017. Pada tahun lalu, dari 101 daerah yang menggelar pilkada, hanya ada sembilan daerah yang diikuti satu pasangan calon. Memang, dapat dipahami mengapa terjadi peningkatan. Salah satunya karena jumlah daerah yang mengadakan pun jauh lebih banyak dibanding dua pilkada serentak sebelumnya.
Lantas apa kira-kira yang dirasakan oleh pasangan calon yang ternyata harus berhadapan dengan kotak kosong? Pertama, pastilah bahagia karena kemenangan langsung ada di depan mata. Tidak perlu banyak pengorbanan politik lagi, terutama logistik. Kedua adalah bangga. Merasa tak tertandingi. Merasa sebagai the only king in the town. Sebenarnya lucu juga, dalam sebuah mekanisme demokrasi justru yang lahir adalah calon raja.
Tak ada yang berani menyemplungkan diri untuk bertanding dengan mereka karena yang dilawan adalah raja, alias yang merajai daerah tersebut. Bedanya tipis saja, dalam kerajaan tak mengenal wakil raja. Tapi, di dalam demokrasi elektoral lokal, kandidat raja sepaket dengan wakilnya. Dan, jangan-jangan semua inkubator kepemimpinan di daerah tersebut diketuai oleh mereka pula. Atau, setidaknya, kandidat tunggal tersebut satu-satunya patron politik untuk semua pemimpin organisasi-organisasi (inkubator kepemimpinan) di daerah tersebut. Ini baru sekedar asumsi saya alias sekedar "jangan-jangan" saja. Semoga tidak.
Dan, yang ketiga...ya, semestinya ada jenis perasaan ketiga yang dirasakan oleh kandidat yang akan berhadapan dengan kota kosong, yakni malu. Kata yang saya asumsikan di awal tulisan ini. Mengapa? Karena pertandingan yang seru adalah pertandingan yang dilakoni oleh dua atau beberapa pihak dengan kapasitas kemampuan yang hampir sama (level playing field). Ibarat memakai logika komparatif, harus apple to apple.
Nah, lantas jika kandidat di 19 daerah tersebut harus melawan kotak kosong, maka dalam logika komparatif di atas, sang kandidat pun sebenarnya berbeda tipis dengan kotak kosong yang menjadi lawannya. Atau, jika mau sedikit menyopankan bahasanya, maka bisa dimaknai kotak kosong selevel dengan para kandidat di 19 daerah tadi.
Tampaknya secara logika boleh jadi tak terlalu salah, sekalipun saya hakul yakin tak ada satu pun dari kandidat di 19 daerah tersebut bersedia mengamininya. Tapi, ya begitulah. Secara logika komparatif, pemenangnya sebenarnya adalah kotak kosong itu sendiri. Pasalnya, sekalipun sebenarnya pemenangnya secara meyakinkan adalah pasangan tunggal tersebut, toh level lawannya hanya kotak kosong. Jadi ya sama sajalah.
Jannus TH Siahaan Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini