Polemik Nama Tuhan dan Konstruksi Hukumnya
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Polemik Nama Tuhan dan Konstruksi Hukumnya

Kamis, 27 Agu 2015 14:54 WIB
Andi Saputra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Polemik Nama Tuhan dan Konstruksi Hukumnya
Foto: dokumentasi pribadi Andi Saputra
Jakarta - Nama merupakan bagian hak asasi untuk aktualisasi diri dan kebebasan berekspresi. Tapi kebebasan di Indonesia ini tidak tak terbatas yaitu dibatasi moral masyarakat yang harus dihargai dan dijunjung tinggi oleh setiap individu.
 
Kasus nama "Tuhan" yang dikantongi oleh warga Banyuwangi, Jawa Timur membuat polemik di masyarakat. Sebagian menolak nama "Tuhan" dipakai oleh individu tetapi "Tuhan" sendiri belum menentukan sikap. Bagaimana dalam perspektif hukum?
 
Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, negara tidak memberikan batasan kepada warga negara untuk memberikan nama kepada anak-anak mereka. Jika warga negara berkehendak mengubah nama, maka negara memberikan izin kepada warga negara untuk berganti nama dengan mengajukan permohonan ke pengadilan setempat. Hal ini sebagaimana tertulis dalam Pasal 52 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyebutkan:
 
Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat pemohon.
 
Dalam UU tersebut, negara bersifat pasif dan tidak berhak mengubah nama warga negaranya.
 
Pengaturan nama sebagai identitas lainnya ditemui dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Meski nama orang berbeda dengan nama merek, tetapi secara filosofis keduanya adalah sama-sama 'tanda' atas 'penanda'. Nama sebagai penanda atas orang, sedangkan merek adalah penanda atas barang/jasa komersil.
 
Dalam Pasal 69 ayat 2 UU Merek tersebut disebutkan batasan merek suatu barang yaitu tidak boleh bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan dan ketertiban umum. Jika merek tersebut bertentangan dengan empat hal di atas, maka bisa digugat untuk dibatalkan.
 
Adapun yang dimaksud dengan moralitas, agama, kesusilaan dan ketertiban umum adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketenteraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu.
 
Contoh kasus terkait pasal di atas yaitu merek sebuah restoran "Buddha Bar" yang berada di Jalan Teuku Umar Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat. Nama "Buddha Bar" dipakai setelah Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan sertifikat merek pada 17 Juli 2007. Merek "Buddha Bar" dimiliki oleh George V Eatertainment, sebuah badan hukum Perancis yang beralamat di 4 Avenue d l'Opera 75001, Paris. "Buddha Bar" telah membuka cabang di berbagai negara.
 
Tapi "Buddha Bar" membuat masyarakat Indonesia tersinggung dengan penggunaan nama "Buddha" dipakai sebagai merek bar. Sebab Buddha dinilai memiliki nilai moral dan keagamaan sehingga tidak layak untuk dijadikan nama merek sebuah tempat hiburan.  
 
Masyarakat yang tidak terima lalu melakukan aksi demonstrasi dan menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Pada 1 September 2010, PN Jakpus mengabulkan permohonan masyarakat karena menilai kata 'Buddha' telah melanggar kesusilaan dan seharusnya tidak dapat didaftarkan jika bertentangan dengan kepentingan umum.
 
Kasus terakhir yang menarik perhatian publik adalah sebuah rumah makan di Jalan Selokan, Mataram, Yogyakarta, Kedai 24. Warung makan itu menggunakan nama menu yang tabu dan vulgar di masyarakat. Seperti Pelacur (Pemusnah Lapar Rasional), Masturbasi (Mie Nasi Telur Bercampur dalam Satu Porsi), Miyabi (Mie Yang Tak Biasa), Gigolo (Gerombolan nasi Goreng sesuka Lo), Milk Sex, Smoothy Orgasm, Warna-warni minuman Horny atau panas dan pramusaji disebut sebagai PSK alias Punggawa Setia Kedai. Setelah ramai diberitakan, pemilik restoran ini buru-buru ganti nama menu tersebut.
 
Kasus "Tuhan" tentu berbeda dengan kasus "Buddha Bar" dan kasus "Kedai 24". "Tuhan" adalah tanda orang perorang, sedangkan "Buddha Bar" dan kasus "Kedai 24" adalah tanda atas sebuah barang/jasa untuk tujuan ekonomis/perdagangan. Meski demikian, kedua kasus ini sama-sama masuk dalam ranah perdata sehingga sama-sama berpotensi untuk disidangkan ke pengadilan.
 
Jika kasus "Tuhan" dipersoalkan ke pengadilan, maka hal pertama yang harus dipecahkan adalah siapakah yang berhak menggugat "Tuhan". Dalam kasus merek, yang berhak mengajukan gugatan adalah pemilik merek yang merasa nama mereknya didompleng/dirugikan.  
 
Tapi bagaimana dengan kasus nama orang perorang? Apakah orang perorang, kelompok masyarakat atau negara/pemerintah? Putusan "Buddha Bar" sedikitnya telah membuka jawaban karena penggugat "Buddha Bar" adalah perwakilan masyarakat dan permohonan itu dikabulkan.
 
Setelah masalah legal standing terselesaikan, maka tantangan menarik kedua bagi hakim adalah membangun konstruksi hukum sedemikian rupa untuk bisa menjawab rasa keadilan masyarakat. Apakah benar nama "Tuhan" yang dipakai oleh warga Banyuwangi itu bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan dan ketertiban umum atau tidak? Apakah pula "Tuhan" telah menyinggung perasaan, kesopanan, ketenteraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu? Apakah bisa hukum perdata menyamakan nama merek dengan nama orang?  
 
Jika polemik ini tidak tuntas, tidak menutup kemungkinan ke depan orang akan kreatif memberikan nama-nama anaknya dengan nama yang kontroversial lainnya.
 
*) Andi Saputra, Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta
Halaman 2 dari 1
(asp/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads