Ini bukan kejadian insiden biasa tetapi sudah kecelakaan karena kedua pesawat dalam kondisi total loss atau rusak parah, apalagi pesawat Trans Nusa, ekor dan sayapnya rusak berat. Kejadian ini sebenarnya tidak perlu terjadi, jika semua pihak mengikuti standar keselamatan yang diatur atau dikeluarkan oleh ICAO (Annex 13) atau seperti FAA Runway Incursion Safety, di mana di dalamnya termasuk ketaatan untuk taxying, block off/on, komunikasi, initial briefing, identifikasi kondisi cuaca, pergerakan di apron/taxy dan sebagainya.
Kejadian semalam membuat saya cemas dan prihatin karena saat ini Indonesia sedang berjuang untuk membebaskan diri dari Category 2 FAA (Federal Aviation Administration) dan berkeinginan untuk duduk sebagai anggota Dewan ICAO Group 3 pada Sidang ICAO (International Civil Aviation Organization) sekitar bulan Oktober mendatang di Montreal. Persyaratan untuk masuk pada Category 1 FAA sudah memenuhi, namun saya khawatir kejadian semalam bisa menyebabkan FAA menunda keputusannya. Dikabarkan awal minggu depan tim ICAO dan FAA, kabarnya akan inspeksi ke Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Problematik Pengelolaan Bandara Enclave Sipil di Indonesia
Bandara enclave sipil merupakan bandara militer (TNI AU/AL/AD) yang dioperasikan bersama dengan pengelola bandara (PT Angkasa Pura I dan II dan Kementrian Perhubungan) sebagai bandara untuk penerbangan sipil atau komersial, termasuk charter, seperti Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru , Bandara Juanda Surabaya dll. Payung kerjasamanya hingga hari ini masih terbatas pada nota kesepahaman (MoU) antara keduanya saja. Padahal di tahun 2014 sudah ada wacana untuk diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukumnya.
Dalam pelaksanaan bandara enclave sipil banyak mengalami kendala di teknis dan sumber daya manusianya (SDM), yang patut diduga (tanpa maksud mendahului hasil penyelidikan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi/KNKT) menjadi salah satu penyebab utama terjadinya tabrakan pesawat B 737-800 Batik Air PK LBS tujuan Makassar dengan pesawat ATR 600 PK TNJ TransNusa yang sedang ditarik (towing) menuju hangar oleh ground handling.
Dari diskusi dengan beberapa pihak yang berwenang memunculkan banyak dugaan sambil menunggu hasil penyelidikan KNKT. Di Bandara enclave sipil, seyogyanya tower navigasi udara dikelola oleh sumber daya penerbangan sipil ditambah dengan sumber daya TNI AU yang di BKO (Bawah kendali Operasi) kan yang sudah melalui proses pendidikan operasi penerbangan sipil. Selain SDM, teknologi di air traffic control yang dipakai juga sudah harus terus dikembangkan untuk memenuhi standar keselamatan (safety) ICAO Annex 13.
Pada Senin malam saat kejadian, petugas tower yang berkomunikasi dengan pesawat Batik Air yang akan tinggal landas, menggunakan saluran radio VHF yang tidak dapat didengar oleh petugas towing yang menggunakan Handy Talky (HT) dengan saluran frekuensi yang berbeda. Patut diduga keduanya dilakukan oleh 2 petugas tower (ATC) yang berbeda pula. Akibatnya tower kesulitan mengsinkronkan perintah atau informasi ke pilot Batik Air maupun petugas towing yang menarik pesawat Trans Nusa. Maka terjadilah kecelakaan fatal itu.
Kecelakaan kemungkinan tidak akan tejadi jika semua pihak yang terkait mematuhi aturan ICAO Annex 13, misalnya ground handling penarik pesawat ATR harus mengikuti Follow Me Car yang menggunakan lampu strobo atau pilot Batik Air tidak saja mengandalkan pada instrument di cockpit tetapi juga visual saat akan terbang malam dsb.
Sebagai Bandara, lalu lintas ke dan dari Bandara HLP sudah sangat padat. Per hari ada 83 keberangkatan pesawat, 78 kedatangan pesawat, 8 touch and go dan 21 over flying atau lewat (sumber data: Airnav Indonesia). Jumlah ini sudah membuat Bandara HLP sangat padat. Niat pemerintah untuk mengurangi kepadatan Bandara CGK menjadi percuma karena maskapai penerbangan bukannya memindahkan penerbangannya di Bandara CGK ke HLP tetapi menambah penerbangan dan dengan rute penerbangan baru. Patut diduga, kepadatan bandara juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kecelakaan Senin malam itu.
Di bandara enclave sipil yang dikelola oleh TNI, biasanya peralatan navigasi dan penunjangnya minim. Misalnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pernah akan menyumbangkan salah satu alat pemantau cuaca untuk tower Air Traffic Control (ATC) di bandara TNI enclave sipil, ditolak. Padahal alat itu penting untuk menganalisa keadaan cuaca untuk disampaikan ke pilot dan pihak bandara. Mengapa ditolak? Karena ada persoalan kebijakan tentang pemanfaatan pos Pendapatan Negara Bukan pajak (PNBP) dari alat tersebut ke pihak TNI.
Langkah-Langkah Supaya Kasus Serupa Tidak Lagi Terjadi
Pertama persoalan payung hukum pengelolaan Bandara enclave sipil HARUS SEGERA dibuat dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) supaya lebih kuat dari hanya sekedar MoU. Dengan MoU tugas dan kewajiban masing masing pihak belum jelas dan masing-masing mau menang sendiri serta tidak mementingkan kepentingan publik.
Kedua TAATI semua aturan keselamatan penerbangan sesuai dengan ICAO Annex 13. Apa sulitnya hanya memenuhi semua aturan keselamatan penerbangan yang berlakku internasional. Jangan coba-coba berimprovisasi yang konyol hanya karena ingin lebih sederhana, menghemat anggaran dan menonjolkan ego sektoral basi yang akan mengorbankan publik.
Terakhir, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan harus lebih keras lagi menegakan aturan terkait dengan keselamatan penerbangan, karena hanya itulah tugas Pemerintah sebagai regulator selain membuat aturan itu sendiri. Jangan pernah mau di lobi untuk kepentingan pihak tertentu. "Lebih baik terlambat dari pada tidak pernah sampai" (Ignasius Jonan). Salam.
*) AGUS PAMBAGIO adalah adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (nwk/nwk)