Bersepeda di Hari Senin
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bersepeda di Hari Senin

Senin, 22 Mei 2017 10:50 WIB
Rakhmad Hidayatulloh Permana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bersepeda di Hari Senin
Rakhmad Hidayatulloh Permana/Foto: Rizky Ceasari
Jakarta - Senin memang bukan hari yang ramah. Hari senin punya nafas yang khas, selalu identik dengan kesibukan dan ketergesaan. Saya tak tahu, mengapa setiap Hari Senin orang-orang secara rutin melakukan kesibukan serentak. Orang-orang seperti bersepakat untuk hal itu. Maka jangan heran, bila kemacetan dan kecelakaan lalu lintas bisa mencapai puncaknya pada Hari Senin.

Datanglah ke bank pada Hari Senin. Datanglah ke Kantor Pos pada Hari Senin. Datanglah ke Kantor Pegadaian pada Hari Senin. Maka, yang Anda lihat adalah pemandangan yang sama belaka: ular antrian yang begitu panjang dan keriuhan sebuah pasar. Orang-orang mengerjakan urusannya secara bersamaan pada hari itu. Melakukan transaksi di bank, menggadaikan barang berharganya di rumah gadai, menjual baju di pasar atau sekedar menghadiri meeting bersama klien.

Bahkan, jika Anda mendatangi rumah sakit pada Hari Senin, pemandangan juga tak jauh berbeda. Antrian pasien begitu menumpuk. Dari pasien yang hanya terserang flu sampai pasien dengan selusin penyakit komplikasi. Orang-orang seperti punya jadwal sakit setiap Hari Senin. Padahal, rasanya Hari Senin cukup untuk rutinitas upacara bendera saja saya kira.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak orang yang mengaku bahwa mereka sungguh menyukai Hari Senin. Tapi, diam-diam, mereka juga menyimpan dendam pada Hari Senin. Mereka barangkali hanya berpura-pura. Sebab kita tahu bahwa mencintai hari Senin adalah salah satu langkah untuk bertahan hidup.

Senin itu, seperti biasa, saya selalu datang paling awal. Ketika jarum jam pendek dan panjang masih menunjuk angka 6. Biasanya, saya datang berbarengan dengan satpam dan office boy. Begitu datang, mereka bahkan langsung melaksanakan kesibukannya masing-masing. Office boy mengepel lantai dan membersihkan kaca-kaca. Satpam menata nomor urut antrian untuk nasabah.

Saya tentu juga harus melakukan kesibukan. Setelah meletakkan tas, melepas jaket dan memakai pomade, saya langsung menuju meja kerja. Menyalakan komputer dan mengerjakan tumpukan berkas. Jika tidak disiasati seperti ini, saya bakal kerepotan nantinya. Karena begitu pintu masuk dibuka, para nasabah akan langsung duduk di depan saya dan minta agar segera dilayani. Mereka semua hampir selalu dalam keadaan terburu-buru dan enggan mengantri.

Sedang asyik-asyiknya memulai kerja, teman saya yang biasanya telat masuk kantor tiba-tiba sudah ada di ruangannya. Aneh, saya pikir. Jin muslim mana yang merasuki tubuhnya.

Setelah melepas jaket kulitnya dan meletakkan tas, ia menghampiri meja saya.

"Kamu itu rajin kerjanya. Tapi, kerjaannya numpuk terus," katanya sambil mengamati pekerjaan saya.

"Ya terus harus gimana kalau enggak dikerjain sekarang? Kerjaanku bakal terus menumpuk. Kamu sendiri, tumben sekali sudah datang sepagi ini."

"Iya, pengen ngeliat suasana pagi aja."

"Hmmm…."

"Aku tadi lihat sesuatu yang menarik di jalan. Waktu lewat kebun teh, aku ngeliat ada orang naik sepeda fixie. Mereka seperti enjoy sekali."

"Oh. Apa hal menariknya?"

"Aku pikir, itu yang namanya hidup. Bahagia sekali ya mereka. Hari senin bisa main sepeda. Hari Senin, bukan Hari Sabtu atau Minggu. Suatu saat nanti, kalau seluruh utang tanggunganku sudah lunas semua, aku ingin resign dari pekerjaan ini."

Saya mendengarkannya dan tetap memandangi layar monitor komputer, seolah tidak acuh dengan ceritanya. Namun diam-diam sebenarnya saya sedang mendengarkannya dengan penuh khidmat. Apa yang ia ceritakan, mempunyai beberapa irisan dengan apa yang saya alami ketika masuk dalam dunia kerja. Ceritanya menggenapkan kegelisahan yang saya alami.

Setelah bekerja, semuanya berubah. Rutinitas pekerjaan adalah tuntutan wajib yang harus dituntaskan. Berbeda dengan dunia perkuliahan yang masih punya beberapa toleransi.

Ini bukan kali pertama saya mendengar keluhannya. Ia juga sering mengucapkan kata-kata bahasa sunda yang biasa terpampang di pantat truk, berbunyi "indit tunduh, teu indit butuh" yang artinya "berangkat ngantuk, nggak berangkat tapi butuh". Ia sebenarnya sudah muak dengan pekerjaannya. Tapi, apa boleh dikata, ia dan keluarganya punya perut yang harus diisi. Utang yang ia tanggung juga tak sedikit. Sedangkan pekerjaan lain barangkali belum tentu mampu menyelesaikan semua masalah itu.

Saya ingat, saya juga pernah mengalami nuansa seperti kawan saya itu. Tepatnya, ketika melewati sebuah sekolah taman kanak-kanak, saat berangkat kerja. Saya melihat anak-anak mendatangi sekolah dengan senyum dan keceriaan. Duh, betapa saya terbawa kenangan masa kanak-kanak. Menjadi kanak-kanak sembari sejenak melupakan tanggung jawab sebagai orang dewasa. Melihat hidup dengan mata yang segar dan tanpa rasa takut akan masa depan. Semuanya berjalan dengan begitu menggembirakan.

Pada masa itu, saya terkadang berpikir bahwa hidup saya sudah hampir serupa Sisifus, salah satu tokoh dalam mitologi Yunani. Sisifus dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu ke atas puncak. Sialnya, batu-batu itu justru menggelinding lagi ke bawah dan Sisifus harus mendorongnya kembali. Terus begitu. Terus berulang. Tanpa rasa lelah.

Cerita Sisifus sering juga menjadi lahan garapan para filsuf eksistensialis ketika menjelaskan tentang betapa absurdnya hidup manusia. Albert Camus—filsuf eksistensialis yang mempelopori cerita Sisifus ini—memberi simpulan pada kisah Sisifus: "Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia."

Camus seperti hendak menjauhkan segenap umat manusia dari kenyataan-kenyataan getir yang mungkin mirip dengan balada kisah Sisifus. Hal serupa juga sering dilakukan oleh Ibu saya ketika rutinitas membuat hidup saya begitu membosankan.

"Urip iku mung sawang sinawang, le," pesan itu selalu dilontarkan oleh Ibu ketika saya sudah mulai mengeluh. Ibu selalu mengingatkan saya untuk terus bersyukur dengan menerima rezeki yang ada. Sebab, hidup itu hanya saling melihat saja. Tak semua yang kita lihat itu sebagaimana adanya. Barangkali justru yang nampak itu justru ilusi belaka, kenyataan belum tentu manis. Ibu benar, dan saya seharusnya selalu mengamini itu. Hidup penuh syukur dan berbahagia.

Tetapi, pada akhirnya, saya keluar juga dari pekerjaan itu dan terlepas dari rantai rutinitas yang begitu padat. Memulai hal baru yang membuat hidup sedikit berbeda dan nampak lebih bermakna.

Begitulah hidup, terkadang kita juga perlu memberi jeda sejenak pada hidup yang penuh rutinitas. Bukan untuk menjadi malas dan tidak bertanggung jawab tentunya. Namun, untuk sekedar mengingat bahwa kita adalah manusia seutuhnya. Bukan Sisifus. Toh, tak ada salahnya jika membayangkan Sisifus rehat sejenak dari rutinitas mendorong batu—mungkin Sisifus sedang mengaso dan minum kopi. Rasanya, dunia takkan langsung dilanda kiamat jika beberapa manusia di bumi absen dari rutinitas.

Dan, bersepeda di Hari Senin bukanlah gagasan yang buruk. Setiap orang berhak mengayuh sepedanya sembari merasakan udara pagi. Sehingga waktu menjadi lebih jinak di Hari Senin.

Kini, saya tak lagi terikat dalam ritus jam kerja kantor. Saya punya waktu bebas di Hari Senin. Tak harus berjibaku dengan kesibukan khas Hari Senin. Saya bisa melakukan banyak hal. Namun ternyata, saya masih belum bisa menikmati pengalaman bersepeda di hari Senin seperti yang dilihat oleh kawan saya itu. Anda tahu apa sebabnya? Ya, karena saya memang belum punya sepedanya.

Rakhmad Hidayatulloh Permana tinggal di Subang. Kegiatan sehari-harinya bermain dengan ikan-ikan air tawar


(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads