Korupsi dan Simulakra Setya Novanto
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Korupsi dan Simulakra Setya Novanto

Rabu, 04 Okt 2017 12:05 WIB
Supriyadi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom
Jakarta - Perkara hukum di Indonesia yang pengusutan dan penyelesaiannya paling pelik adalah kasus korupsi. Bahkan, setiap media massa, baik cetak maupun internet, pun menayangkan berita kasus korupsi dalam headline news hampir setiap hari. Dengan demikian, korupsi di Indonesia ini menjadi sebuah virus yang membuat bangsa ini menjadi bangsa pesakitan.

Lembaga penegak hukum pun selalu butuh waktu lama untuk menyelesaikannya, bahkan ada yang tidak selesai dan kasusnya menguap begitu saja ketika ada pengalihan isu. Dengan demikian, wajar saja jika kasus-kasus korupsi tersebut selalu menjadi hal baru tetapi lama. Maksudnya, setiap waktu bisa memunculkan kasus korupsi baru sementara perilaku korup telah menjadi tradisi turun-temurun semenjak lama.

Kasus korupsi di Indonesia ini seolah tidak ada habisnya. Mulai dari era Orde Baru, Reformasi, hingga sekarang ini korupsi menjadi hantu yang terus membayangi. Mental para koruptor yang selalu berbelit dan licin dalam kasus hukum pun mempersulit penyelesaiannya. Bukannya selesai, namun justru berbuntut hingga panjang kasusnya. Saking panjangnya malah sampai tidak selesai pengusutannya. Korupsi adalah virus, sementara vaksin (baca: KPK) justru diperlemah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti Skenario

Sebut saja kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menyeret beberapa oknum politik. Setya Novanto adalah yang paling panas beritanya karena justru dia mampu "mengalahkan" KPK dalam sidang praperadilan yang dipimpin oleh Hakim Cepi Iskandar. Kasus tersebut perlu dicermati lebih teliti karena hal itu merupakan kecacatan hukum di Indonesia dan merupakan lemahnya karakter moral para elite politik dan penegak hukum.

KPK seperti singa lesu yang tak punya nafsu makan. Belum lagi pansus KPK yang dilakukan oleh DPR yang memperparah kondisi sang singa. Publik pun hanya menduga bahwa ada politisasi hukum yang membuat para koruptor terhindar dari kejaran singa. Kasus-kasus hukum โ€”terutama korupsiโ€” yang telah dipolitisasi tersebut layaknya skenario atau cerita yang dari awal telah ditulis dan disengaja untuk diperankan.

Jean Baudrillard pernah menyatakan bahwa kehidupan yang seperti simulasi ini sulit dibedakan mana yang realitas dan mana yang skenario atau simulasi. Dalam hal ini, Baudrillard menyebutnya simulakra. Dan, simulakra tersebut juga terjadi pada berbagai kasus hukum di Indonesia ini, terutama realitas berbelitnya pengusutan kasus korupsi.

Simulakra adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan dan menyatakan kerancuan perbedaan antara realitas dan simulasi. Hal itu sebagaimana kasus korupsi di negeri ini yang seolah telah diskenario sedemikian rupa oleh para mafia. Karena skenario tersebut, maka fakta dan realitas pun seperti layaknya simulasi. Seolah kasus hukum yang dijalankan tersebut menjadi samar.

Tradisi Turun-Temurun

Peliknya kasus korupsi yang melibatkan beberapa elite politik ini tentunya bisa dimaklumi adanya. Daya tarik untuk melakukan tindakan korup di negeri ini memang kuat. Orang baik sekali pun bisa saja tergoda untuk melakukan perbuatan korup karena memang berbagai kesempatan pun tercipta. Aneka proyek yang diselenggarakan negara menciptakan peluang korupsi bagi para tender, pelaku, dan pihak-pihak terkait. Yang terakhir adalah kasus hukum korupsi dalam pengadaan e-KTP.

Lahan korupsi seolah menjadi lahan basah yang sangat potensial. Sementara itu, mental para koruptor sangat tinggi hasratnya. Dengan demikian, tindakan korup ini pada gilirannya menjadi tradisi yang turun-temurun. Hingga pada struktur pemerintah yang paling kecil pun bisa dijumpai perilaku korup para pejabat. Dengan demikian, korupsi telah menjadi tradisi yang membudaya karena sistem demokrasi yang diselewengkan ini justru membuka kesempatan untuk korupsi.

Mental dan karakter orang-orang Indonesia, terutama para elite, yang amat lemah moral ini sungguh menjadi hal yang sangat disayangkan. Betapa mudahnya para elite politik mempermainkan uang rakyat dan negara sementara rakyat kecil menjadi jelas sebagai pihak korban yang tertindas. Korupsi menjadi kewajaran dan rahasia umum yang tampak sangat jelas sebagai keniscayaan.

Penguatan Religiusitas

Kelemahan moral tersebut hendaknya menjadi objek yang harus dibenahi. Sebuah kekuatan nyata untuk membenahinya adalah penguatan nilai-nilai religiusitas, yang dalam hal ini bersumber dari agama. Seharusnya, agama menjadi kritik sebagai antitesis dari realitas โ€”atau bahkan faktaโ€” korupsi yang telah menggejala di negeri ini. Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Zuly Qodir, bahwa agama harus bisa difungsikan sebagai kritik sosial.

Penyemaian nilai-nilai religiusitas ini perlu digencarkan dalam berbagai kesempatan. Semua agama yang ada di Indonesia; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu, tidak ada yang pernah mengajarkan korupsi. Sebagaimana tertera dalam kitab-kitab suci agama-agama tersebut, bahwa mencuri, merampas hak orang lain secara batil, dan mengambil sesuatu yang bukan miliknya merupakan perbuatan keji. Korupsi termasuk dalam kategori tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan korup merupakan larangan agama secara jelas.

Akan tetapi, sayangnya justru agama di negeri ini menjadi hal yang diprofanisasi oleh para elite politik. Mereka banyak yang berargumen dengan dalil-dalil agama untuk mengesahkan dan melegalkan suatu perbuatan. Tidak hanya itu, agama juga terkadang dijadikan topeng untuk menutupi kebusukan-kebusukan tindakan politik kotor yang melanggar hukum dan etika publik.

Hal itu sebagaimana penutupan kasus korupsi oleh sebagian oknum dengan menunjukkan simbol-simbol agama agar tidak tercitrakan sebagai pihak yang bersalah oleh publik. Realitas ini sangat disayangkan karena moralitas para elite politik benar-benar telah tergerus oleh hasrat dan nafsu untuk korupsi. Dengan demikian, sama saja seperti kasus korupsi, politisasi agama juga merupakan simulakra.

Supriyadi pengajar pada lembaga pendidikan dalam naungan Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads