Meninjau "Nuthuk" dari Tiga Perspektif

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Meninjau "Nuthuk" dari Tiga Perspektif

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 04 Jul 2017 13:40 WIB
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Libur Lebaran selalu menghadirkan beragam kisah. Tak cuma kisah penggelak tawa dari ajang kumpul keluarga maupun reuni SMA, namun juga kisah kurang lucu semacam peristiwa pedagang yang "nuthuk" pembeli.

Musim liburan memang kerap memunculkan peristiwa "thuthuk-menuthuk" ini. Pernah heboh, misalnya, saat di medsos tersebar foto nota dari warung makan di daerah Anyer, ketika seorang pembeli harus membayar 80 ribu rupiah untuk segelas es teh. Lalu yang terhangat datang minggu lalu dari Malioboro, Yogyakarta. Karena mematok harga tak wajar, sebuah warung lesehan sampai-sampai disegel.

Istilah nuthuk pun mewarnai obrolan kita. Maka alangkah sangat pentingnya jika di hari ini perdebatan politik yang semakin memualkan itu kita kesampingkan dulu, agar waktu kita lebih berdaya guna untuk memperbincangkan segala seluk beluk fenomena nuthuk.

Sebagai pembuka, sebaiknya kita pahami dulu nuthuk dari sisi bahasa. Ini wajib, sebab banyak teman dari luar Jawa yang merasa roaming.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nuthuk memang merupakan kata bahasa Jawa. Kata dasarnya thuthuk, lalu menjadi nuthuk untuk membentuk kata kerja aktif transitif. Arti harfiahnya adalah memukul dengan sesuatu, semisal tongkat atau alat kecil lainnya. Ia muncul misalnya pada frasa "nuthuk kenthongan" alias memukul kentongan. Kita tahu, kentongan dipukul dengan alat pemukul berupa tongkat pendek.

Aktivitas nuthuk juga bisa mengambil objek kepala orang, alias memukul kepala manusia. Di situ ada nilai rasa spesifik, yakni pukulan dari aktivitas nuthuk ini jauh lebih pelan dari 'gebuk' ataupun 'kepruk'. Nuthuk bukanlah sejenis pukulan mematikan, namun sekadar cukup untuk membuat sakit, benjol, campur dongkol. Kira-kira begitu.

Nah, nuthuk kepala manusia inilah yang kemudian dijadikan idiom konotatif untuk menyebut tindakan curang para pedagang. Pedagang memasang harga secara tak wajar, di luar kelaziman, dan pembeli tak tahu sebelumnya tentang beban pembayaran yang akan ditimpakan di ubun-ubunnya. Ringkasnya, pembeli dijebak. Ia sudah menyantap habis makanan, tidak bisa mengelak lagi dari kewajiban membayar, dan di saat itulah penjual menetapkan harga sepihak dengan kejam.

Jadi, yang di Malioboro pekan lalu itu sebenarnya bukan nuthuk, sebab dari daftar harga si pembeli sudah tahu duluan berapa perak yang harus ia bayarkan. Pedagang terkait memang memasang harga ngawur, di luar standar umum yang disepakati kalangan pedagang lesehan Malioboro. Namun yang ia lakukan tidak termasuk dalam kategori nuthuk.

Penjelasan atas kata nuthuk ini mungkin tidak bisa seratus persen menggambarkan rasa bahasa yang sesungguhnya. Agaknya cuma penutur asli bahasa Jawa yang bisa merasakannya, sebab kata nuthuk memang agak sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Itulah kenapa saya terpingkal ketika sebuah media nasional memasang judul "Ketuk Harga Makanan, Lesehan di Malioboro ini Kena Sanksi".

Hahaha. Tidak bisa, Mas. Tidak bisa istilah nuthuk ini dengan semena-mena diterjemahkan sebagai 'ketuk'. Tapi, sudahlah. Apa pun istilahnya, toh kita paham maksudnya. Jadi kita bisa masuk ke perspektif kedua. Di sini pertanyaannya adalah: kenapa pedagang nuthuk pembeli?

Saya tak tahu harus memakai kacamata apa. Mungkin ekonomi, mungkin sosiologi, mungkin psikologi. Yang pasti, kata kuncinya adalah 'investasi'.

Pedagang yang nuthuk adalah pedagang yang menjalankan fitrahnya secara sempurna dalam prinsip ekonomi. Dengan modal sekecil-kecilnya, mencari untung sebesar-besarnya, kalau perlu dalam waktu secepat-cepatnya. Dia sesungguhnya sudah benar, sekali lagi secara prinsip ekonomi. Namun dia ceroboh dalam mindset investasi.

Dengan nuthuk, yang ia kejar hanyalah keuntungan seketika. Jangka pendek, mengorbankan brand image, tidak mempertimbangkan keberlanjutan usaha jangka panjang, sekaligus tidak punya visi perluasan pasar. Untuk lebih jelasnya silakan japri saja Pak Hermawan Kartajaya.

Kalau sudah ketemu bahwa titik masalahnya adalah minimnya visi investasi, kita bisa melebarkan makna nuthuk ke ragam-ragam aktivitas lain. Dari situ akan segera tampak bahwa kelakuan ini bukan monopoli kaum pedagang sektor informal.

Pada dasarnya, segala aktivitas penjualan di mana pembeli dijebak, dan pedagang secara oportunis mencari keuntungan instan, bisa kita klasifikasikan ke dalam aktivitas nuthuk.

Bahkan gerai waralaba jaringan Amerika pun bisa nuthuk Anda. Misalkan Anda ngiler melihat burger gede di gambar reklame mereka. Lalu datanglah Anda ke gerainya di sebuah mall, melihat papan menu, dan foto burgernya masih sama gedenya dengan yang dipajang di pinggir jalan raya. Selanjutnya Anda membayar, duduk menanti sambil menahan lapar. Tapi apa yang akhirnya terjadi, Saudara?

Ya, Anda melongo takjub saat memandang burger asli yang muncul kemudian ternyata cuma seupil saja! Hahaha!

Kalau dibandingkan dengan nuthuk versi lesehan, pola di gerai waralaba itu cuma sedikit dibalik. Di lesehan barangnya jelas, tapi begitu tagihan datang ternyata mahal minta ampun. Di gerai Amerika harganya jelas, tapi saat barang nongol ternyata ukurannya menciut secara mengagumkan.

Lah, kenapa pola klasik burger-jumbo-jadi-mini di gerai-gerai waralaba begitu tidak pernah kita sebut sebagai nuthuk? Kenapa, Rhoma?

Saya jadi ingat anekdot lawas tentang sebuah kapal kecil milik perompak di laut, yang ketemu kapal raksasa milik Napoleon. Si perompak berkata, "Hoi, Napoleon! Hanya karena kapalku kecil, maka kau sebut aku perompak. Tapi karena kapalmu besar, kau sebut dirimu penakluk!"

Rasanya adegan itu cocok untuk menjawab pertanyaan "kenapa" tersebut. Kita memang lebih gampang memaafkan orang kaya. Barangkali itu juga yang bisa sedikit menjelaskan, kenapa Anda tertawa terbahak mendengar lelucon tak bermutu, asal itu keluar dari mulut bos Anda.

Sekarang kita masuk ke perspektif terakhir, yakni agama. Karena saya muslim, mohon maaf saya tahunya cuma perspektif Islam. Saya harus menggunakan kacamata ini, demi karier saya sebagai ustaz paruh waktu. Ehem!

Fenomena pedagang yang nuthuk pembeli sebenarnya gampang saja kalau dilihat dari kacamata hukum Islam. Dalam Islam, transaksi jual beli mensyaratkan adanya akad. Materi dalam akad adalah pernyataan pedagang bahwa ia menjual anu dengan harga segitu. Lalu disambut oleh pembeli yang menyatakan ia membeli anu dengan harga segitu.

Tentu saya sepakat dengan kontekstualisasi di zaman modern, bahwa kalimat akad tidak melulu harus diucapkan secara lisan. Namun ada satu prinsip di situ, yakni objek jual-belinya jelas, harganya pun jelas. Sementara, dalam fenonema nuthuk aspek kejelasan harga itu tidak ada sejak mula-mula.

Ini yang kerap disepelekan. Ketika kita makan di sebuah warung atau restoran, padahal belum tahu akan membayar berapa nantinya, sesungguhnya kita sedang melahap sesuatu yang belum terang statusnya. Bagi seorang muslim, aktivitas makan seperti itu jadi wallahualam bagaimana hukumnya. Tapi siapa yang selama ini peduli sampai sejauh itu tiap kali jajan pecel lele, misalnya?

Pada hemat saya, pemuka agama semestinya menjalankan peran dalam menyikapi fenomena nuthuk ini. Sekilas memang tampak sepele. Namun perkara sehari-hari semacam itulah yang membangun sendi-sendi paling dasar dalam kehidupan riil sebuah masyarakat. Bila kecurangan yang kecil-kecil telanjur dianggap tidak terlalu penting, jangan kaget kalau yang besar-besar lambat laun akan termaafkan.

Ah, tapi barangkali para pemuka agama masih sibuk dengan isu-isu politik, atau isu "penyudutan umat". Kalau memang situasinya demikian, saatnya umat sendiri yang bergerak. Barangkali langkah pertama bisa ditempuh dengan menyebarkan tagar #NuthukBukanIslam, begitu?

Iqbal Aji Daryono praktisi media sosial, dan suka menulis di mana saja. Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads