Semula, Presiden Joko Widodo memastikan tak akan impor beras. Pernyataan itu diulang dalam berbagai kesempatan. Menurut Jokowi, Indonesia harus malu karena terus-menerus impor beras dari Thailand dan Vietnam. Di sisi lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel membuka opsi impor beras. Menurut keduanya, opsi impor dilakukan setelah evaluasi produksi dan pengadaan beras Bulog di panen raya.
Lazimnya, pejabat publik bersikap sama untuk suatu isu yang sensitif. Sikap berbeda-beda, apalagi mencla-mencle, akan membuat pasar gaduh. Pasar yang gaduh membuat pihak-pihak tertentu, terutama pelaku dominan, bisa mengambil keuntungan di air keruh. Mereka bisa mengeksploitasi pihak-pihak yang berada dalam posisi lemah. Selain itu, pernyataan impor atau tidak impor beras harus dihindari pada awal tahun karena baru panen raya. Bulog sedang giat-giatnya menyerap gabah/beras dari produksi dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lazimnya, pada bulan Mei, penyerapan Bulog sudah mencapai 50 persen dari target. Penyerapan yang rendah di panen raya bakal mengancam pencapaian target. Sebab, peluang terbesar penyerapan beras ada pada empat bulan panen raya, yang menghasilkan 60-65 persen dari produksi beras nasional.
Pasar gabah/beras memang kurang menguntungkan Bulog. Meskipun panen raya, harga gabah/beras di pasar bertahan tinggi. Ini sudah terjadi sejak awal tahun. Lazimnya, harga gabah/beras saat panen raya rendah. Ketika saya ke Aceh, 11-12 Mei 2015, harga gabah kering panen antara Rp4.500-4.800 per kilogram, jauh di atas harga yang diatur di Inpres Nomor 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah: Rp3.700 per kilogram. Harga beras medium antara Rp 7.500-8.000 per kilogram, juga di atas harga pembelian pemerintah di Inpres: Rp7.300 per kilogram. Per 12 Mei 2015, pengadaan beras oleh Bulog Aceh baru mencapai 17,57 persen. Padahal panen hanya tinggal 5-10 persen.
Secara ekonomi, impor beras memang menjanjikan untung menggiurkan. Harga beras di pasar internasional per 15 Mei 2015 tetap rendah, yaitu US$350-360 per ton untuk kualitas 25 persen broken yang berasal dari Thailand, US$330-340 per ton untuk Vietnam 25 persen broken, dan US$345-355 per ton untuk Pakistan 25 persen broken. Dengan kurs US$ 1 setara Rp 13.000, harga beras di pasar internasional sebenarnya hanya berkisar Rp5.500-6.500 per kilogram. Di sisi lain, harga beras serupa di pasar Indonesia masih tinggi: Rp9.954 per kilogram. Bahkan di Jakarta mencapai Rp10.720 per kilogram.
Dalam situasi harga seperti itu, tiba-tiba muncul beras plastik. Dari hasil uji laboratorium Sucofindo, ditemukan senyawa polyvinyl chloride, yang berbahaya bagi tubuh. Senyawa ini identik terdapat pada pipa dan kabel. Pertanyaannya, apa ada motif ekonomi di balik beras plastik?
Sepertinya tidak. Pertama, sampai artikel ini ditulis, beras plastik hanya ditemukan di Bantargebang, Bekasi. Kedua, ongkos membuat beras plastik amat mahal. Sepertinya beras plastik ini sebentuk teror untuk meresahkan publik. Jika dugaan ini benar, penegak hukum harus menyeret pelaku ke meja hijau dan memberi sanksi berat, seperti diatur dalam UU Pangan dan UU Perlindungan Konsumen.
Di sisi lain, jika impor beras dilakukan saat ini, situasinya tidak tepat. Produksi padi tahun 2014 mencapai 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG), setara 41,789 ton beras. Dengan angka konsumsi beras per kapita tertinggi, 139 kilogram per tahun, konsumsi 250 juta warga Indonesia hanya 34,75 juta ton. Artinya, masih ada surplus yang besar. Surplus semakin besar bila perkiraan produksi padi tahun 2015 oleh Kementerian Pertanian tercapai: 73 juta ton padi.
Secara politik, impor beras akan membuat pemerintah dicap tidak berpihak pada petani, walaupun harga di luar lebih murah ketimbang harga beras petani domestik. Tapi, meskipun harganya lebih mahal, hal itu akan menciptakan efek berantai di dalam negeri dalam bentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.
Pertanyaannya, akankah tahun ini Indonesia impor beras? Tahun ini diperkirakan kebutuhan beras untuk penyaluran rutin, baik untuk Raskin maupun bantuan bencana dan operasi pasar, sebesar 3 juta ton. Agar stok aman, cadangan beras akhir tahun 2015 minimal harus mencapai 2 juta ton. Pada awal 2015, stok cadangan beras di Bulog mencapai 1,4 juta ton. Jadi perlu tambahan 3,6 juta ton.
Jumlah ini diharapkan bisa diperoleh lewat pengadaan beras dalam negeri oleh Bulog. Jika penyerapan beras Bulog tak bertambah signifikan, jalan satu-satunya yang tersisa memang impor. Besar-kecilnya impor beras, lagi-lagi, tergantung seberapa besar penyerapan Bulog hingga akhir tahun.
*) Khudori adalah Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, 2010-sekarang, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia dan penulis
6 buku dan editor 12 buku. Salah satu buku yang ditulisnya adalah Ironi Negeri Beras, Insist Press, Yogyakarta, 2008
*) Kolom ini sudah dimuat di majalah detik Edisi 183, 1 Juni 2015. Edisi ini mengupas tuntas “Sulap Profesor Berkley”. Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional “Setelah Pil Pahit Ketiga”, Internasional “Kartu Merah untuk FIFA”, Bisnis “Minyak Angola di Indonesia 1”, Gaya Hidup “Lahir Sebelum Waktunya”, rubrik Seni Hiburan dan review Film “Pitch Perfect 2”, serta masih banyak artikel menarik lainnya.
Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!!
(nwk/nwk)











































