Arisan Nyawa di Udara is Back
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Arisan Nyawa di Udara is Back

Senin, 05 Jan 2015 10:05 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Masih ingat di beberapa tulisan saya tentang ARISAN NYAWA DI UDARA terkait dengan banyaknya kecelakaan pesawat udara yang merengut banyak nyawa sekitar tahun 2007 – 2010 sebagai akibat rusaknya sistem administrasi birokrasi di Kementerian Perhubungan, khususnya Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU)? Semoga pembaca belum melupakannya.

Buruknya kinerja Kementerian Perhubungan menyebabkan hasil audit International Civil Aviation Organization (ICAO) pada otoritas penerbangan sipil Indonesia buruk. Pada audit ini ditemukan 121 persoalan yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil di Indonesia yang harus segera ditindaklanjuti oleh regulator.

Berdasarkan temuan itu pada akhirnya Uni Eropa (UE) melarang pesawat terbang yang diregistrasi oleh Kementerian Perhubungan terbang melintas dan mendarat di wilayah UE. Kemudian Federation Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat juga meletakkan otoritas penerbangan Indonesia di Category 2. Artinya semua pesawat dengan registrasi PK (dikeluarkan oleh otoritas penerbangan Indonesia) dilarang melintas dan mendarat di wilayah daratan Amerika karena dapat membahayakan keselamatan masyarakat Amerika.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Temuan ICAO tersebut membuktikan bahwa otoritas penerbangan Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU), Kementerian Perhubungan sangat buruk karena melupakan masalah keselamatan penerbangan. Jadi jangan heran jika kecelakan penerbangan terus berlangsung, terakhir dengan jatuhnya pesawat milik maskapai penerbangan Indonesia Air Asia (IAA) QZ 8501 minggu lalu.

Apa Yang Terjadi Dengan DJU Selama Ini?

Sebagai otoritas penerbangan di Indonesia, DJU seharusnya mempunyai kemampuan sebagai satu-satunya regulator penerbangan Indonesia yang dapat kita andalkan. Mereka harus menciptakan bisnis penerbangan dengan standar keselamatan yang tinggi melalui penerbitan, penerapan dan penegakan hukum yang ketat. Tidak main-main seperti yang terus berlangsung hingga hari ini.

Jangankan peraturan Menteri ditaati, UU No. 1 Tahun 2010 saja tidak kunjung dilaksanakan dengan baik melalui penegakan hukum yang keras bagi pelanggarnya. Maskapai penerbangan dan bisnis terkait lainnya, seperti bandara tidak akan berani main-main dengan aturan yang ada ketika DJU sendiri sebagai otoritas penerbangan tegas dalam melaksanakan UU tersebut..

Kondisi tersebut di atas sepertinya sudah mulai berubah ketika ada seorang Menteri Perhubungan yang komit untuk mengedepankan faktor keselamatan di transportasi publik, khususnya penerbangan. Ketika penertiban sedang dimulai melalui pembubaran dinasti pejabat pemberi berbagai izin di DJU, terjadilah tragedi hilang kontak QZ 8501 pada hari Minggu 28 Desember 2014. Kita semua terhenyak karena arisan nyawa di industri penerbangan kembali muncul.

Kalau ini terus terjadi maka keinginan Indonesia untuk berubah posisi dari Cat 2 (dilarang terbang) ke Cat 1 (diizinkan terbang) di FAA pada bulan Mei atau Juni 2015 kembali akan menjadi mimpi di siang hari. Kalau Indonesia masih di Cat 2 FAA, jangan harap industri penerbangan Indonesia, dalam hal ini regulator, akan diperhitungkan di dunia penerbangan Internasional.

Belum lagi larangan terbang dari Uni Eropa untuk regulator penerbangan Indonesia yang sudah berlangsung sejak 2007 tidak kunjung dicabut, kecuali pada empat (4) maskapai penerbangan termasuk Garuda Indonesia.

Jangan heran ketika maskapai Citilink mengajukan ke otoritas penerbangan Australia untuk bisa menerbangi kota-kota besar di Australia, ditolak. Jangan heran ketika Indonesia pada sidang ICAO di Montreal akhir tahun 2013 lalu juga tidak terpilih menjadi anggota penuh kelompok III dan gagal menggeser Malaysia. Lalu jangan pernah bermimpi untuk mengambil alih wilayah udara sektor A dari tangan Singapura.

Ketika Indonesia mempunyai regulator yang kuat dan tegas maka para pemain tidak akan melakukan tindakan “potong kompas” melanggar regulasi yang ada. Misalnya apa yang dilakukan oleh Indonesia Air Asia (IAA) terkait dengan izin terbang, juga dilakukan oleh maskapai penerbangan lain. Praktek model ini terjadi karena memamg dilegalkan oleh aparat DJU yang berwenang. Tentunya praktek potong kompas ini tidak gratis.

Langkah seperti di atas memang melanggar aturan yang ada karena meskipun sebuah maskapai sudah mendapatkan izin terbang, baik dari otoritas penerbangan Indonsia maupun Negara lain (kalau rute internasional) secara menyeluruh dalam satu musim, maka ketika akan ada perubahan rute sekecil apapun secara administratif maskapai harus mengajukan izin resmi tertulis kepada Dirjen Perhubungan Udara. Bukan hanya dengan surat pemberitahuan kepada Otoritas Bandara (Otban) dan bandara setempat, meskipun Otban merupakan kepanjangan tangan dari DJU di bandara setempat.

Langkah potong kompas ini menimbulkan biaya tinggi di maskapai penerbangan. Tanpa potong kompas dengan tambahan biaya , jangan harap semua jenis izin akan keluar dengan mudah tanpa biaya tambahan, meskipun segala persyaratan telah dipenuhi. Pelanggaran aturan yang berbiaya tinggi inilah yang sedang dibenahi oleh Menteri Perhubungan. Kecelakaan QZ 8501 membuat kebusukan di DJU menjadi lebih terbuka ke publik meskipun harus ada tumbalnya, yaitu IAA.

Slot penerbangan memang salah satu sumber korupsi di DJU, selain penerbitan Certification of Air Worthiness (CoA), sertifikasi awak pesawat dan sebagainya. Selain itu untuk peningkatan keselamatan penerbangan silpil, keberadaan Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) juga harus dikaji ulang dengan seksama, khususnya terkait dengan sumber daya manusianya dan kesiapan perlatan navigasi yang ada.

Langkah ke Depan Untuk Menghindari Arisan Nyawa

Demi keselamatan penerbangan sipil, apa yang sedang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan saat ini sudah benar. Pemecahan dinasti perizinan sangat tepat sebagai langkah awal. Selanjutnya Menhub harus segera membenahi berbagai regulasi yang selama ini membuat praktek-praktek koruptif tumbuh subur di DJU.

Setelah itu Menhub harus menempatkan para pejabat yang secara keilmuan cocok dan baik serta mempunyai jiwa regulator yang berintegritas di sektor perizinan di DJU. Masih banyak di DJU orang-orang seperti itu dan siap membantu niat dan kerja Menteri Perhubungan. Tentu kesejahteraan mereka juga harus ditingkatkan.

Bagi para pengambil rente yang selama ini merugikan dan membahayakan industri penerbangan nasional, sebaiknya diberi kesempatan beberapa saat di bidang lain sambil terus dilakukan investigasi mendalam. Ketika terbukti bahwa mereka berperan dalam penghancuran industri penerbangan selama ini, saya sarankan kepada Menteri Perhubungan untuk menyerahkan mereka secara hukum ke Kejaksaan Agung. Ini risiko dan kewajiban yang harus mereka hadapi demi ratusan atau bahkan ribuan korban arisan nyawa di industri penerbangan selama ini.

Semoga tragedi kecelakaan penerbangan yang dihadapi IAA kali ini menjadi karya terakhir regulator Indonesia dan jajarannya, termasuk LPPNPI. Sehingga arisan nyawa di industri penerbangan Indonesia tidak lagi berulang setiap saat.

*Pengamat Kebijakan Publik


(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads