Toh, Sukarno juga pada akhirnya terjebak dalam kebijakan demokrasi terpimpin. Ia sempat mengingkari vox populi, vox dei dengan menerbitkan dekrit nasionalis, agama dan komunis. Lalu, selembar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang keasliannya misterius hingga kini, membawa kita pada sebuah sejarah negara yang mampat. Genosida jutaan manusia, nominal korupsi tertinggi, penipuan simbol-simbol kebahasaan dan monopoli saluran informasi paling buruk dalam kisah pasca kemerdekaan. Soeharto meninggal tanpa sempat mempertanggungjawabkan dosa-dosanya di hadapan sidang pengadilan.
Pengalaman berpresidenkan jenderal militer yang bagai mimpi buruk itu kemudian dibalas dengan tiga babak pergantian presiden yang tertatih-tatih mengawali Reformasi. Kejatuhan Soeharto disambut babak kepemimpinan BJ Habibie yang dikenal sebagai ilmuwan, kemudian digantikan oleh Gusdur, seorang santri intelektual, dan Megawati, perempuan dengan keberanian setara serudukan banteng yang mengaku mewakili ideologi Sukarno, ayahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konon, para mantan presiden kemudian belum afdhal jika belum punya lembaga yang mengabadikan nama mereka. Lalu, muncullah institut-institutan mantan presiden. The Yudhoyono Institute adalah institut mantan presiden yang paling segar, baru beberapa pekan lalu didirikan.
Mari kita simak Soekarno Institute. Jika salah satu parameter aktif tidaknya sebuah pemikiran atau institusi hari ini adalah laman penyedia informasi tentangnya atau sebut saja website, maka Soekarno Institute tidak memiliki laman jujugan yang cukup jelas. Beberapa berita menginformasikan, beberapa anak Pak Karno mulai dari Rachmawati, Sukmawati hingga Megawati mendirikan institut-institut yang berbeda, namun Sukarno jua. Lokasinya mulai di Surabaya yang berhasrat melacak kebenaran peristiwa sederhana soal apakah Sukarno pernah belajar di Blitar atau tidak, hingga pusat dokumentasi Sukarno di Soekarno Center di Bali. Barangkali, masing-masing putri Pak Karno itu memang punya interpretasi masing-masing soal nilai yang dianuti ayah mereka.
Soeharto Institute belum berdiri. Mungkin sudah digantikan oleh segambreng kantong-kantong bisnis yang mengabadi atas nama keluarga dan keturunannya. Tapi, Museum Soeharto berdiri di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta. Museum itu didirikan oleh saudara Soeharto, Probosutedjo yang kini telah berusia 85 tahun. Probosutedjo berhasrat mengenang kejayaan pembangunan masa Orde Baru yang ia sebut sebagai "jasa dan kebaikan" Soeharto. Sayangnya, seperti yang bisa kita duga, data dan dokumen yang dipamerkan pada gedung yang berhias patung Soeharto pada pelatarannya itu persis apa yang ada dalam buku-buku sejarah masa sekolah dahulu.
Seperti museum swasta mana pun di dunia ini, kisah kelam dan sejarah buruk tentu adalah fakta yang ditutup, digantikan dengan penjual snack dan suvenir yang ramai memproduksi kaos bergambar si jenderal penuh senyum bertuliskan "piye kabare, penak jamanku to?"
Dua institut yang paling relevan mewariskan nilai dan semangat mantan Presiden adalah The Habibie Center dan The Wahid Institute. Ada dua misi Habibie Center, yakni pertama untuk menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengkaji dan mengangkat isu-isu perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia; dan, kedua untuk memajukan pengelolaan sumber daya manusia dan usaha sosialisasi teknologi.
Program-program The Habibie Center jelas dan berdampak. Kegiatan yang diselenggarakan meliputi seminar, pemberian beasiswa di dalam dan luar negeri, pemberian Anugerah Habibie (Habibie Award), dan diskusi dengan topik yang berkaitan dengan bidang sumber daya manusia pada umumnya, maupun yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Pak Habibie, meskipun ia teknolog yang erat dengan mimpi pesawat terbang, iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) di sini tidak diartikan sebagai teknologi semata, namun diartikan sebagai ilmu dalam arti luas, yaitu ilmu dasar, kedokteran dan bioteknologi, rekayasa, sosial, politik, ekonomi, hukum, filsafat, agama, serta budaya. Dengan membaca nama The Habibie Center, ingatan kita akan spontan terbang pada sosok kecil yang bermimpi global dan ingin merevolusi kemampuan bangsa di bidang ilmu pengetahuan.
Yang paling kerap kita dengar kiprahnya sebab kerja-kerjanya paling relevan dengan situasi demokrasi pascareformasi adalah The Wahid Institute. Urusan memberi perhatian pada demokrasi dan toleransi, sekaligus memberi pelajaran pada yang radikal dan yang ekstrem adalah fokus kerja Wahid Institute. Barangkali karena lekat dengan aroma nahdiyyin, aktivitas lembaga ini tak kaku pada riset ilmiah, kajian publik dan dialog yang mempertemukan aktivis muslim progresif, pemimpin politik dan pegiat lintas agama semata. Kadang-kadang juga merangkul lembaga kebudayaan lain untuk membikin malam seni dan baca puisi.
Cita-cita intelektual Gus Dur adalah membangun kehidupan bangsa Indonesia yang sejahtera dan umat manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, HAM yang diinspirasi nilai-nilai Islam.
Selanjutnya, seperti jamak diketahui bahwa kalau ingat Bu Mega pasti ingat banteng, eh, Pancasila, maka aktivitas Megawati Institute pun penuh dengan penerjemahan, mulai menerjemahkan ideologi Pancasila (1 Juni 1945) menjadi ideologi kerja (working ideology), menerjemahkan ide-ide dan gagasan Sukarno ke dalam kebijakan PDIP, dan menerjemahkan pelaksanaan 4 pilar (NKRI, Pancasila 1 Juni 1945, Bhinneka Tunggal Ika, UUD '45) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu sih, kata website-nya.
Sebagai rakyat, tentu kita mengharap punya mantan presiden yang penuh dengan petuah bijak dan pesan moral layaknya guru bangsa lainnya. Sehingga, kita juga berharap bahwa institut atas nama mantan presiden tidak hanya berupa lembaga riset yang menyamar sebagai perpanjangan tangan kepentingan-kepentingan politik yang belum tuntas.
Yah, tepat seperti kecurigaan pada The Yudhoyono Institute. Markasnya sama dengan markas pemenangan AHY-Silvi, dan didirikan bersamaan dengan ulang tahun AHY yang ke-39. Seperti jamak kita tahu, SBY melempar tanggung jawab politik praktisnya kepada Agus, bukan Ibas. Tapi, menurut Chief Communication Office The Yudhoyono Institute, Ni Luh Putu Caosa Indryani, sebagaimana dikutip detikcom, The Yudhoyono Institute ini dimaksudkan sebagai think tank independent alias lembaga kajian dengan penekanan non-politik praktis. Institut ini akan berfokus pada isu-isu strategis nasional dan internasional. The Yudhoyono Institute disebut akan berpihak pada tiga pilar utama, yaitu liberty (kebebasan), prosperity (kemakmuran), dan security (keamanan).
Apa mau dikata, isu bahwa The Yudhoyono Institute didirikan untuk mengawal karier politik AHY hingga 2019 lebih santer terdengar dan lebih logis untuk kita cerna. Yah, kita tunggu sajalah faktanya!
Bagaimanapun baik dan buruk kinerjanya, mantan-mantan presiden itu toh tetap orang nomor satu di negeri kita pada masanya. Sehingga, boleh bagi kita mengharap berdirinya institut-institut yang berdampak bagi kelangsungan negara dan kemanusiaan. Semacam harapan, meskipun mereka tak lagi memimpin tapi kehadiran para pewaris pemikiran mereka yang berasal dari beragam latar belakang itu dapat ikut meringankan beban dan turut andil memperbaiki nasib republik. Sepakat ya?
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini