Ini bukan pertama kali kasus video perundungan beredar di media sosial. Kebanyakan tidak ada tindak lanjut, sekadar jadi tontonan belaka. Adanya video ini meresahkan. Pertama ia menunjukkan secara telanjang adanya perundungan. Tentu saja harus kita pahami bahwa video ini hanyalah puncak gunung es belaka. Kasus yang tidak terekam pasti lebih banyak. Kedua, video ini menunjukkan bahwa pelakunya betul-betul menikmati aksi mereka, tanpa rasa takut dan bersalah mereka merekamnya.
Salah satu hal yang justru mengerikan dari kasus-kasus perundungan ini adalah justru sikap keluarga pelaku, juga korban. Masih banyak orang menganggap perundungan sebagai perilaku yang wajar, sekadar kenakalan anak-anak biasa. Ada pula yang menganggapnya begitu untuk melindungi anaknya, agar tidak diproses secara hukum. Perundungan jelas bukan kenakalan biasa, melainkan tindak kriminal. Hal ini perlu ditegaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan alasan yang mirip, pihak sekolah juga enggan mengakui dan membuka kasus perundungan untuk ditangani sebagaimana mestinya. Citra sekolah dan reputasi guru akan tercemar. Karena itu sekolah cenderung menutupi, dan menyelesaikan masalahnya secara "kekeluargaan". Artinya, perundungan dianggap tidak terjadi, orangtua disuruh berdamai saja.
Perundungan berakibat buruk pada kedua pihak, yaitu korban dan pelaku. Menutup mata terhadap kasus-kasus perundungan sama artinya dengan membiarkan anak-anak kita rusak tanpa usaha perbaikan. Karenanya kasus perundungan harus ditangani dengan benar. Ingat, tujuan kita bukan menghukum pelaku, atau memuaskan dendam, tapi untuk memperbaiki. Para orangtua, guru, dan aparat pembina pendidikan mesti punya persepsi yang benar tentang masalah ini.
Penanganan kasus-kasus perundungan memerlukan lompatan besar oleh orangtua, guru, serta pembina pendidikan. Mereka dituntut untuk mengakui adanya masalah pada diri mereka sendiri, dan memperbaikinya. Bagian ini sebenarnya jauh lebih sulit daripada menangani anak-anak bermasalah tadi. Pelaku perundungan, misalnya, melakukan tindak kekerasan karena di rumah dia biasa diperlakukan begitu. Untuk menyembuhkan dia, kekerasan di rumah itu harus dihentikan.
Akankah ada keluarga yang mau bersama-sama menjadi "pasien" secara suka rela? Itu adalah hal yang muskil. Karena itu perlu ada mekanisme hukum yang bisa memaksakan penanganan. Dalam hal ini hukum yang dimaksud bukan sekadar soal menghukum pelaku, tapi yang bisa memaksa mereka berikut orang tuanya untuk terlibat dalam rehabilitasi untuk penyembuhan.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini