Izinkan saya untuk tetap urun rembug memberikan pemahaman yang lebih utuh kepada kita semua —khususnya dari sisi hukum tata negara terkait kasus Ahok tersebut. Sekali lagi, saya tidak akan masuk ke dalam dugaan kasus tindak pidana penodaan agamanya itu sendiri, karena bukan kompetensi dan bidang yang saya pelajari. Para ahli hukum pidana lebih tepat dan kompeten untuk menyampaikan pandangannya.
Hanya satu catatan pendek saja, soal pidana ini. Kemarin saya sempat menghubungi salah satu Guru Besar Hukum Pidana yang ikut hadir dalam gelar perkara hari selasa lalu di Bareskrim Polri. Saya tanyakan, kenapa Ahok menjadi tersangka. Karena dalam diskusi sebelumnya, kami sepakat tidak mudah untuk menyimpulkan unsur delik terpenuhi jika berpatokan pada ucapan Ahok di Kepulauan Seribu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai di situ saja catatan saya dari sisi pidana. Izinkan saya sekarang berbagi informasi terkait akibat hukum status Ahok sebagai tersangka dari sisi hukum tata negara, bidang yang saya pelajari. Pada diri Ahok paling tidak ada tiga status subyek hukum yang berbeda.
Pertama adalah Ahok sebagai warga negara yang berstatus tersangka dugaan tindak pidana penodaan agama. Kedua Ahok sebagai calon gubernur dalam pemilihan gubernur di DKI Jakarta. Ketiga Ahok sebagai gubernur non-aktif di Jakarta. Atas tiga status subyek hukum itu, status tersangka Ahok membawa akibat hukum yang berbeda-beda. Mari kita ulas satu-persatu.
Satu, Ahok disangka melakukan tindak penodaan agama—menurut keterangan polisi—berdasarkan ketentuan dalam Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU Informasi Transaksi Elektronik. Pasal 156a yang ancaman pidana penjaranya maksimal 5 tahun penjara adalah pasal baru yang dimasukkan berdasarkan UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Sedangkan ancaman pidana Pasal 28 Ayat (2) UU ITE adalah penjara maksimal 6 tahun penjara dan denda satu miliar rupiah. Atas ancaman penjara yang lima tahun tersebut, sebenarnya Ahok dapat ditahan, tetapi penyidik Polri memilih untuk tidak melakukannya, dan hanya meminta pencegahan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.
Sebagai tersangka, Ahok paling tidak mempunyai dua langkah hukum yang dapat dilakukannya. Pertama, Ahok dapat melakukan pra peradilan atas status tersangkanya itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebagaimana kita ketahui, hak tersangka untuk melakukan pra peradilan itu sudah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Namun, kemarin saya baca, kuasa hukum Ahok kelihatannya tidak akan mengambil langkah ini, dan lebih memilih mendorong kasus ini segera disidangkan saja pokok perkaranya di pengadilan.
Masih dalam statusnya selaku tersangka, Ahok juga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menyoal konstitusionalitas Pasal 156a KUHP juncto UU Nomor 1 Tahun 1965, dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Kedua aturan itu memang pernah diuji ke hadapan MK. Pasal 156a KUHP dan UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 telah dua kali diuji, dan diputuskan MK dengan Nomor 140 Tahun 2009 dan 84 Tahun 2012. Sedangkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE telah pula diputus MK dalam Nomor 52 Tahun 2013. Seluruh ketiga putusan MK itu memang menolak permohonan pengujian dan menyatakan semua pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Meskipun sudah pernah diuji, namun dalam praktiknya, dan pula berdasarkan Peraturan MK sendiri, uji konstitusionalitas aturan UU yang sama masih bisa dilakukan ke hadapan meja merah MK dengan alasan konstitusional yang berbeda. Dalam beberapa uji materi, sifat final dan mengikatnya putusan MK dapat disimpangi dengan pengujian materi yang sama tersebut. Karena putusan MK yang lebih baru dapat berbeda dengan putusan MK yang lebih lama. Misalnya, uji materi serentaknya Pileg dan Pilpres yang awalnya ditolak, akhirnya dikabulkan dalam putusan MK setelahnya. Sehingga dalam pemilu 2019 kita akan melakukan pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD bersama-sama dengan pemilihan presiden.
Dua, status Ahok sebagai tersangka tidak menggugurkan statusnya sebagai Calon Gubernur Jakarta. Karena telah ditetapkan KPUD, meskipun berstatus tersangka, Ahok bukan saja tidak kehilangan statusnya sebagai calon gubernur, namun bahkan tidak boleh mengundurkan diri selaku cagub. Justru kalau Ahok memaksakan diri untuk mundur dia kembali akan dijerat pidana yang ancaman penjaranya antara 2 hingga 5 tahun, dan membayar denda antara 25 sampai dengan 50 miliar rupiah.
Ancaman pidana penjara dan denda yang sama juga berlaku bagi partai politik atau gabungannya yang menarik pencalonan Ahok (Pasal 43, 53, 191 UU Pilkada). Bahkan, jika pengunduran diri calon atau penarikan pasangan oleh parpol dilakukan sampai dengan pemungutan suara putaran kedua, maka ancaman pidananya meningkat menjadi penjara antara 3 sampai 6 tahun dan denda 50 sampai dengan 100 miliar rupiah (Pasal 192 UU Pilkada).
UU pemilihan gubernur justru mengatur, bahwa meskipun berstatus tersangka, seorang gubernur terpilih tetap dilantik menjadi gubernur. Baru kalau statusnya menjadi terdakwa, gubernur terpilih diberhentikan sementara segera setelah dilantik. Hanya jika statusnya telah menjadi terpidana yang berkekuatan hukum tetap, maka gubernur terpilih akan tetap dilantik untuk langsung diberhentikan (Pasal 163 UU Pilkada).
Perlu ditambahkan penjelasan, bahwa bukan berarti dalam proses pemilihan gubernur calon tidak bisa dibatalkan. Pembatalan calon dapat dilakukan tetapi untuk pelanggaran yang berbeda, dan terkait pilkada, misalnya:
1) gubernur petahana melanggar larangan mengganti pejabat, atau larangan menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon (Pasal 71 ayat (2) dan (3);
2) pasangan calon menjanjikan atau memberikan uang agar dipilih (Pasal 73 ayat (2) UU Pilkada).
Akibat hukum yang ketiga, adalah terkait status Ahok sebagai Gubernur Jakarta yang non-aktif karena sedang cuti di luar tanggungan negara sesuai ketentuan Pasal 70 UU Pilkada. Jikalau status Ahok tetap tersangka hingga masa cutinya berakhir, maka Ahok dapat kembali aktif menjadi Gubernur dalam sisa masa jabatannya sebelum adanya pelantikan Gubernur Jakarta yang baru, siapapun nanti yang terpilih.
Namun, jikalau pada saat masa cutinya berakhir status Ahok meningkat menjadi terdakwa, maka Ahok tidak akan bisa lagi menjadi Gubernur aktif Jakarta, meskipun masa kampanye telah berakhir. Hal itu karena berdasarkan Pasal 83 ayat (2) UU Pemda, gubernur yang berstatus terdakwa harus diberhentikan sementara dari jabatannya.
Argumen hukum lain yang ingin saya sampaikan di sini adalah, suatu proses hukum pidana tidak semuanya harus berujung di pengadilan. Pendapat bahwa tindak pidana yang dihentikan sebelum persidangan adalah salah, justru adalah pendapat yang tidak benar. Proses hukum pidana juga memberikan kesempatan suatu kasus berhenti sebelum persidangan misalnya dengan SP3, SKPP dan deponeering.
Ketiga mekanisme penghentian perkara itu pun—termasuk melalui proses peradilan—adalah prosedur hukum yang sah dan dimungkinkan menurut KUHAP, dan karenanya tidak dapat dinyatakan keliru. Justru kalau suatu kasus pidana sebenarnya tidak cukup bukti, merupakan persoalan non-hukum yang dipolitisasi, ada indikasi kuat merupakan kriminalisasi, maka penghentian kasus secepatnya, termasuk sebelum persidangan adalah bentuk penyelesaian hukum yang lebih adil.
Demikianlah sedikit urun rembug catatan kamisan saya kali ini, untuk lebih memahami akibat hukum tata negara dari status Ahok sebagai tersangka tindak pidana penodaan agama. Akhirnya, mari kita terus hormati proses hukum yang ada, dan tetap merawat kedamaian, ketenangan dan kewarasan dalam berpikir, bertutur dan bertindak. Mari kita pastikan penegakan hukum yang berjalan adalah proses yang adil, tanpa tekanan dari siapapun, dalam bentuk apapun. Biarkan dalam semua kasus hukum, supremasi hukum menjadi ujung solusi yang sama-sama kita hormati.
Keep on fighting for the better Indonesia. (*)
*) Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Visiting Professor pada Melbourne Law School and
Faculty of Arts, University of Melbourne (nwk/nwk)