Tetapi dalam konteks saya sebagai orang Sunda, eksplisitas dikotomi tersebut tidak selalu terjadi. Dalam banyak hal, saya melihat dan mengamati adanya irisan identitas di antara NU dan FPI. Dalam pada itu, saya harus membantah bahwa FPI 'dibentuk' dan dipengaruhi oleh, terutama, Salafi Wahabi. Walau memang, Habib Rizieq sebagai imam besarnya adalah jebolan kampus di Saudi Arabia sana. Pertimbangan saya terletak, terutama, pada beberapa ritual peribadatan FPI yang sebangun dengan ritual peribadatan di kalangan NU βwabil khusus NU kultural. Misalnya, tradisi pembacaan ratiban, marhaba, ziarah, dan tradisi penghormatan pada ahlul bait βpara habib.
Dengan kesamaan demikian, saya tiba pada kesimpulan bahwa jangan-jangan irisan identitas NU-FPI ini mirip dengan irisan Muhammadiyah-PKS. Dugaan saya semakin terbukti ketika saya pulang ke Indonesia, dan lazim menemui santri-santri di ponpes yang secara kultur NU, tetapi mahabbah terhadap pergerakan FPI; mahabbah terhadap Habib Rizieq. Lebih menarik lagi, fenomena tersebut bahkan terjadi di keluarga saya sendiri, di keluarga besar pondok pesantren yang diwariskan kepada kami sejak 1894. Dalam suatu kesempatan perayaan haul kakek buyut kami, kiai yang mengisi sesi mauidhah hasanah, alumni ponpes kami berkata bahwa dia adalah "NU yang paling FPI", dan "FPI yang paling NU".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian, terlepas dari itu semua, faktor-faktor apa sajakah kira-kira yang menyebabkan dualisme keanggotaan model demikian? Padahal, harakah NU dan FPI jauh berbeda. NU haqqul yaqin dengan pendekatan tawassuth, tawazun, tassammuh, i'tidal, dan amar makruf nahi mungkar-nya. Di sisi lain, pendekatan-pendekatan tersebut bagi FPI amat terlalu lunak dan berpotensi meruntuhkan marwah Islamβyang, sebagaimana mereka yakini, sedang dihancurkan pemimpin zalim anti-Islam dan negara-negara kafir. Lalu, apa sebab yang menyebabkan dua kutub ideologi yang berbeda itu dapat muncul, menguat, dan diakomodasi dalam diri seorang Muslim?
Hipotesis pertama yang saya tawarkan: tidak semua yang secara kultur 'adalah NU' merasa diri mereka terafiliasi, dan/atau adalah bagian, dari NU sebagai organisasi, sebagai jam'iyyah dan bukan sekadar jamaah. Akibatnya, mereka merasa tidak ada masalah dengan ikut mendukung dan berkhidmat terhadap FPI. Saya misalnya, baru menyadari bahwa saya 'NU' lepas umur 20 tahunan lebih. Sebelumnya, NU sama sekali asing bagi saya kendati secara amal ubudiah saya ini NU sejak lahirβdan nyaman dengan itu. Ketika menjadi pengurus PCINU UK, saya merasa seperti anak hilang yang sedang berusaha mengenali (kembali) orangtua dan rumahnya. Pertanyaannya kemudian: berapa banyak orang-orang semisal ini di luar sana?
Tentu, penelitian menyeluruh perlu dilakukan. Tetapi, sebelum itu, saya ingin mengajukan hipotesis kedua, yaitu bahwa, taruhlah, mereka yang secara kultur 'adalah NU' ini merasa bagian dari jamiyyah NU, tetapi mereka bisa jadi sama sekali atau setengah mengerti akan harakat dan filsafat organisasi yang mereka ikuti tersebut. Konsekuensinya, program dan kampanye pengurus NU kadang tidak mendapat dukungan yang cukup dari mereka yang kultural, terlebih jika kemudian program dan kampanye itu 'disituasikan' atau di-frame di media sebagai "kontroversial". Misalnya, kampanye Islam Nusantara yang bahkan urgensi dan instrumentalitasnya diragukan beberapa kiai 'NU' dan dianggap sebagai agenda kaum liberal yang menyusup ke tubuh organisasi Islam terbesar tersebut.
Terkait dengan ini, yang menyebabkan dualisme keanggotaan itu boleh jadi adalah sifat pergerakan FPI yang cenderung amat mudah dipahami dan diikuti, sedangkan siyasah NU kadang tidak terlalu definitif dan eksplisit. Hipotesis ini saya lihat dari perdebatan ihwal Ahok yang terjadi pada saat pelatihan bahstul masail PCNU Cianjur di Cipanas. Dengan 'kepolosan' FPI inilah, kemudian, FPI menjadi menarik bagi kalangan awam, yang kasarnya, lebih peduli pada ekspresi patriotisme Islam, ketimbang filsafat ala mantiq dengan pendekatan ilmu balaghah yang 'berat'.
Konsekuensi dari hipotesis-hipotesis di atas, jika benar, adalah: pertama, boleh jadi jumlah NU ternyata lebih sedikit daripada yang diklaimkan. Kedua, kerentanan inflitrasi yang semakin dalam dari FPI, yang nantinya akan 'melemahkan' pola gerak dan strategi NU. Kesemua itu, boleh jadi, juga turut diperparah dengan kurang tersampaikannya standpoint harakah NU kepada mereka di tataran grassroot. Jika demikian halnya, maka pertama, NU perlu mendorong tersampaikannya visi, misi, program, dan amanat muktamar hingga ke kantong-kantong terkecil baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks ini saya menyambut gembira itikad NU membuat Majelis Kaderisasi Nahdlatul Ulama.
Kedua, NU perlu membangun komunikasi dan konsolidasi dengan mereka yang kultural. Setidak-tidaknya membangun kesadaran dan rasa memiliki terhadap NU sebagai jamiyyah lengkap dengan jihadnya. Dengan demikian, kampanye dakwah NU akan mendapatkan lebih banyak dukungan dan sokongan. Tentu saja ini akan butuh waktu yang lama, effort yang besar, dan biaya yang tidak sedikit mengingat besarnya NU itu sendiri. Tetapi setiap ikhtiar perlu dicoba.
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, lulusan University College London, associate researcher pada Akar Rumput Strategic Consulting
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini