Sebagai pengguna air minum/bersih sehari-hari dan pengguna produk-produk industri dan jasa yang menggunakan air sebagai salah satu bahan pokok produksi (seperti pangan, tekstil, besi baja, hotel, rumah sakit dan sebagainya), saya tentu bertanya pada para penggugat apa alasan murni yang masuk akal dan dapat saya terima saat menguji UU No 7 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 di MK selain masalah nasionalisme. Nasionalisme yang mana ya?
Lalu bagaimana kaitannya dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana Negara menginginkan masuknya investor asing di semua sektor kehidupan, termasuk pengelolaan SDA, saat Pemerintah belum mampu mandiri menyediakan air bersih secara baik demi tercapainya target Millenium Development Goals (MDG) 2025, di mana semua warga dunia harus mendapatkan air bersih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inti persoalan air minum/bersih terkait persoalan pengelolaan air permukaan dibeberapa daerah, termasuk wilayah DKI Jakarta sangat bergantung pada 2 hal, yaitu kualitas dan kuantitas air baku serta besarnya angka non revenue water (NRW), terlepas dari siapapun yang mengelola (bisa investor asing atau Perusahaan Daerah Air Minum atau swasta nasional atau koperasi sekalipun). Kalau air bakunya buruk dan tingkat kebocoran/pencurian air (NRW) tinggi, maka pelayanan air minum/bersih ke konsumen pasti dan tetap buruk.
Selain pembatalan UU No. 7/2004 oleh MK, pengelolaan air minum di DKI Jakarta juga ketiban persoalan hukum kedua, yaitu dimenangkannya tuntutan publik melalui Citizen Lawsuit (CLS) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Pemerintah Pusat dan Daerah. Jadi pengelolaan air minum/bersih di DKI Jakarta bertambah runyam penuh ketidakjelasan. Pengelolaan atau pemanfaatan air minum/bersih mengalami kekosongan hukum. Siapa yang dirugikan? Pastinya konsumen/publik.
Persoalan lain muncul ketika Pemerintah akan menerbitkan peraturan perundang undangan yang berfungsi sebagai pengganti sementara peraturan perundang-undangan untuk menutup kekosongan hukum, sebelum ada UU SDA yang baru. Namun sayang dari 2 (dua) Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan diterbitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta 1 (satu) Rencana Peraturan Menteri (RPM) yang akan diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) isinya sangat menyedihkan, meski terlihat nasionalis.
Dari RPP Sumber Daya Air (SDA) dan RPP Sistem Penyelenggaraan Air Minum (SPAM) begitu pula dengan RPM terkait Air Tanah versi April 2015 terkesan atau patut diduga RPP dan RPM sasaran utamanya adalah mengusir investor asing, khususnya investor AMDK dan investor air minum/bersih yang berpartner dengan Perusahaan Air Minum (PAM). Hati-hati karena dampaknya buat bangsa ini bisa lebih parah.
Sebagai contoh, pada RPP SDA versi 24 April 2015, Pasal 6 Ayat (6) tertulis:
Izin pengusahaan sumber daya air atau izin pengusahaan air tanah untuk kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a tidak dapat diberikan kepada badan usaha swasta yang menggunakan modal asing baik sebagian maupun seluruhnya.
Ini sangat bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lalu munculnya Pasal 6 Ayat (6) tidak sejalan dengan Pasal 18 Ayat (1) yang tertulis:
Izin pengusahaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diberikan kepada: (a) badan usaha milik negara; (b) badan usaha milik daerah; (c) badan usaha milik desa; (d) badan usaha swasta; (e) koperasi; atau (f) perseorangan.
Jadi RPP ini memang harus diperbaiki total supaya tidak merugikan negara dan pengusaha secara ekonomi serta publik secara kualitas pelayanan.
Terkait dengan RPM Tentang Air Tanah versi akhir April 2015, khususnya Pasal 50 Ayat (2):
Pengaturan pemilikan izin pengusahaan air tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah RPP yang akan diteritkan oleh Kementrian PUPR. Jadi kembali lagi bahwa investor asing untuk penggunaan air tanah juga dilarang. Padahal industri pengguna air tidak harus menjual air tetapi menggunakan air sebagai salah satu bahan baku, misalnya industri tekstil, industri baja, bahkan hotel dan rumah sakit. Jadi yang hancur bukan hanya industri AMDK tetapi banyak jenis industri.
Supaya tidak bermasalah dengan UU terkait lainnya, maka yang dimaksud badan hukum harus boleh dimiliki siapa saja. Bisa BUMN/BUMD/Koperasi/Yayasan/swasta domestik maupun asing, asalkan proses perizinannya tidak melanggar peraturan perundang undangan dan Pemerintah mengawasi dengan ketat.
Pertanyaan saya, apakah Menteri PUPR dan Menteri ESDM paham betul situasi negara ini dan juga hubungan/kaitannya antara isi draft RPP dan RPM dengan beberapa UU lain, seperti UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi, UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup? Jangan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang tidak akan menyelesaikan masalah tetapi malah menambah masalah baru.
Langkah Darurat yang Harus Diambil Pemerintah
Pertama, Kementerian PUPR harus memperbaiki kedua draft RPP supaya tidak diskriminatif dan tidak berbenturan dengan beberapa UU lain, terutama UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lalu Kementerian ESDM menyesuaikan RPM nya.
Kedua, sebaiknya sebelum RPP disampaikan ke Kementrian Hukum dan HAM untuk disinkronisasi dan di harmonisasi, sebaiknya dimintakan agar Kementerian Koordinator Ekonomi membuat rapat pleno dengan mengundang beberapa Kementrian/Badan terkait, seperti Kementerian Perdagangan, BKPM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM supaya ada kepastian siapa yang boleh mengelola air minum/bersih.
Pada akhirnya hak publik untuk memperoleh air bersih sesuai target MDG harus tercapai. Semoga. Salam.
*) AGUS PAMBAGIO adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini