"Kalau mudik itu pakai mobil, lewat pelabuhan, bukan naik pesawat." Putra bungsu saya, Naufal Fikri (Naufal), selalu meneror saya dan istri menjelang mudik lebaran tahun ini. Pasalnya, ia mendengar rencana saya untuk mudik naik pesawat ke Palembang. Ia dan kakaknya, Amalia Mabrina (Amel), tidak pernah setuju. Mereka ternyata sangat menikmati pulang dengan jalan darat, pakai mobil sendiri, kendati harus rela bermacet ria di jalan selama berjam-jam.
Sebaliknya, saya dan istri, Yuyun Hairunisa, sudah 'lelah' mudik melalui jalan darat ketika sudah ada pilihan pulang bisa dengan pesawat. Kami ingin membawa anak-anak pulang dengan pesawat saja. Mobil tetap dibawa sopir biar kami ada kendaraan operasional di kampung. Tapi, Naufal tidak pernah setuju. Dengan suara nyaring, ia bilang, "mudik itu harus pakai mobil dong!". Kami dianugerahi anak pengidap autism dalam diri Naufal. Jadi, apa pun kemauan dia, apa lagi cuma 'sekadar' mudik dengan jalan darat, sebisa mungkin kami penuhi.
Lakon mudik ini sudah saya perankan sejak menjadi penghuni tetap Jakarta pada 1995. Sudah 21 dari 23 kali ritual mudik saya jalani sejak tahun itu. Dalam rentang waktu itu, hanya dua kali saya tidak mudik, yaitu tahun 1998 ketika menunggu kelahiran anak pertama kami, Amel, dan pada tahun 2006 ketika saya studi di Amerika Serikat. Selebihnya selalu mudik ke Palembang. Dalam kondisi apa pun, bekerja di mana pun, saya selalu mencari kesempatan untuk mudik. Bagi saya, hidup di Jakarta tanpa mudik lebaran seperti membuang-buang usia secara percuma.
Di Palembang hingga kini saya masih memiliki ibu, yang Juli tahun ini akan berusia 73 tahun. Ayah saya, Harun – bukan Prof. Harun Alrasid seperti banyak diduga orang –sudah berpulang pada 10 Juni 1996, sudah 20 tahun lalu, dalam usia relatif muda, sekitar 61 tahun.
Mudik selama 21 kali tersebut – perlu dicatat pada tahun 2000 ada dua kali hari raya, bulan Januari dan Desember – selalu kami lakoni dengan jalan darat. Tahun 1995 dan 1996, saya menempuh jalan darat ketika masih bujangan. Tahun 1997, ketika masih pengantin baru, saya dan istri pulang dengan pesawat karena di Palembang sudah menunggu perayaan pernikahan kami. Selebihnya selalu dengan jalan darat, baik dengan mobil angkutan umum maupun dengan kereta api dari Tanjung Karang. Ketika kami sudah mampu membeli mobil, ritual mudik menjadi dengan mobil pribadi sejak 2000 (pada lebaran yang Desember).
Seiring dengan waktu, saya mulai 'lelah' mudik dengan jalan darat. Meski tidak separah mudik ke Jawa, mudik ke Sumatera pun harus bersiap dihadang kemacetan yang luar biasa. Titik kemacetan selalu sama, di Pelabuhan Penyeberangan Merak-Bakauheni Mudik Sabtu, 2 Juli lalu, pun kami dihadang kemacetan. Bergerak dari rumah di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pukul 23.30 WIB, kami sebenarnya sudah hampir menyentuh gerbang tol Merak sekitar pukul 01.00.
Di situlah drama mudik terjadi. Kendaraan berhenti total pada KM 97 selama beberapa jam karena gerbang keluar tol di KM 98 ditutup. Sebabnya, di pertigaan setelah gerbang keluar tol, arus lalu lintas berhenti total juga. Jadi, kendati gerbang keluar tol dibuka, kendaraan tidak akan melangkah jauh. Alhasil, kendati sudah menyentuh Merak sekitar pukul 01.00, kami baru bisa masuk feri sekitar pukul 09.30. Terhenti selama kurang lebih 8,5 jam sebelum bisa menyebrang. Kakak saya, yang konvoi bareng kami, tercecer entah pada antreaan dan kapal feri yang mana. Yang jelas, ketika sampai di Tanah Lampung, kami perlu menunggu lebih dari satu jam di SPBU agar bisa bareng lagi menjejak tanah Sumatera.
Introspeksi
Naufal mungkin benar. Mudik memang harus dengan jalan darat – mungkin maksud Naufal biar ayahnya tidak 'lupa daratan'. Itu pun tidak boleh dengan jalan darat biasa. Harus dengan cerita macet berjam-jam agar ketika sampai di kampung halaman ada proses yang berarti. Kalau pakai pesawat, yang hanya memakan waktu kurang dari satu jam dari Jakarta-Palembang, mudik mungkin tidak berarti. Itu pulang seperti biasa kalau ada keperluan di Palembang, atau sekadar mau bertemu dengan orang tua. Kendati merasa lelah, ritual mudik dengan jalan darat itu tetap saya lakoni. Terlebih sekarang sudah ada generasi yang melanjutkan kebiasaan itu: dua anak saya!
Namun, bagi saya, mudik memang bukan sekadar pulang untuk berlebaran di kampung halaman. Mudik semacam cara untuk menandai perjalanan hidup yang sudah dilalui. Dari mudik itu saya bisa mencatat di benak saya hal-hal apa saja yang sudah saya peroleh dalam hidup ini, tentu saja mana juga yang belum saya dapatkan. Paling mudah menandai harta duniawi yang kita dapat, entah istri, anak, atau harta semacam kendaraan bermotor.
Pulang mudik tahun 1995 dan 1996, saya masih bujangan. Baru mulai belajar hidup di Jakarta setelah menyelesaikan studi di Fakultas Hukum UGM. Tahun 1997 sudah membawa istri. Hingga lebaran Januari 2000, saya masih belum punya mobil, tetapi lebaran Desember 2000, sudah bawa mobil bekas keluaran tahun 1991. Ada kesenangan, ada kebahagian, karena ada pergerakan hidup.
Namun, hal yang lebih penting dari mudik adalah sarana bagi introspeksi diri, selain fungsi tradisionalnya: bertemu handai taulan dan saling memaafkan. Setiap menjalani ritual mudik, tiap itu pula saya sadar bahwa kematian sesungguhnya makin mendekat karena sisa hidup kita di dunia berkurang satu tahun. Tidak heran, doa yang sering dipanjatkan setelah mengakhiri ramadhan adalah mudah-mudahan bertemu dengan ramadhan tahun depan, yang artinya betemu dengan lebaran tahun berikutnya.
Seperti dalam ungkapan Jawa, hidup itu cuma sebentar, cuma mampir 'ngombe' alias minum. Jadi memang tidak lama. Terlebih ustad-ustad selalu bilang, dan Subuh tadi saya dengarkan lagi, satu hari di akhirat itu 50 ribu tahun di dunia. Tidak terpikirkan sebenarnya perbedaan waktu yang begitu jauh. Namun, karena ini soal keimanan, memang tidak perlu pembuktian atau verifikasi.
Mudik sejak 1995 hingga sekarang, memang terasa waktu begitu cepat berlalu. Rasanya memang baru kemarin saya selesai kuliah pada tahun itu, lalu bekerja di Jakarta, dan pulang dengan 'gagah' karena sudah bekerja kendati baru beberapa hari diwisuda.
Sejak 1995, usia sudah bertambah 21 tahun. Artinya, sudah masuk zona 40-an tahun sekarang. Life begins at forty, tetapi dalam dalam dimensi akhirat. Sering saya dengar bahwa umur 40-an tahun adalah usia untuk hidup lebih memikirkan akhirat. Terlebih, kenikmatan fisik sudah mulai
dikurangi setelah usia tersebut. Yang tadinya belum ada problem gula darah, sekarang bisa jadi sudah terkena. Kolesterol sudah menumpuk. Penyakit jantung mulai mengintai. Mata mulai merabun dan harus dengan kacamata bila membaca. Masih banyak lagi kenikmatan badaniah yang mulai dikurangi, kendati rezeki mungkin bertambah. Setidaknya lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Mudik jadi menandai itu semua. Tidak salah rasanya kalau saya memanjangkan kata "mudik" menjadi "mengingat umur dan iman kita". Entah berapa lama lagi saya diberi kekuatan untuk mudik dengan jalan darat…
Selamat Hari Raya Idul Fitri buat semuanya. Mohon maaf lahir dan batin.
Palembang, 5 Juli 2016
Refly Harun
Pelaku Ritual Mudik
(fjp/fjp)