'Reply 1988' dan Nostalgia Kebersamaan Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

'Reply 1988' dan Nostalgia Kebersamaan Kita

Jumat, 14 Jul 2017 13:42 WIB
Rakhmad Hidayatulloh Permana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Rakhmad Hidayatulloh Permana (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Beberapa waktu yang lalu, linimasa akun Facebook saya dibanjiri oleh tangisan para kaum hawa penggemar drama Korea. Pasalnya, ada aktor tampan drama Korea yang bakal melepas masa lajangnya. Konon, ia bakal melangsungkan pernikahannya pada Oktober nanti. Saya lupa nama aktor itu. Karena namanya memang sulit sekali untuk dilafalkan apalagi diingat.

Dan, sedari dulu saya juga memang tidak menaruh minat pada drama Korea. Prasangka saya sudah kepalang buruk. Cerita umumnya selalu berkisar antara kelindan kisah cinta menye-menye dan nuansa hidup yang glamor. Drama Korea dalam kepala saya selalu identik dengan drama picisan.

Namun, akhir-akhir ini mood saya sedang buruk. Saya butuh hiburan, sejenis distraksi dari hidup yang menoton. Saya kira, mencoba mencicipi drama Korea bisa jadi pelarian yang tepat. Toh, saya juga sering menemukan kejutan dari hal-hal yang tak saya sukai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya pun bertanya pada seorang kawan, yang sudah punya jam terbang tinggi dalam urusan menonton drama Korea. Ia memberikan daftar judul yang wajib saya tonton sebagai pemula. Saya kebingungan, karena hampir semua rekomendasinya ia bilang bagus dan bikin terharu. Saya memintanya untuk memilihkan genre tema keluarga.

Akhirnya, pilihan saya jatuh pada serial Reply 1988. Konon, kemasyhuran serial ini bersaing sengit dengan serial Goblin yang pernah booming pada 2016. Rasa penasaran saya pun semakin menggunung.

Saya lalu menontonnya. Dalam sehari bisa langsung menyelesaikan tujuh episode, dan sebanyak duapuluh episode langsung tandas dalam waktu 3 hari. Ternyata saya tak salah pilih. Reply 1988 betul-betul bisa menjerat hati saya. Selama menonton, saya sempat tertawa dan menangis. Durasi yang rata-rata satu jam setengah itu tak terasa.

Ceritanya mengalir dan membumi. Ada unsur komedi, cinta keluarga, dan beberapa cuilan cerita asmara. Lengkap. Perasaan saya seperti dikoyak-koyak ketika sedang menontonnya.

Reply 1988 bercerita tentang potret kehidupan masyarakat Korea Selatan pada 1988. Pada era itu, teknologi informasi tentu saja belum mekar seperti sekarang. Belum ada smartphone canggih dan aplikasi chatting. Pada masa itu, hiburan masih didominasi oleh televisi dan radio. Oleh karenanya, masa ini disebut sebagai era analog.

Para remaja Korea dengan bangga memakai celana jeans denim belel sembari mendengarkan musik favorit dari walkman. Ada iklan jadul, mobil jadul dan segala ornamen khas era itu. Sedikit dijelaskan juga bahwa pada masa itu masyarakat hidup dalam kesederhanaan yang serba minim. Bahkan mereka sampai harus mengirit beras dan telur.

Drama ini fokus pada cerita hidup keluarga Sung dan para tetangganya. Mereka adalah orang-orang biasa, bukan orang-orang penting atau pesohor. Namun, dari tindak tanduk hidup mereka, banyak makna yang bisa kita pungut. Misalnya, dalam salah satu adegan kita akan disuguhi nilai berbagi ketika para tetangga sibuk saling mengantar makanan.

Ketika keluarga Sung tak punya lauk pauk, maka keluarga Kim mengirimi mereka lauk pauk. Ketika keluarga Jung Wan kehabisan beras, maka keluarga Choi mengirimi mereka nasi. Adegan ini menunjukkan bahwa saat itu hidup bertetangga bukan sekedar berada dalam satu tanah kavling. Tetapi, juga soal berbagi rasa.

Bukan hanya sampai di situ. Ada adegan-adegan ketika susah dan senang ditanggung bersama. Misalnya, ketika Choi Taek (salah satu tokoh sentral drama ini) memenangkan kejuaraan baduk, seluruh tetangga merayakan kemenangannya dengan acara karaoke dan makan bersama.

Kesusahan juga mendapatkan tempat yang sama. Ketika Ibu Jung Jwan sedang dilanda jeratan utang, para tetangga ikut rembukan untuk mencari solusi dari masalah tersebut. Meskipun sesungguhnya mereka juga sedang manghadapi krisis uang juga.

Itulah barangkali yang membuat saya betah menonton drama Korea ini meskipun nama para tokohnya sulit sekali untuk saya ingat. Benak saya seolah-olah dibetot secara paksa untuk kembali mengingat: apakah saya pernah mengalami peristiwa dalam serial Reply 1988?

Ya, ternyata saya pernah. Masa itu berlangsung sekitar medio 1998 pasca Reformasi sampai memasuki gerbang milenium tahun 2000. Saya ingat waktu itu ada serial superhero lokal Saras 008 yang menjadi tontonan favorit selepas petang. Saya juga ingat pernah dibelikan oleh paman saya walkman plus kaset pita album pertama band Jamrud. Pada masa itu, keluarga saya masih mendiami rumah kontrakan di wilayah pinggiran kota Sidoarjo, Jawa Timur.

Kami tinggal di sebuah kampung kecil yang kebanyakan dihuni oleh para pendatang. Mereka adalah tetangga yang menyenangkan dan baik hati, terdiri dari banyak latar belakang. Ada guru, buruh pabrik, tentara, sampai pedagang pasar. Mayoritas adalah orang Jawa, tapi ada juga tetangga kami yang orang Madura, Sunda, dan Batak. Kami hidup rukun meski berasal dari berbagai macam suku.

Banyak kejadian yang saya alami di kampung itu yang persis seperti cerita Reply 1988. Ibu saya juga sering mendapatkan antaran makanan dari para tetangga, walaupun tak ada hari khusus atau hajatan. Begitu pun sebaliknya, bila ada masakan lebih, saya juga selalu diminta mengantarkannya pada para tetangga terdekat.

Setiap malam Minggu, kami biasanya juga suka jagongan. Semacam kumpul-kumpul di depan rumah bersama para tetangga. Sekedar bercengkrama, menghidupkan kembali makna hidup bertetangga. Sesekali, pada malam Minggu ada acara memasak nasi liwet, membakar jagung atau ikan. Setelah semua matang, terpal digelar, kami makan bersama di bawah naungan cahaya bulan yang indah.

Kami dan para tetangga juga sering gotong royong dalam banyak hal. Misal ada hajatan, maka para ibu-ibu akan ikut rewang, bantu-bantu memasak. Sedangkan pada Hari Minggu bapak-bapak melakukan kerja bakti, itu sudah alamiah. Tanpa disuruh dan merasa terpaksa, kami akan melakukannya secara gotong royong.

Begitu pun bila ada orang meninggal dunia, semua orang akan dengan tangkas dan sigap melakukan persiapan pemakaman. Tanpa perlu bertanya sikap politik sang almarhum semasa hidupnya dulu—dan saya rasa itu absurd pada masa itu. Jangankan untuk urusan orang meninggal, bila ada tetangga kami yang sakit pun, semuanya akan langsung membantu mengantarkannya dengan mobil pick up untuk pergi ke rumah sakit.

Semua interaksi itu terjadi secara alamiah pada waktu itu. Hidup bertetangga—peran sebagai makhluk sosial—bukan sekedar basa-basi formalitas belaka. Reply 1988 seolah berusaha membetot benak saya untuk memaknai kembali arti hidup dalam kebersamaan. Setidaknya, ada dua hal penting yang coba diingatkan oleh serial drama ini. Pertama, nilai tentang kebersamaan. Orang Jawa menyebutnya sebagai guyub.

Guyub memiliki makna yang lebih dalam lagi. Guyub merupakan salah satu item pondasi dalam menciptakan harmoni dalam masyarakat. Nilai-nilai tenggang rasa dan nilai gotong royong, diwadahi oleh keguyuban ini. Tanpa menjadi eksklusif karena identitas kesukuan atau ras.

Prof. Fuad Hassan (alm) —guru besar psikologi UI dan Menteri Pendidikan era Orba— pernah membahas konsep kebersamaan orang Indonesia dalam buku Kita dan Kami (1975). Secara tajam, Fuad dalam buku itu menjelaskan bahwa ada dua modus kebersamaan yang dipakai dalam pergaulan masyarakat Indonesia, yang terdiri dari "kita" dan "kami".

Menurutnya, "kita" dan "kami" sama-sama ingin menunjukkan sebuah identitas massal sekumpulan orang. Bedanya, "kita" memandang diri sebagai subjek yang mengayomi semua, tanpa melihat diri sebagai yang eksklusif. Sedangkan "kami" sebaliknya, melihat diri sebagai subjek eksklusif, dan yang lain hanyalah objek belaka.

Maka, sudah selayaknya saya kira masyarakat Indonesia hidup sebagai "kita", bukan "kami". Hidup sebagai kumpulan berbagai golongan dalam satu wadah. Bukan malah wadah ini dipecahkan sampai jadi berkeping-keping.

Kedua, Reply 1988 juga mengingatkan saya akan pentingnya menjaga empati. Berbeda dengan simpati yang hanya sebatas nuansa perasaan kasihan dan sedih ketika melihat penderitaan orang lain, empati adalah perasaan "ikut" menderita ketika ada orang lain yang menderita. Inilah yang sering menjadi pemicu diri untuk bergerak membantu orang lain.

Hidup bermasyarakat memang sudah selayaknya dibarengi dengan empati. Inilah item vital yang membedakan diri kita dengan hewan. Reply 1988 mencoba untuk membincangkan makna tentang kebersamaan dan empati dalam bingkai cerita yang menarik. Drama ini punya irisan cerita dengan kenangan saya tentang masyarakat Indonesia pada era 90-an.

Meskipun kejadiannya di negara yang berbeda, Reply 1988 berhasil mengantarkan pada nostalgia tentang masyarakat Indonesia yang guyub dan penuh empati. Masyarakat yang begitu sederhana namun damai hidupnya. Jarang kelahi hanya karena remeh temeh bernama politik. Masa itu bukan era digital, jauh sebelum Grup Whatsapp keluarga ada, dan akun medsos penebar kebencian (bebas) merusak harmoni kita.

Rakhmad Hidayatulloh Permana tinggal di Subang. Kegiatan sehari-harinya bermain dengan ikan-ikan air tawar

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads