Demokratisasi (Bukan Duitokrasi) Partai Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Kamisan Denny Indrayana

Demokratisasi (Bukan Duitokrasi) Partai Politik

Rabu, 07 Sep 2016 10:40 WIB
Denny Indrayana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Denny Indrayana/Dokumentasi Pribadi
Melbourne - Saat catatan ini di buat, mulai tanggal 5-8 September 2016, di Bukittinggi sedang dilaksanakan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-3. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas yang dinakhodai Profesor Saldi Isra, mengulang sukses dua konferensi nasional sebelumnya, di mana saya sempat ikut menjadi pembicara, dan kali ini mengangkat topik penting, "Demokratisasi Partai Politik". Meskipun tidak berkesempatan untuk hadir, karena sedang bertugas sebagai Visiting Professor di Melbourne Law School dan Faculty of Arts, Universitas Melbourne, Australia, saya tetap ingin memberikan sumbang saran atas permasalahan strategis yang diangkat oleh konferensi tersebut.

"Demokratisasi Partai Politik" adalah tema yang sangat tepat. Saya memberikan jempol dan angkat topi atas pilihan yang cerdas dan bijak tersebut. Keberhasilan demokrasi di Tanah Air, salah satu kunci utamanya disumbangkan oleh bagaimana kita bisa menghadirkan parpol yang demokratis. Terlebih peran parpol sangat strategis dan vital dalam hal rekrutmen pimpinan negara, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Kegagalan kita menciptakan sistem kepartaian yang demokratis akan berdampak langsung pada kegagalan kita merawat demokrasi di Tanah Air.

Satu hal yang menurut saya harus menjadi pokok bahasan ketika kita berbicara soal partai politik adalah, bagaimana soal pendanaannya. Dana, atau bahasa terangnya duit, adalah urat nadi yang menentukan hidup-matinya parpol. Untuk menjawab topik konferensi tersebut, argumentasi saya sederhana. Parpol yang demokratis β€”di samping soal kaderisasi, penyelesaian konflik internal dllβ€” adalah parpol yang sistem keuangannya β€”termasuk sumber dana dan pembelanjaannya- dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip antikorupsi.

Terkait pengaruh uang terhadap politik, John Nichols dan Robert W McChesney menyebut Pemilu Amerika Serikat sebagai 'Dollarocracy'. Dengan logika yang sama, saya ingin mengatakan, parpol yang sistem keuangannya bersih akan menjadi pendorong demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan parpol yang keuangannya koruptif akan menjadi penyumbang tumbuh suburnya 'Duitokrasi', yaitu penyelenggaraan negara yang koruptif, pemerintahan dari duit, oleh duit, dan untuk duit.

Tentang duit dan demokrasi, rekan dari LBH Jakarta, Nurcholis Hidayat, yang baru saja lulus program master di Melbourne Law School, untuk mata kuliahnya Money, Law and Politic menulis makalah menarik berjudul, "Counter-Oligarchy: Reducing the influence and domination of Oligarchs from Indonesia's political parties through reform of Indonesia's Party and Campaign Finance Systems". Makalah ini menguatkan, salah satu persoalan mendasar di Tanah Air adalah: pengaruh buruk kekuatan oligarki kepada parpol, termasuk ketergantungan pendanaan parpol kepada segelintir pebisnis tersebut.

Dunia bisnis tentu penting. Tanpa bisnis, perekonomian negara tidak akan berjalan. Kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai. Tetapi sebagaimana semua konsep, bisnis pun bisa menjadi pisau bermata dua. Untuk membawa manfaat, bisnis harus dihidupkan dalam iklim kompetitif yang fair. Di mana ruang kompetisi didasarkan pada kemampuan berusaha dan kerja keras, bukan hanya mendasarkan pada kedekatan penguasa, apalagi yang sifatnya kolutif.

Politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia kontemporer adalah waktu yang sangat menantang bagi hadirnya sistem keuangan partai yang tidak koruptif. Ada dua data, yang telah saya tulis dalam Catatan Kamisan Denny Indrayana sebelumnya, yaitu tentang crony-capitalism index dan ketimpangan kesejahteraan di Tanah Air.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baca juga: Tantangan Tax Amnesty, Kesenjangan Sosial & Sistem Pajak di Australia

Menurut The Economist, Indonesia adalah negara terburuk ketujuh di dunia dalam hal kolutifnya hubungan penguasa dan pengusaha. Berdasarkan crony-capitalism index, Indonesia dinobatkan sebagai salah satu negara yang iklim bisnisnya kolutif, karena sangat dipengaruhi oleh relasi politik penguasa dengan pengusaha. Sekitar dua pertiga kekayaan yang dikuasai orang kaya Indonesia diperoleh karena kedekatannya dengan penguasa.

Persoalan makin rumit, karena orang terkaya di Indonesia yang menguasai perekonomian tidaklah banyak. Perhitungan Bank Dunia, satu persen orang terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan se-Indonesia raya. Kalau angkanya ditingkatkan menjadi 10 persen orang terkaya, maka mereka menguasai hampir 80 persen kekayaan nasional. Dengan komposisi yang sama sekali tidak seimbang itu, Indonesia menjadi negara paling timpang ketiga di dunia terkait kesenjangan penguasaan aset. Lebarnya ketimpangan sosial itu pula yang mempengaruhi arah kebijakan dan haluan negara menjadi di bawah kendali para oligarki yang menguasai ekonomi, mempunyai kedekatan dengan penguasa, menguasai pemberitaan media, dan tentunya juga berkontribusi pada pendanaan parpol.

Saya meyakini, keperluan akan bersih dan jelasnya sumber dan belanja keuangan parpol sudah dirasakan sangat mendesak oleh parpol sendiri. Di samping karena memang seharusnya begitu, akibat koruptifnya sistem keuangan parpol itu, beberapa pimpinan dan kader parpolβ€”bersama-sama dengan pengusaha yang terkaitβ€”telah dipenjarakan karena kasus korupsi. Berdasarkan data di situs ACCH KPK, sampai Juni 2016, paling tidak ada tiga ketua umum atau presiden partai yang telah menjadi narapidana korupsi, bersama-sama 119 kader parpol yang menjadi anggota parlemen, 17 gubernur dan 50 bupati/walikota. Sedangkan dari sisi pebisnis, yang sudah terjerat korupsi ada 142 orang, menjadikan politisi dan pebisnis sebagai profesi peringkat pertama dan kedua yang paling koruptif berdasarkan kasus yang ditangani KPK.

Tidak ada jalan lain, soal pendanaan parpol ini harus lebih jelas diatur sumbernya, penggunaannya dan pelaporannya. Berdasarkan UU Parpol Nomor 2 Tahun 2008, yang telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, sumber keuangan parpol ada tiga, yaitu iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Saat ini sumber dana dari anggota parpol meskipun dipraktikkan, masih sangat terbatas dan agaknya berupa pemotongan langsung dari gaji anggota parlemen. Sehingga, parpol menyandarkan sumber dananya dari sumbangan swasta yang jika dibandingkan dengan negara lain di dunia, Indonesia termasuk sangat tinggi yaitu maksimal Rp 1 miliar untuk perorangan dan Rp 7,5 miliar untuk perusahaan. Sumbangan dari perusahaan ini dinaikkan dengan UU tahun 2011, dari awalnya Rp 4 miliar. Hal mana menunjukkan ketergantungan parpol kepada dunia bisnis semakin tinggi.

Saya berpendapat, salah satu yang harus ditingkatkan adalah sumber pendanaan parpol dari sisi negara. Berdasarkan penelitian Perludem tahun 2012, nilai bantuan keuangan partai politik dari APBN hanya 1,3% dari total kebutuhan operasional partai politik per tahun. Jauhnya sumbangan negara dengan kebutuhan parpol itu membuka ruang negosiasi antara parpol dengan pemilik modal yang sifatnya koruptif dan destruktif. Apalagi dari sisi anggaran negara, ruang untuk meningkatkan bantuan keuangan juga masih terbuka lebar, karena total bantuan keuangan kepada sembilan partai politik pemilik kursi di DPR hanya 0,0007% dari APBN; dan total seluruh kebutuhan sembilan partai politik dalam setahun hanya 0,05% dari APBN. Untuk itu Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Parpol yang hanya mengalokasikan bantuan pemerintah sebesar Rp 21 juta per kursi, atau sekitar Rp 108 per suara, mesti direvisi.

Berapa besar bantuan parpol yang ideal harus dihitung dengan baik, yang sesuai dengan kemampuan negara, memenuhi kebutuhan parpol, sehingga juga mengurangi ketergantungan parpol kepada para donatur korup. Sebagai perbandingan, di Uzbekistan negara menanggung 100% biaya parpolnya; Austria dan Meksiko membantu lebih dari 50%; dan Australia mengalokasikan sebesar 30% dari kebutuhan parpol setiap tahun. Meskipun, ada pula negara yang tidak memberikan bantuan dana kepada parpolnya seperti Singapura dan Selandia Baru.

Yang pasti, peningkatan bantuan dana negara bagi parpol itu harus diikuti dengan aturan buat apa dana itu digunakan, laporan dan audit keuangan yang lebih baik, serta penegakan hukum dan sanksi yang tegas jika ketentuan penggunaan dan pelaporan itu tidak dilaksanakan. Terkait penegakan hukum, harus ada perbaikan aturan agar ajang pemilihan calon presiden dan anggota parlemen tidak menjadi arena transaksional yang koruptif (candidacy buying).

Tentang larangan parpol menerima mahar untuk pencalonan pemilu ini sudah diatur dalam perubahan UU Pemilukada Nomor 10 Tahun 2016, namun masih belum diatur dalam Pilpres maupun Pileg. Pelarangan candidacy buying itu harus ditegaskan dalam setiap pemilu, agar tidak disalahgunakan oleh oknum parpol yang korup. Bagaimanapun, uang yang digunakan untuk membayar parpol seringkali berasal dari pengusaha yang pada gilirannya menyebabkan siapapun presiden, kepala daerah ataupun anggota parlemen yang terpilih akan lebih mengedepankan kepentingan bisnis donaturnya, ketimbang kepentingan rakyat dan negara.

Akhirnya, salah satu cara mendemokratisasi parpol, tidak-lain-dan-tidak-bukan, adalah dengan mereformasi sistem keuangan parpol. Tujuannya jelas, agar demokrasi kita kembali mengabdi kepada rakyat, bukan menghamba kepada segelintir donatur oligarki yang korup. Agar pemilu apapun di Tanah Air, menghasilkan pemimpin pilihan rakyat, bukan pilihan duit. Agar yang terwujud adalah demokrasi, bukan duitokrasi.

Keep on fighting for the better Indonesia.

*) Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Visiting Professor
Melbourne Law School
Faculty of Arts
University of Melbourne (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads