Nilai pertama adalah patuh pada ajaran agama. Sejarah kurban sudah begitu populer di kalangan Muslim. Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail. Dalam prosesnya, berbagai godaan datang untuk membatalkan perintah tersebut dengan alasan Nabi Ismail masih kecil. Godaan ini datang silih berganti kepada Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan Siti Hajar. Keyakinan yang kuat dan taat pada ajaran Tuhan, menyebabkan keluarga tersebut mampu mengatasi aral melintang dan lulus ujian. Nabi Ismail pun kemudian urung disembelih karena pada kenyataannya Allah SWT menggantinya dengan seekor qibas. ย
Dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, taat pada ajaran agama menjadi salah satu hal yang dilindungi. Hak dasar anak adalah mendapatkan pengajaran dan pendidikan agama sesuai dengan yang dianut. Regulasi telah mengatur hal ini dalam rangka melindungi hak anak untuk memperoleh pendidikan agama dalam kehidupan mereka.ย Di dalam pasal 43 menyebutkan perlindungan hak anak dalam memeluk agamanya meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komitmen politik untuk melindungi hak anak ini juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.ย Pasal 4 dalam PP tersebut menyebutkan setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik seagama.
Tujuan dari perlindungan ini adalah agar lahir generasi bangsa yang taat pada nilai ajaran agama. Nilai moral yang tidak mudah luntur karena godaan duniawi yang sifatnya semu dan merusak. Secara regulasi, kewajiban anak untuk taat dalam ajaran agama diatur dalam Pasal 19 UU Perlindungan Anak.
Nilai kedua adalah rela berkorban atas apa yang dimiliki dan dicintai. Sejarah mencatat bagaimana sayang dan cintanya Nabi Ibrahim kepada putranya, Nabi Ismail. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Nabi Ibrahim memiliki keturunan di usianya yang sudah demikian senja. Sesuatu hal yang mustahil dalam penilaian nalar manusia biasa. Namun, kecintaannya tersebut tidak membuat Nabi Ibrahim abai terhadap perintah Tuhan.
Jika dikaitkan dengan isu perlindungan anak, rela berkoban juga menjadi salah satu nilai yang luhur. Dia menjadi manifestasi atau pembuktian semangat berpartisipasi anak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Jika dia menjadi materi pendidikan di usia anak-anak, maka akan lahir generasi yang menghargai kemanusiaan dan tidak individualistik. Hal ini tentu sangat sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila yang mengajarkan warga negara untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Nilai ketiga dalam sejarah kurban adalah adanya komunikasi positif di internal kelurga. Di dalam Al Quran, dialog antara ayah dan anak itu dicatat dengan sangat baik. Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?" (QS. Ash-Shaffat, [37]: 102). "Dia (Ismail) menjawab, 'Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (QS. Ash-Shaffat, [37]: 102).
Meski berstatus sebagai bapak, Nabi Ibrahim tetap meminta pendapat anaknya terkait mimpi yang diyakini sebagai perintah Tuhan. Sikap seperti ini sangat sesuai dengan menghargai anak yang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat. Tidak otoriter dan menghargai kebebasan pendapat anak, merupakan nilai-nilai yang ada dalam perspektif perlindungan anak. Pasal 10 UU Perlindungan Anak menyebutkan setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Nilai keempat dari sejarah kurban adalah ketahanan keluarga. Ketahanan menjadi sesuatu yang hal penting demi keutuhan keluarga. Jika tidak ada ketahanan keluarga, maka pelaksanaan penyembelihan Nabi Ismail tidak akan terjadi. Keluarga Nabi Ibrahim memiliki ketahanan yang tinggi atas godaan dan keraguan ketika akan menyembelih putranya yang masih belia. Meski, pada akhirnya penyembelihan itu diganti oleh Tuhan dengan seekor hewan ternak.
Dalam konteks kekinian, ketahanan keluarga menjadi salah satu syarat terselenggaranya perlindungan anak. Suami dan istri harus memiliki kesadaran tinggiย untuk tetap bersama-sama mengarungi bahtera rumah tangga. Jika tidak ada ketahanan keluarga, maka perceraian bisa terjadi dan akhirnya akan mengorbankan anak karena kehilangan hak untuk diasuh oleh kedua orangtua.
Di dalam keluarga yang utuh akan terwujud anak yang baik dalam tumbuh dan kembangnya. Ayah yang bekerja untuk menafkahi keluarga, akan menjadi teladan yang baik. Sosok ayah akan menjadi pahlawan bagi anak karena dia bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan hidup anak. Begitu pula dengan ibu, yang berupaya keras mendidik anak-anaknya dengan baik. Inilah prinsip perlindungan anak yang sempurna yang berawal dari keluarga yang tahan akan berbagai cobaan, godaan bahkan badai kehidupan. ย
Nilai kelima adalah berbakti pada orangtua. Keteladanan berbakti kepada orangtua ditunjukkan oleh Nabi Ismail. Tanpa ragu, dia mengikuti perintah ayahandanya. Ini menjadi pelajaran yang baik yang bisa diajarkan kepada anak-anak kita. Dalam ajaran agama, orangtua memiliki posisi yang begitu terhormat. Ibu memiliki derajat tiga kali dibanding ayah. Bahkan, dalam sebuah riwayat disebutkan surga berada di bawah telapak kaki ibu.
Dalam Pasal 19 UU Perlindungan, anak memiliki kewajiban untuk menghormati orangtua, mencintai keluarga dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Kewajiban ini menjadi penting agar anak tidak melupakan jasa-jasa orangtua dalam mengasuh dan membesarkan mereka hingga dewasa. Hak dan kewajiban yang seimbang akan menjadi harmoni kehidupan yang indah dalam sebuah keluarga.
Nilai keenam dalam sejarah kurban adalah pemenuhan hak gizi anak. Kita mengetahui, tradisi menyembelih hewan kurban ini tidak semata-mata ibadah ritual. Di dalamnya ada banyak aspek, salah satunya adalah distribusi dan pemenuhan gizi bagi keluarga tidak mampu.
Di Indonesia, persoalan gizi masih menghantui anak-anak kita. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 17 persen anak Indonesia mengalami malnutrisi. Ini artinya jika jumlah balita sebanyak 32 juta jiwa di Indonesia, maka sebanyak 5,4 juta anak-anak di bawah lima tahun mengalami kekurangan gizi. Hal ini tentu sangat mengancam ketahanan nasional karena jumlah demikian akan merusak generasi penerus bangsa.
Dengan adanya distribusi hewan kurban kepada keluarga tidak mampu, maka sedikit banyak persoalan kekurangan gizi ini akan dapat diatasi. Memang tidak semuanya, namun jika kita lihat populasi Muslim yang mayoritas, maka bisa dibayangkan berapa banyak daging kurban yang bisa dinikmati oleh kelompok rawan pangan tersebut.
*) Dr. Asrorun Ni'am Sholeh, MA adalah Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
(dra/dra)











































