Kenyataannya sampai saat ini, tak ada perbedaan signifikan antara SBY dan Jokowi soal lambatnya mengambil keputusan. Seperti halnya SBY, Jokowi pun mengambil langkah kompromis dengan partai koalisi ketimbang menggunakan sepenuhnya hak prerogatif sebagai presiden.
Indikasinya bisa dilihat dalam rencana perombakan (Reshuffle) kabinet kerja. Kepada publik, Jokowi sampaikan tidak boleh ada yang menekan dirinya untuk buru-buru melaksanakan reshuffle. Faktanya, seperti banyak diberitakan media, maju mundur reshuffle terjadi karena belum bertemunya kepentingan partai pengusung dengan menteri-menteri baru pilihan Presiden Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Politik kompromi dan akomodasi bukan hal baru dalam sistem politik Indonesia pasca reformasi. Sistem Presidensial yang menempatkan presiden dalam posisi yang kuat, tetap tak mampu menopang legitimasi politik presiden, terutama di hadapan partai koalisi pendukung pemerintah.
Dalam risetnya berjudul "Presidentialism, Multyparty Sistems and Democracy (1990)", Scott Mainwaring menunjukkan rentannya sistem presidensial yang bekerja bersamaan dengan dengan sistem multipartai ekstrem. Kekuatan presiden yang terbatas karena tekanan partai politik di parlemen ini, menjadi cikal bakal munculnya konsep "minority president".
Riset Gabriel Negretto (2004) di negara demokrasi Amerika Latin sepanjang tahun 1978-2003, menjelaskan 3 hal penting penyebab posisi presiden yang justru minoritas dalam sistem presidensial.
Faktor tersebut antara lain posisi minoritas dari partai pendukung presiden, kapasitas dan keleluasaan presiden yang minim untuk mengambil keputusan, dan keterlibatan koalisi partai yang minim dalam kabinet.
Periode 5 tahun Pemerintahan SBY-JK dan 5 tahun Pemerintahan SBY-Boediono menjadi contoh lemahnya legitimasi politik presiden. Kendati posisi SBY kuat di internal Partai Demokrat, nyatanya SBY tetap tak berani meninggalkan pola transaksi politik di parlemen, khususnya dengan partai pendukung pemerintah.
Ujian lebih berat dihadapi Jokowi, paling tidak karena 3 hal. Pertama, legitimasi politik Jokowi yang lemah di internal PDIP. Posisi politik ini tentu menjadi masalah karena ketergantungan presiden yang tingggi terhadap dukungan partai politik di parlemen. Posisi demikian membuat daya jangkau Jokowi terhadap kebijakan internal partai sangat lemah.
Posisi yang lemah ini menempatkan presiden Jokowi 'harus' memperhatikan masukan dari PDI Perjuangan dalam menentukan komposisi kabinet. Misalnya desakan PDI Perjuangan agar Rini dicopot membuat posisi Jokowi menjadi serba salah. Padahal, secara personal Rini Soemarmo adalah sosok yang dipercaya presiden.
Kedua, Jokowi dituntut memenuhi keinginan PDI Perjuangan yang sudah selama 10 tahun berada di luar pemerintahan. Jumlah menteri yang relatif tidak sesuai dengan harapan, menjadi pintu masuk ketegangan Jokowi dan partainya sendiri. Tuntutan reshuffle kabinet yang kencang disuarakan PDI Perjuangan menjadi bukti kehendak kader untuk bisa lebih berperan di pemerintahan.
Ketiga, ujung dari semuanya adalah kegaduhan politik yang tak kunjung usai. Serangan terhadap Jokowi yang datang dari 2 arah –luar dan dalam- membuat situasi politik tak kunjung kondusif. Terlebih, dukungan politik untuk Jokowi melalui relawan yang bersifat cair, tak mampu menenangkan kegaduhan politik ini.
Membentuk Setgab?
Publik sempat berharap, Presiden Jokowi akan menghilangkan pola-pola transaksi politik antara pemerintah dan partai pendukungnya. Komitmen partai pendukung Jokowi – JK dalam Pilpres 2014 lalu yang setuju dengan 'dukungan tanpa syarat', seakan menjadi bukti untuk menjawab keraguan masyarakat
Tapi, harapan tinggal harapan. Posisi Presiden Jokowi terlalu lemah untuk dapat berdiri dan bertahan dari tekanan partai koalisi. Sementara posisi partai politik semakin kuat karena ketergantungan eksekutif terhadap keputusan-keputusan penting di parlemen.
Sikap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) misalnya yang marah karena posisi Marwan Ja'far sebagai Menteri Desa dan PDT terancam, menunjukkan transaksi politik masih terjadi. Tekanan partai koalisi membuat ruang gerak presiden untuk menentukan pilihan menjadi terbatas.
Perombakan kabinet hanya satu dari sekian kebijakan lain yang berpotensi diintervensi partai. Perlu dibuat aturan bersama hak dan kewajiban partai dalam konteks hubungan dengan kebijakan pemerintah. Termasuk dalam hal ini kebijakan penyusunan kabinet.
Pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) bisa menjadi pilihan Presiden Jokowi untuk mengatur koalisinya. Dalam Setgab a la Jokowi ini, partai akan diminta untuk membuat komitmen ulang dukungan terhadap pemerintah, beserta hak dan kewajiban partai yang harus ditaati.
Pembentukan Setgab juga dapat mengakomodasi masuknya partai pendukung baru seperti PAN dan Golkar. Melalui mekanisme yang dibuat bersama, maka mekanisme reward and punishment bisa menjadi lebih jelas dengan perjanjian yang disepakati.
Pembentukan Setgab menjadi pilihan realistis, ketimbang terus menerus mengulur waktu menunggu persetujuan koalisi partai terhadap formasi kabinet baru. Pendekatan institusional seperti Setgab akan memaksa partai pendukung tunduk pada komitmen yang disepakati bersama.
Sampai tulisan ini dibuat (13/6), Presiden Jokowi belum juga mengumumkan waktu pasti reshuffle kabinet. Jika tak segera ambil sikap, Jokowi berpotensi akan terus berada di bawah tekanan partai pendukung sepanjang sisa periode pemerintahannya. Ironis.
*) Khairurrizqo, Alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Peneliti Bidang Politik dan Demokrasi IndoReform (nwk/nwk)











































